MTV dan Problem Identitas Kaum Muda

>> Sunday, April 12, 2009


Judul buku : Generasi MTV
Penulis : Dadang Rusbiantoro
Penerbit : Jalasutra, Bandung
Cetakan : Pertama, Agustus 2008
Tebal : 203 halaman

Di New York, 8 Desember 1980, sebuah kegemparan terjadi. Mark David Champman, seorang penggemar berat The Beatles, menembak John Lennon. Champman memuntahkan peluru pistolnya berkali-kali ke arah Lennon sampai vokalis The Beatles itu meninggal dunia.

Pada psikiaternya, Champman menjelaskan alasannya melakukan pembunuhan mengerikan itu. Kata Champman, ia merasa dirinya sebagai John Lennon. Dalam seluruh kehidupannya, Champman memang mengidentifikasi dirinya dengan Lennon. Bahkan, saat diminta menuliskan namanya, Champman menuliskan “John Lennon” sebagai namanya. Pembunuhan itu dilakukannya karena ia merasa tak mungkin ada dua John Lennon di dunia. Hanya boleh ada satu John Lennon di dunia, kata Champman, sehingga dengan terpaksa Lennon yang asli dibunuhnya.

Jean Baudrillard menyebut fenomena Champman yang mengidentikkan dirinya dengan John Lennon, sebagai “fatalitas”: sebuah fenomena di mana seorang fans terlalu mencintai ikon pujaannya menuju ke titik ekstrem sampai melampaui batas dan menyalahi logika. Ketika kecintaan seorang fans pada ikon pujaan telah melebihi batas logika, yang terjadi adalah penghancuran diri sang fans sekaligus sang idola. Pembunuhan Lennon oleh Champman membuktikan tesis ini.

Bagi Dadang Rusbiantoro, penulis buku ini, apa yang terjadi pada Champman bisa saja berulang pada jutaan anak muda di dunia. Pengidentikkan diri pada seorang musisi, menurut Dadang, adalah sebuah fenomena yang umum terjadi, terutama setelah kemunculan sebuah saluran televisi bernama Music Television (MTV). Buku Generasi MTV merupakan sebuah telaah kritis yang mencoba menghubungkan kemunculan dan penyebaran MTV ke seluruh dunia dengan “krisis identitas” yang terjadi pada anak-anak muda seperti yang dialami Champman.

Dadang mengawali pemaparannya dengan menjelaskan sejarah kemunculan budaya populer pada 1960-an di Amerika Serikat. Pada kala itu, budaya populer terutama ditandai dengan munculnya sejumlah gerakan politik dan budaya tanding yang mencoba keluar dari norma-norma kemasyarakatan yang baku. Sejumlah kelompok seperti Kaum Hippie yang menolak perang Vietnam dan Student for Democratic Society (SDS) yang merupakan gerakan politik kiri para remaja Amerika Serikat, menandai era tersebut.

Yang menarik, semua gerakan politik dan budaya tanding kala itu menggunakan musik sebagai sarana mengekspresikan perlawanannya. Dadang mencatat, sejumlah festival musik legendaris digelar sebagai sebentuk protes sosial, seperti festival musik Summer of Love dan The Woddstock Music and Art Festival. Pada era inilah dimulai sebuah pertautan penting antara musik, gaya hidup, dan identitas. Musik bukan sekadar lantunan tembang hiburan, tapi juga sebuah ekspresi dari budaya tertentu. Para musisi kala itu bukan hanya menyanyikan lagu tapi juga memiliki gaya pakaian dan pola hidup tertentu yang juga diduplikasi oleh fans mereka. Duplikasi itu merupakan sebuah upaya penegasan identitas.

TV Kebudayaan
MTV mulai dirintis sejak 1977 dan resmi mengudara pada 1981. Pada mulanya, format siarannya masih mencontoh siaran Top 40 di radio. Ketika diambilalih raksasa media Viacom, MTV mulai melakukan banyak inovasi yang membuat ratingnya naik. Sumner Redstone, pemilik Viacom, mengatakan bahwa MTV bukan hanya saluran “TV musik” tapi juga “TV kebudayaan”. Pernyataan Redstone ini menunjukkan niatan MTV untuk tidak hanya memperkenalkan musik tapi juga mengintrodusir “sebuah kebudayaan” bagi para pemirsanya.

Kemunculan MTV membuat para anak muda bisa melihat musisi pujaannya secara langsung dari kotak kaca televisi. Namun, mereka bukan hanya melihat video klip musik, tapi juga menyaksikan gaya hidup para idola mereka. Pada perkembangannya, MTV tidak hanya menyajikan video musik tapi juga acara reality show dan talk show yang mengupas gaya pakaian dan gaya hidup para musisi. Jadi, persis yang dikatakan Redstone, MTV tidak hanya memberi musik, tapi juga mendiktekan “sebuah kebudayaan”.

Menariknya, seringkali para musisi yang sebelumnya diidentikkan dengan perlawanan terhadap kemapanan dan kapitalisme serta identik dengan budaya minoritas tertentu, pada akhirnya toh masuk juga ke MTV. Begitu masuk ke MTV, musik mereka berhenti menjadi ekspresi perlawanan. Gaya pakaian para musisi itu yang sebenarnya juga merupakan sebentuk perlawanan, pada akhirnya direproduksi sebagai komoditas dalam dunia fesyen.

Dalam literatur kajian budaya, fenomena ini disebut sebagai “inkorporasi”: suatu proses sosial dimana kelas yang dominan mengambil elemen-elemen kebudayaan kelas subordinat dan menggunakannya untuk memperkuat status quo. (Antariksa; 2000). Musik dan gaya hidup yang telah kehilangan aura perlawanannya itulah yang disebarkan MTV ke seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia.

Para remaja Indonesia yang melihat grup musik Nirvana, misalnya, mungkin akan tertarik pada musik dan gaya pakaian grup band itu. Tapi mereka tak akan paham bahwa pada awalnya aliran musik dan gaya pakaian Nirvana merupakan ekspresi perlawanan tertentu. Gaya pakaian Nirvana mungkin ditiru, tapi tanpa pemahaman akan ideologi di balik pakaian itu.

Terlepas dari persoalan itu, menurut Dadang, penyebaran MTV ke seluruh dunia memang akan menimbulkan problem identitas bagi kaum muda. Kaum muda rawan menjadi “pembebek” bagi gaya hidup para ikon yang datang dari luar. Secara khusus, di bagian akhir buku ini, Dadang mencoba menyarankan sejumlah “strategi kebudayaan” guna menangkal pengaruh buruk MTV di Indonesia.

Sayangnya, refleksi tentang “strategi kebudayaan” itu terlalu terburu-buru dan terkesan tidak tuntas. Diperlukan perenungan lebih dalam dan pengkajian lebih luas untuk mencegah bersemainya pengaruh buruk dari ekspansi kebudayaan global di Indonesia.

Haris Firdaus
gambar diambil dari sini

8 comments:

Senoaji April 12, 2009 at 11:20:00 PM GMT+8  

dohhh makanan kebudayaan gak bisa dipukul rata hanya dengan berstrategis di lingkungan yang dianggap strategis, budaya itu bersifat lentur...

Rezky Pratama April 13, 2009 at 6:03:00 AM GMT+8  

ya begitulah, sekarang budaya indonesia jauh tidak berkembang dibandingkan budaya barat,
mungkin kita harus merefresh budaya kita agar tidak semakin jauh tertinggal

Dony Alfan April 14, 2009 at 12:45:00 AM GMT+8  

Wah, saya dulu kepingin beli buku ini, tapi uang tak cukup, hehe.
Secara umum, kelihatannya apa yang dilontarkan oleh Dadang Rusbiantoro dalam buku ini bukanlah hal baru. Sudah terlalu banyak artikel2 yang membahas fenomena MTV ini.
Saya salut dengan MTV atas dampak yang ditimbulkannya, dahsyat betul, terlepas itu dampak baik ataupun buruk.
Mungkin harusnya pak/mas Dadang itu bikin buku yang lebih kini temanya: "Generasi Facebook". Haha!

Anonymous April 14, 2009 at 7:58:00 PM GMT+8  

selalu ada plus n minus dalam tiap kelahiran "kultur" baru. Termasuk MTV. Dalam kasus ini, saya banyak menikmati plusnya karena saya anggap satu di antara banyak oase kehidupan. Tapi saya bukan penganut mtvisme lo mas..

haris April 15, 2009 at 11:07:00 PM GMT+8  

@ dony
betul agak ketinggalan, tapi tetap berguna kok. menambah literatur kajian budaya pop kita. kamu aja yg bikin generasi facebook. he2.

@zenteguh
betul sekali, mas. plus itu biasanya disertai dg minus:)

Anonymous April 17, 2009 at 7:05:00 AM GMT+8  

apa y??

aku kok bingung y

pernah liat bukunya sh..
tp blum baca..
bagus tah bukunya..

Anonymous April 17, 2009 at 7:10:00 AM GMT+8  

berat banget sih bahasanya
nyantai aj lagi

Anonymous August 25, 2010 at 12:42:00 PM GMT+8  

dimana bs didapat buku ini ya?susah banget nyari..

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP