Cecabang Jalan Akademisi Sastra

>> Sunday, March 15, 2009

(Tanggapan untuk Esai Aries A Denata SS di Solopos)


Dunia kesusastraan selalu berisi banyak jalan dengan cecabang yang plural dan tak bisa dipersamakan. Sekian jalan yang barangkali kita temui saat menyusuri dunia sastra harusnya dianggap sebagai sebuah kekayaan, semacam kemajemukan yang indah dan merangsang. Ambisi “menyamakan” jalan yang harus dilalui oleh tiap komponen dalam sastra adalah keinginan gegabah yang kebanyakan timbul karena narsisme.

Ambisi tidak bijak semacam itulah yang kita temui saat membaca esai Aries A Denata SS berjudul “Duel di Jalan Raya Sastra Solo” (Solopos, 1/3). Diawali dengan klaim klise bahwa “para akademisi sastra hanya berkutat di wilayah kampus semata”, esai tersebut hendak menyampaikan semacam “tantangan duel” kepada para akademisi sastra Solo. Sebagai orang yang mengklaim dirinya sebagai “orang jalanan sastra Solo”, Aries dengan bersemangat melabrak para akademisi sastra Solo yang menurutnya “mengurung diri dalam dunianya sendiri” dan “seolah sudah tak ada lagi dunia di luar dirinya”.

Lucunya, klaim labrakan Aries yang belum tentu sahih ini akan segera bisa kita kenakan balik padanya. Dengan menantang dan bahkan bisa dikatakan “menyuruh-nyuruh” para akademisi sastra untuk berduel dengan “orang jalanan sastra” di jalan raya sastra Solo, Aries sebenarnya juga sedang “mengurung diri dalam dunianya sendiri”. Ia juga bersikap “seolah sudah tak ada lagi dunia di luar dirinya”.

Tampak sekali ia ingin memakai standar aktivitas diri dan rekan-rekannya di komunitas sastra non akademis untuk melihat kiprah para akademisi sastra. Menggunakan pola pikir komunitas sastra, maka aktivitas yang paling penting memang melakukan pengembangan diri supaya bisa menghasilkan karya dengan derajat estetika tinggi dan juga melakukan pertemuan dengan publik seluas mungkin guna mensosialisasikan diri, karya, dan komunitas.

Masalahnya, apakah ukuran macam itu bisa dipakai untuk menilai kualitas aktivitas para akademisi sastra? Apakah para akademisi ini harus dituntut untuk selalu terus-menerus hadir di hadapan publik luas seperti yang dilakukan oleh para pegiat komunitas sastra? Jika yang dimaksud Aries dengan “duel di jalan raya sastra Solo” adalah sekadar hadir sebagai pembicara dalam sebuah acara sastra, misalnya, bukankah itu sudah terjadi secara cukup lazim di dunia sastra Solo? Bukankah cukup jamak kita jumpai seorang dosen duduk bersama sastrawan membahas masalah sastra di Solo?

Bukanlah tugas utama para akademisi sastra untuk mengadakan perjumpaan secara terus-menerus dengan publik, apalagi mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan-pertemuan itu. Cukup banyak infrastruktur sastra di Solo yang bisa melakukan hal tersebut. Segepok komunitas sastra yang telah disebut Aries dan juga lembaga-lembaga kebudayaan semacam Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) dan Dewan Kesenian Surakarta (DKS) lebih cocok untuk “dibebani” tugas itu.

Para akademisi sastra bertugas di kampus, karena memang itulah ranah pokok perjuangan mereka, bukan karena mereka “mengurung diri dalam dunianya sendiri”. Tugas utama mereka bukanlah mengadakan acara bedah buku atau workshop penulisan kreatif seperti yang dilakukan oleh komunitas sastra. Yang menjadi pokok perjuangan mereka adalah menumbuhkan bibit-bibit baru kritikus dan peneliti sastra dengan melakukan pengajaran sastra sebaik mungkin. Selain itu, tugas mereka jugalah menghasilkan telaah akademis berkualitas cemerlang atas karya sastra.

Dalam hal menilai karya para akademisi sastra ini pula Aries menggunakan ukuran yang lagi-lagi menunjukkan bahwa dia “mengurung diri dalam dunianya sendiri”. Pendapatnya yang menyayangkan bahwa jurus para akademisi sastra ini “hanya bisa ditangkap oleh kalangan terbatas”, yakni “para intelektual saja”, sungguh merupakan pendapat yang kelihatannya sahih tapi sebenarnya melencong. Benar bahwa para akademisi sastra memang menggunakan jurus kritik sastra yang barangkali hanya bisa dipahami sejumlah kecil orang, yakni mereka yang membekali diri dengan wacana sastra dan intelektual secara baik. Namun, kenyataan ini sama sekali tidak perlu disayangkan karena memang itulah yang seharusnya mereka lakukan!

Seandainya tiap akademisi sastra dibebani tugas untuk menulis telaah sastra yang awam, lalu siapa yang akan menulis telaah akademis yang serius dan penuh dengan wacana intelektual? Karya sastra tak bisa hanya dipahami melalui jalan “kritik umum” yang akrab dengan semua golongan. Teks sastra juga berhak ditelaah secara serius dengan metode yang ketat, bahasa ilmiah, dan teori pendukung yang memadai. Sekali lagi, siapa yang akan mengambil tugas itu jika bukan para akdemisi sastra?

Kritik terhadap para akademisi sastra memang perlu dilakukan tapi harus dengan substansi yang benar dan jalan pikir yang tak sesat. Kritikan terhadap mereka seharusnya diarahkan pada aktivitas yang memang menjadi tugas mereka, yakni pada wilayah pengajaran dan penelitian sastra. Dua wilayah inilah yang menjadi cecabang jalan sastra yang mereka geluti sehingga lebih bijak jika kita bertanya tentang efektivitas kerja mereka di sana.

Jikalau memang hendak mengkritik para akademisi sastra Solo, maka pertanyaan yang bisa diajukan adalah: sejauh mana mereka mampu membekali mahasiswanya dengan kemampuan menulis karya atau kritik sastra yang memadai dan apakah telaah yang mereka lakukan atas berbagai ragam karya sastra sudah memenuhi kriteria intelektual yang baik? Dua pertanyaan inilah, bukan tantangan duel di jalan raya, yang seharusnya lebih dulu diajukan pada akademisi sastra Solo.

Menantang para akademisi sastra untuk berduel di “jalan raya sastra”, seperti yang dilakukan Aries, sungguh bukan tindakan yang bijak dan bajik. Tantangan itu justru berbalik menjadi “senjata makan tuan” karena menunjukkan bahwa penulisnya “mengurung diri dalam dunianya sendiri.

Haris Firdaus
(Dimuat di Solopos, 15 Maret 2009)
gambar diambil dari sini

15 comments:

Anonymous March 15, 2009 at 11:22:00 AM GMT+8  

mas haris terjebak dalam duel yg diajukan mas aries nih, hehehe

dan saya pun terjebak dgn counterattack mas haris,

begitu pula semua yg tertarik dengan komentar sy.. ^_^
begitulah seterusnya sampai tiada akhir

salam,
ael

Anonymous March 15, 2009 at 7:29:00 PM GMT+8  

menurut saya, sdr Aries mengaburkan fungsi dari masing-masing tugas. tidak masuk akal seorang praktisi dibandingkan dengan kritikus atau dosen.

Senoaji March 15, 2009 at 9:16:00 PM GMT+8  

belum bisa komentar, ntar ya kang. mo baca dulu

Anonymous March 15, 2009 at 11:54:00 PM GMT+8  

wah, kayaknya sastra solo sedang menggeliat nih, mas haris, hehehe ... terlepas dari apa yang diperdebatkan, yang pasti momen2 semacam ini menurutku, loh, sesekali perlu dilakukan, agar dinamika sastra terus hidup dan mendatangkan wacana2 baru yang bisa didiskusikan.

Anonymous March 16, 2009 at 8:03:00 AM GMT+8  

sejak dulu saya memilah dunia akademisi dan dunia praktis, dua-duanya memiliki jalan sendiri, dan kalopun bertemu hanya pada ranah awal saja... selanjutnya terserah anda, karena menjadi semakin ruwet pun juga tidak ada masalah yang berarti...

Anonymous March 16, 2009 at 10:39:00 AM GMT+8  

ya uda sih, sepele...

bukannya lebi bagus lagi kalo pada kumpul2, ngopi2, diskusiin sastra bareng2...

nggak usa berantem siiihh...

*peace:p

Anonymous March 16, 2009 at 5:16:00 PM GMT+8  

@sawali
dua tahunan ini sastra solo emang sedang menggeliat kok. sangat menggeliat.

@yoan
aduh siapa sih yang berantem? saya dan mas aries sekadar beda pendapat kok. hanya itu.sama sekali tidak berantem atau bermusuhan. polemik macam ini adalah wujud dialog. jangan disalahartikan dunk. pliss. he2.

Anonymous March 16, 2009 at 6:57:00 PM GMT+8  

hehehe... kok masih ada sih yang membenturkan dua "kategori" semacam itu, ris?

Anonymous March 16, 2009 at 10:55:00 PM GMT+8  

@ omahseta
he2. jadul banget ya mas kategorisasi macam itu? bener deh. secara tahun 2009 gitu loh dan Chairil kan udah mati 60 tahun lalu (btw thok:D). ha3.

Senoaji March 17, 2009 at 10:23:00 PM GMT+8  

kasusteraan dari jaman bahelak sampe sekarang memang diandang sebagai bunga rampe yang memberikan warna sendiri disudut pengkaryaan jaman

Sidik Nugroho March 18, 2009 at 11:28:00 AM GMT+8  

asyik benar, kawan, apa yang kautuliskan. sangat menggugah aku yang awam ini dan sering mencoba-coba berpemikiran sastrawi ala sastrawan, huahaha....

ah, akhirnya, semua kembali berpulang: yang penting berkreasi, mengapresiasi dan terus berbenah diri.

Anonymous March 18, 2009 at 11:49:00 AM GMT+8  

atas perdebatan ini saya iri: bahwa 'sastra di solo hidup'. dan menggeliat dalam 2 tahun ini--seperti kata haris.

saya berpendapat aries ada benarnya. kadang-kadang sastra menjadi blok-blok. seperti perdebatan boemipoetra-TUK. blok ini dan blok itu. blok-blok ini kurang taktis bagi peminat sastra yang gak berkomunitas ke mana-mana--seperti saya.

tapi bukannya menjembatani blok-blok, aries ingin membuat blok-blok ini berbeda secara meyakinkan, dan berduel.

blok-blok sastra adalah indikasi geliat sastra di daerah itu. tak masalah.

bagi saya yang tak ikut blok manapun, BLOG rasanya media yang paling netral, ha-ha-ha.

Anonymous March 19, 2009 at 2:18:00 AM GMT+8  

wah mas benar-benar "pergolakan" yang asyik
aku menikmati aj ya, maklum gak bgtu mndalami sastra. Tapi sangat menikmatinya

Anonymous March 21, 2009 at 7:08:00 PM GMT+8  

saya setuju kalau duel, keroyokan, jika masih dalam wilayah kreatif. Para "jalanan" dan "akademisi" memang memiliki wilayah sendiri, tapi sepertinya sadar benar, para jalanan agak merasa kurang dekat dengan para akademisi....

Sang Lintang Lanang April 5, 2009 at 3:46:00 AM GMT+8  

jujur saja kawan, aku juga sempet mengerutkan dahi ketika (secara tdak sengaja) baca esai itu.. dan ternyata tanpa diduga, kamu (yg notabene seorang 'penyair' yg pastinya lebih paham sastra dibanding aku:)yg nanggepi..

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP