Rumahmimpi.net

>> Tuesday, November 3, 2009

Sejak September 2009, saya telah pindahan blog. Blog ini tidak akan saya update lagi. Saya akan menulis di blog baru saya secara rutin, yakni: rumahmimpi.net. Sebelumnya, saya me-redirect blog ini ke rumahmimpi.net. Tapi mulai sekarang, blog ini akan tetap saya biarkan begini. Sebagai kenang-kenangan.

Terima kasih.
Haris Firdaus

Read more...

Remaja dan Hasrat Berteman

>> Thursday, September 10, 2009



Nama aslinya Saddam Husein, tapi ia sering dipanggil Kastro. Ia seorang ABG, masih SMA, rumahnya tepat di muka rumah saya. Sangat mungkin ia dilahirkan semasa Perang Teluk sehingga ayahnya yang nge-fans berat dengan Presiden Irak Saddam Husein memberikan nama persis dengan sang presiden. Seperti lazimnya ABG, Kastro selalu ingin tampil beda: ia gemar memakai busana hitam-hitam, kaos dengan tulisan tak jelas yang kelihatan sangar, potongan rambutnya gondrong di bagian belakang dan cepak bagian depan.

Pada suatu hari, saya melihat Kastro sibuk berbicara melalui handphone. Di dekatnya ada seorang kawannya yang masih sekampung dengan saya. Saya duduk cukup dekat dengan Kastro sehingga bisa tahu bahwa ia bicara dengan seorang perempuan—juga masih ABG. Kawan cowok di sebelahnya, namanya Nuri, tampak antusias mendengar percakapan Kastro dan teman ceweknya. Kadang Nuri memberi komentar, atau ikut dalam percakapan. Ia beberapa kali meminta handphone supaya bisa berbicara dengan sang cewek di seberang. Ternyata, Nuri dan Kastro memang bicara secara bergantian dengan cewek yang kalau tak salah namanya Mawar itu. Saya mendengar cukup lama obrolan mereka dan tahu: ketiganya sebenarnya hanya saling kenal via handphone. Entah dengan cara bagaimana, Kastro atau Nuri mendapatkan nomor Mawar lalu mengajkanya berkenalan. Mawar menyambut ajakan itu sehingga terjadilah percakapan panjang penuh gelak.

Perkenalan nonfisik via handphone yang dilanjutkan percakapan panjang itu bisa terjadi karena Kastro atau Nuri baru saja membeli kartu perdana merek tertentu yang, kala itu, sedang menggelar promosi besar-besaran melalui pemberian tarif telepon sangat murah. Tarif bicara sesama operator hanya Rp 1 per menit. Untuk ukuran Indonesia, tarif itu sangat murah sehingga Kastro pun membeli kartu perdana dan secara iseng menelepon nomor handphone yang menggunakan operator sama. Mujur ia bertemu ABG perempuan bernama Mawar dan kemudian mereka berkenalan.

Saya tertarik dengan aktivitas percakapan Kastro, Nuri, dan Mawar, karena obrolan mereka, menurut saya, dipenuhi hal menarik yang mungkin bisa disebut sebagai karakter percakapan iseng para remaja. Pertama, jelas hubungan pertemanan mereka hanya terjadi melalui kontak nonfisik. Bisa jadi obrolan mereka ini akan menjadi awalan bagi pertemuan fisik, tapi saya kira pertemanan mereka hanya akan tetap terjadi lewat handphone. Ini pun masih dengan syarat: operator seluler yang sedang mereka pakai masih memberikan potongan harga yang cukup besar sehingga bisa dijangkau secara ekonomi oleh mereka.

Kedua, ketiganya menggunakan nama samaran saat berkenalan. Kastro tidak menyebutkan nama aslinya, bukan pula julukan akrabnya. Ia menyebut nama lain yang agak beken, seperti Diki. Nuri juga demikian. Nama Mawar yang disebut sang cewek sangat mungkin juga hanya samaran. Dari sini, kita tahu: mereka sebenarnya tak pernah benar-benar ingin mengenalkan diri. Nama samaran adalah sebuah pertanda bahwa mereka tak sungguh-sungguh ingin berteman—dalam artinya secara klasik.

Ketiga, isi percakapan mereka benar-benar hanya merupakan hal remeh yang bagi orang dewasa bisa membikin ketawa. Sepanjang puluhan menit dialog, mereka hanya mempercakapkan hal-hal umum semacam sekolah, alamat rumah, aktivitas yang sedang dilakukan. Selebihnya pertanyaan-pertanyaan macam ini: “Sudah makan belum?”; “Baru ngapain?”; atau “Sudah punya pacar belum?”. Karena sejak awal perkenalan mereka dibangun dengan nama samaran, saya curiga bahwa data-data pribadi yang mereka sebutkan sebenarnya juga palsu.

Keempat, percakapan yang mereka lakukan tak mengenal waktu dan tempat. Mereka bisa bercakap kapan saja, asalkan tarif telepon masih sangat murah. Kastro dan Nuri juga tak bercakap-cakap di tempat-tempat privat, semisal kamar atau rumah. Saya bertemu dengan mereka di masjid dan mereka dengan santai melakukan percakapan dengan Mawar. Saat saya berada dalam satu mobil dengan mereka, kala itu kami sedang sama-sama menuju pernikahan kawan kami, Kastro dan Nuri pun tanpa rikuh terus bercakap-cakap via handphone. Padahal ruang mobil yang sempit membuat obrolan mereka bisa didengar oleh semua penumpang mobil lainnya. Tak terlihat bahwa mereka berusaha menyembunyikan isi ibrolan mereka. Bahkan, sangat sering mereka memakai load speaker di handphone mereka sehingga suara Mawar juga bisa jelas terdengar oleh orang lain dalam mobil.

Kelima, ini yang membuat saya ngakak dan menurut saya benar-benar orisinal dari mode obrolan mereka: di sela-sela pembicaraan, Kastro atau Nuri akan meminta Mawar menyanyikan lagu apa saja yang ia bisa. Saya mulanya menyangka Mawar akan menolak, mungkin ia malu. Nyatanya tidak. Dengan suaranya yang tak pas, dan percaya diri yang luar biasa tinggi, Mawar mulai mendendangkan sebuah lagu dangdut yang saya tak hafal judulnya—sesungguhnya, lirik lagu itu juga baru saya dengar kali pertama saat itu. Saya geleng-geleng kepala mendengar nyanyian itu dan tak habis mengerti: apa sih tujuan Kastro dan Nuri meminta Mawar menyanyi? Sebagai hiburan? Sekadar keisengan atau lucu-lucuan?
***

Saya tertarik mengamati bagaimana Kastro dan Nuri melakukan percakapan dengan Mawar karena aktivitas mereka adalah satu eksemplar misal tentang bagaimana hasrat berteman yang dimiliki para remaja berhubungan dengan teknologi komunikasi. Teknologi komunikasi, seperti handphone, bukan barang yang asing dengan mereka. Para remaja membawanya ke mana-mana, kadang mereka berlomba unjuk handphone di hadapan sesama remaja.

Dalam kasus Kastro dan Nuri, handphone adalah sarana yang bisa memuaskan hasrat iseng mereka akan hubungan dengan lawan jenis. Para remaja adalah figur yang mulai punya keterterikan secara konsisten dengan lawan jenis. Mereka mulai belajar bagaimana menjalin hubungan, bagaimana memulai perkenalan, atau membuka obrolan. Mereka membutuhkan pelampiasan: hasrat berhubungan itu dalam waktu tertentu harus disalurkan.

Berbeda dengan orang dewasa yang cenderung ingin menjalin hubungan serius, remaja menginginkan hubungan yang penuh petualangan dan keisengan. Mereka sama sekali tidak serius. Bukan hasil akhir hubungan itu yang penting bagi mereka. Alih-alih tertarik dengan hal itu, mereka lebih terangsang dengan hal-hal iseng, seperti berkenalan dengan orang-orang baru, menjalin percakapan dengan lawan jenis tak dikenal, atau semacamnya. Tampaknya, mereka menyukai proses perkenalan dengan orang-orang baru karena hal itu menantang, membuat penasaran. Tujuan utama perkenalan itu jauh dari motif mencari pasangan yang serius dan sebagainya.

Hal semacam itulah yang membuat Kastro dan Nuri berani menelepon sebuah nomor tak dikenal, lalu mengajak sang empunya nomor berkenalan. Hasrat berteman yang dipenuhi keisengan itu pula yang menyebabkan Mawar menerima ajakan perkenalan dari Kastro, tak peduli bahwa cowok yang mengajaknya kenalan hanya sekadar iseng. Kastro iseng, dan Mawar juga sangat mungkin hanya iseng.

Belum lama ini, saya kembali teringat dengan model keisengan Kastro dan Nuri saat membaca Rubrik SMS Gaul di Harian Solopos Edisi Minggu. Solopos adalah koran yang mendominasi di wilayah Solo dan sekitarnya sejak 1998, saat kerusuhan melanda Solo. Tiap Minggu, Solopos punya halaman khusus remaja berisi beberapa rubrik seperti puisi, wawancara, curhat, dan artikel mengenai dunia remaja—semuanya ada di dua halaman bernama Gaul. SMS Gaul adalah bagian dari halaman itu, merupakan rubrik berisi pesan singkat dari para remaja yang berisi berbagai hal. “Punya unek-unek atau mau mengirim pesan ke teman-teman, sampein aja lewat SMS Gaul,” begitulah isi pengumuman singkat di bagian atas rubrik yang kemudian disusul dengan cara pengiriman pesan.

Sejak lama saya mengacuhkan rubrik itu tapi beberapa waktu lalu entah kenapa saya membaca rubrik itu dengan agak teliti. Saya menemukan, rubrik itu memang banyak berisi ucapan yang ditujukan kepada kawan dari si pengirim—mirip dengan model “salam-salam” via radio—dengan bahasa gaul yang kadang di luar nalar. Salam-salam semacam itu sebenarnya lucu jika disampaikan via koran karena pesannya jelas akan lebih lambat diterima orang yang dituju ketimbang jika dikirim langsung ke nomor handphone kawan bersangkutan. Model pengiriman pesan semacam ini menunjukkan, sang pengirim tak sekadar ingin memberi ucapan pada kawannya. Ia mungkin ingin numpang beken via koran, atau ingin para pembaca koran tahu bahwa ia sedang memberi ucapan pada kawannya.

Selain pesan model “salam-salam”, saya menemukan jenis pesan lain, yakni: semacam ajakan untuk berkenalan yang ditujukan kepada para pembaca anonim. Di Edisi Solopos Minggu, 15 Maret 2009, saya menemukan pesan yang dikirm oleh Choky (Sragen, HP: 085725091234): kulOnuwun....?aLOw cmua? Buat smuanya yg pengen kenaLAn ama aQ, CURHAT AMA AQ, silakan sms Aq di nOmer ini..atAu buka fsQ aja di cookies_fi@plasa.com. Kta temenQ si FaCE Q mirip bojes afi. ha_x. thanks bwt Solopos, sukses teruZT..

Dilihat dari pemakaian hurufnya, pesan Choky, yang saya ketik sesuai dengan aslinya, memang tampak mencolok. Menggunakan paduan huruf besar-kecil yang tak beraturan, juga penggantian huruf tertentu pada sebuah kata—seperti “halo semua” menjadi “aLOw cmua”—pesan itu secara bentuk memang menunjukkan kecenderungan remaja sekarang yang ingin berkomunikasi secara berbeda dan terlihat “gaul”. Meski tertarik dengan model penulisan semacam itu, saya justru lebih tertarik dengan isi pesan Choky yang mengajak para (remaja) pembaca Solopos “yg pengen kenaLAn ama aQ, CURHAT AMA AQ” untuk mengirimkan SMS ke nomornya atau berkenalan via Friendster.

Ajakan kenalan dan curhat yang dikirimkan Choky sebenarnya janggal sebab pesan itu dikirimkan kepada publik yang anonim, tanpa identitas. Umumnya, ajakan berkenalan kita ajukan pada sosok yang jelas, yang walau belum kita kenal, tapi jelas orangnya. Sementara, ajakan curhat biasanya hanya diajukan buat orang yang sudah kita kenal baik. Pesan Choky melabrak dua kelaziman itu. Meski demikian, model pesan ala Choky ternyata sangat banyak saya temukan di SMS Gaul. Banyak sekali remaja di sekitar Solo yang ternyata mengajak kenalan dan curhat orang-orang anonim.

Bagi saya, pesan-pesan berisi ajakan kenalan itu menunjukkan bahwa remaja sekarang memang memiliki hasrat besar untuk melakukan pertemanan dengan cara yang aneh-aneh—sebuah keisengan yang juga diperlihatkan oleh aktivitas percakapan Kastro, Nuri, dan Mawar. Mereka terbiasa melampiaskan hasrat itu melalui teknologi komunikasi, seperti handphone, koran, atau internet. Pesan-pesan ala Choky yang kini bertebaran di koran, sangat mungkin tidak hanya Solopos, merupakan bukti bahwa remaja memang memiliki ketertarikan terhadap hubungan dengan proses yang menantang.

Sukoharjo, 10 September 2009
Haris Firdaus
gambar dari sini

Read more...

Anak-anak dari Dusun Global

>> Saturday, August 29, 2009


Perlahan-lahan ada yang sedang berubah dari dunia anak-anak di sekeliling kita. Sebuah pergeseran yang terjadi dalam imajinasi mereka, juga ketertarikan, dan harapan-harapan. Kebudayaan anak-anak Indonesia tak mungkin lagi dianggap sebagai ruang sempit yang hanya berisi produk-produk kultural yang ditafsirkan sebagai “asli Indonesia”. Suka atau tidak, kita sedang menyaksikan anak-anak itu memasuki satu ranah budaya baru: sebuah lanskap kultural yang pernah disebut Marshall McLuhan sebagai “dusun global”.

Pemikiran ihwal pergeseran itulah yang hadir di kepala saya, menjadi satu kesimpulan sementara tentang dunia anak-anak paling kontemporer di Indonesia, ketika saya memandangi satu demi satu lukisan-lukisan yang dipamerkan dalam Pameran Lukisan Anak dan Remaja 2009. Pameran yang diadakan di Balai Soedjatmoko, Solo, pada 22-28 Juli 2009 itu bisa menjadi bahan refleksi mendalam tentang wajah anak-anak Indonesia hari ini. Diikuti sekira 27 pelukis yang masih menempuh pendidikan di taman kanak-kanak sampai SMA, pameran yang kebanyakan menampilkan lukisan realis tersebut merupakan cermin bening tentang imajinasi, harapan, juga dunia yang paling dekat dengan anak-anak di Indonesia.

Secara umum, obyek yang menjadi bahan lukisan dalam pameran itu memang bervariasi: pemandangan sawah dan gunung, tokoh kartun, binatang, dunia sosial manusia, garis dan komposisi abstrak, serta pelbagai ihwal lain. Tapi dipandang dari sudut yang lebih jeli, ada kecenderungan lukisan-lukisan dalam pameran tersebut menampilkan anasir-anasir dari kebudayaan yang bisa dikatakan sebagai “bukan asli Indonesia”.

Lukisan berjudul Dream karya Ines Pramesti (SMP 12 Surakarta), misalnya, menampilkan dua sosok dengan karakter fisik mirip tokoh kartun Jepang. Dalam lukisan itu, kita akan melihat seorang gadis berkuncir dua ala komik Jepang sedang duduk di atas bulan sabit. Di sampingnya, ada seorang peri bersayap—yang penampilan fisiknya lagi-lagi mengingatkan saya pada tokoh-tokoh anime—sedang terbang, sambil membawa tongkat sakti dengan bintang di ujungnya. Bahkan jika kita mengabaikan fisik sang gadis dan perinya, kita tetap menjumpai konsep yang cukup asing dalam kebudayaan Indonesia. Peri, contohnya, bukanlah berasal dari khasanah cerita rakyat kita—juga kata “dream” yang menjadi judul lukisan itu.

Hal yang sama saya temukan dalam Little Lily in Candy Line karya Elaine Pricillia Halim (Focus Independet School). Lukisan sederhana ini menampilkan seorang gadis berkepang dua dengan baju terusan dan rompi sedang duduk di tanah, di dekat sejumlah permen yang berjejer-jejer. Entah dari mana Elaine memungut kisah tentang Lily kecil ini, tapi yang pasti: ia bukanlah warisan kultur nusantara. Demikian pula Pooh and Piglet-nya Yurika Sugiarto (SD Kalam Kudus), Ferrari-nya Eric Raharjo (SD Kalam Kudus), Istana Cinderella-nya Emilee Elaine Budhi (Singapore Piaget Academy), Hello Kitty-nya Shanice Lau (SD Kanisius Keprabon II Solo), dan sejumlah karya lain.

Tentu saja ada yang melukis dengan nuansa-nuansa Indonesia, semisal Bebek Adus Kali-nya Audrey Kusnadi, Aku Anak Indonesia-nya Maria Jessica (SD Kanisius Keprabon II Solo), Membatik-nya Yahya Natania Irawan (TK Pelita Kasih Nusantara, Solo), atau Solo Batik Carnival karya Michelle RP Pangemanan (tamat dari TK Warga). Tapi sebagian dari lukisan-lukisan itu menampakkan semacam jarak antara pelukis dan karyanya—ada semacam ketidakakraban yang saya temukan dalam karya-karya itu.

Dalam Membatik, misalnya, hadir seorang perempuan yang sedang membatik dengan canting, di bawah sebuah pohon. Di belakangnya, ada pemandangan indah terbentang: langit warna-warni yang dipenuhi sinar matahari. Memandangi lukisan ini, saya menduga bahwa Yahya tidak akrab dengan dunia batik, sebab para pembatik sesungguhnya tak pernah—atau minimal jarang sekali—membatik di alam terbuka. Lagi pula, para pembatik biasanya bekerja secara kolektif, tidak sendirian. Imajinasi Yahya tentang proses membatik, agaknya dirancukan dengan proses melukis ala Barat. Secara visual, dalam film atau acara televisi lain, kadang kala digambarkan seorang yang melukis di tengah alam terbuka hijau yang indah—persis dengan latar dalam Membatik.

Barangkali kita bisa maklum: sebab Yahya, yang melukis Membatik, masih seorang murid taman kanak-kanak. Tapi paling tidak, kita bisa menyimpulkan: dunia batik tradisional bukanlah wilayah yang benar-benar diakrabi anak-anak Indonesia sekarang. Mereka lebih akrab dengan komik atau kartun, sehingga, tidak bisa dihindari, dua hal itulah yang lebih fasih mereka bicarakan atau lukiskan.

Simak lukisan Naruto dkk yang mencampurkan tokoh-tokoh dari kartun Naruto dengan dunia sosial khas kampung Indonesia. Lukisan karya Ivan Kristiawan Eddyanto (SD Kanisius Keprabon II Solo) ini menghadirkan Naruto sebagai petugas kebersihan yang sedang mengemudikan gerobak sampah, Sakura sebagai penjual jamu gendong, dan Sasuke sebagai pemuda desa yang sedang membetulkan genteng rumah. Ada beberapa tokoh lain dari kartun itu yang juga hadir: ada yang berperan sebagai pemulung, tukang becak, dan pemuda yang sedang mengayuh sepeda onthel.

Naruto dkk adalah lukisan paling unik yang saya temui dalam pameran ini. Saya terpesona dengan kefasihan Eddy melukis tokoh-tokoh kartun itu dan memaukannya dengan unsur-unsur lokal, sehingga akhirnya saya menerima—meskipun awalnya terkejut—kehadiran Naruto sebagai petugas kebersihan, atau Sakura yang pemberani itu sebagai penjual jamu gendong. Seolah-olah, keduanya dan juga kawan-kawan mereka bukanlah jagoan dari sebuah negara asing, tapi orang-orang biasa dari suatu kampung yang dekat. Imajinasi Eddy menarik, juga kemampuannya mencampurkan “anasir asing” dengan ihwal yang berada di dekatnya.

Kemampuan mencampurkan semacam itulah, terutama dalam seni meski tak terbatas hanya di wilayah itu, yang barangkali bisa menjadi penawar bagi mereka yang gelisah terhadap ketertarikan dan kedekatan anak-anak Indonesia masa kini dengan “budaya luar”. Sebab sesungguhnya, kita tak pernah mungkin lagi membatasi anak-anak itu untuk hanya mencicipi “dunia lokal” seperti laiknya orang-orang tua mereka lampau. Televisi, internet, juga sumber-sumber informasi lain, telah tersedia dan berada dalam jangkauan mereka, semenjak lahir hingga dewasa. Maka, pembatasan semacam apapun akan mudah dijebol—sebab sekali demarkasi itu telah ditembus, susah kita menambalnya kembali.

Oleh karena itu, yang diperlukan adalah sikap kritis, pada setiap produk budaya yang hadir—sikap itulah yang antara lain tercermin dalam lukisan Naruto dkk. Sikap semacam itu yang perlu diupayakan tumbuh pada anak-anak kita, supaya mereka punya bekal cukup saat memasuki dunia baru yang dilimpahi informasi ini. Bagaimanapun, mereka kelak akan menjadi warga dusun global dan hidup di dalamnya, sehingga harus ada upaya kultural mempersiapkan mereka sejak dini menjadi lebih kritis, lebih peka, dan lebih kreatif. Dusun global itu telah di depan mata, dan anak-anak tersebut sedang memasukinya. Lalu, akankah kita diam saja?

Sukoharjo, Juli 2009
Haris Firdaus

Read more...

Dan Keresahan Makin Akrab

>> Saturday, August 15, 2009

pameran4
Indonesia hari ini adalah sebuah dunia yang resah. Dan, kebanyakan seni yang tercipta di masa ini seringkali jadi cermin yang memantulkan keresahan itu.

Asep, Budi, dan Jajang berdiri berjejer. Ketiganya masih mengenakan seragam putih merah khas SD mereka. Asep memegang stick playstation yang tersambungkan seutas kabel ke otaknya. Budi berdiri dengan wajah kaku memegang seikat buku—yang paling atas bertuliskan “matematika” sekaligus bergambar tengkorak. Di kepalanya ada sebuah bola lampu yang kelihatan baik-baik saja tapi tak tampak menyala. Jajang berdiri di pojok kanan, memegang timbangan yang menunjuk angka 90 ons. Di atas timbangan itu ada segumpal otak manusia.

Tentu saja saya tidak melihat mereka di jalanan sepulang sekolah. Saya melihat mereka di dalam sebuah lukisan karya Isa Perkasa yang secara resmi dilabeli “Sekolah Dasar” (135 x 200 cm, 2009). Lukisan yang digambar menggunakan pastel ini menjadi satu dari sekian banyak karya yang dipajang dalam pameran bertajuk keren: “Indonesia Contemporary Drawing”. Pameran yang tentu saja khusus memajang karya yang dibuat dengan seni gambar ini berlangsung pada 16-24 Juni 2009 di Galeri Nasional, Jakarta. Ada 53 perupa Indonesia yang turut serta. Selain Isa, sejumlah nama beken tercatat ikut: Agus Suwage, Ugo Untoro, Nus Salomo, Ivan Sagita, dan lain sebagainya.

Saya berhenti lama di depan “Sekolah Dasar”. Ketiga murid SD yang tergambar di sana tidak memiliki wajah yang jelas, apalagi ekspresi yang memadai. Saya tahu nama mereka dari selembar kain sempit yang tertempel di baju seragam mereka dan berisi nama individual masing-masing. Barangkali ini semacam ironi: murid-murid SD kita memang tak bisa dikenali dari “raut wajah” mereka karena pada dasarnya “raut wajah” para murid itu sudah diseragamkan oleh daftar pelajaran, ujian nasional dengan satu standar, dan cara pengajaran yang tak peka pada bakat individual. Murid-murid SD di negara kita mungkin terus-menerus diancam oleh semacam kolektivitas yang menihilkan karakter pribadi, yang tak memperbolehkan kreativitas liar tersalurkan—sejatinya, ancaman ini tak hanya berlaku buat murid SD saja. Sampai di sini, lukisan Isa membawa kita pada satu refleksi yang pahit: satu-satunya penanda yang bisa membuat kita mengenali anak-anak itu adalah seragam yang terganduli nama mereka.

Dalam “Sekolah Dasar”, seperti telah saya deskripsikan di awal, masing-masing murid membawa benda-benda aneh yang barangkali bisa dilihat sebagai “simbol umum” tentang dunia anak sekolah dasar. Barang yang dipegang tiap orang itu tak mewakili karakter mereka masing-masing—sekali lagi, mereka tak pernah punya karakter yang bisa diimbuhi kata”masing-masing”!—tapi berkisah tentang bagaimana dunia umum anak seusia mereka.

Asep yang otaknya terhubung dengan stick playstation adalah simbol tentang keterhubungan atau bahkan ketergantungan bocah-bocah itu pada game modern yang mengasyikkan sekaligus melenakan. Budi yang memegang buku terikat dengan gambar tengkorak barangkali semacam kisah tentang buku pelajaran yang tak hanya bisa merupakan “madu” tapi juga”racun”. Buku-buku yang dipegang itu tidak terbuka, tapi tertutup rapat sekaligus terikat. Jika pada Asep kita melihat keterhubungan yang begitu kuat—dalam simbol kabel stick playstation yang langsung terkoneksi ke kepala—maka pada Budi kita justru melihat semacam ketidaknyambungan. Buku-buku yang tertutup rapat sekaligus terikat adalah penanda tentang ketidakterhubungan itu. Dan bola lampu di atas kepala Budi yang terlihat baik-baik saja tapi tak menyala mungkin bercerita tentang bagaimana buku—apalagi yang tertutup dan terikat—tak selalu memberi “penerangan” yang memadai. Sementara, Jajang yang sedang menimbang otak itu berbicara tentang dunia pendidikan kita yang selalu melulu menimbang aspek kognitif saja dan melupakan pelbagai sisi kemanusiaan yang sebenarnya juga teramat penting bagi pertumbuhan peserta didik.
***

“Sekolah Dasar” hanya satu misal tentang karya seni yang gelisah memandang kondisi sosial kita. Di pameran “Indonesia Contemporary Drawing”, karya seni yang semacam itu cukup banyak meski tema lukisan dalam pameran tersebut sama sekali tak terbatas pada kondisi sosial politik saja.

Lukisan “Stay to Heaven” (145 x 200 cm, 2009) karya Dede Wahyudin juga sangat menarik. Paradoks dengan judulnya sendiri, lukisan yang digambar dengan charcoal di atas kanvas ini merupakan semacam kekacauan yang mengandung teror. Ada begitu banyak manusia—atau makhluk yang katakanlah bisa dianggap sebagai manusia—dengan rupa yang mengerikan, sebagian tak lengkap bagian-bagian wajah atau tubuhnya. Ada seorang manusia yang tampaknya jadi pusat di lukisan itu, di antara seabrek manusia lainnya. Ia, sang tokoh yang saya anggap sebagai “pusat”, duduk dengan senapan menggantung di bahunya. Di telinga sebelah kirinya, terselip setangkai kembang. Kaki sang tokoh terendam air bertabur bunga di dalam baskom. Dari moncong senapannya, muncul bunga yang terkulai layu. Jangan bayangkan tokoh ini bergelimang keindahan. Ia digambar dengan muram melalui warna dominan hitam, wajah yang gelisah, mata mendelik.

Di sekeliling sang “pusat”, beberapa manusia sedang melakukan aktivitas yang mengingatkan kita pada gambaran tentang kerja paksa dalam buku-buku sejarah: sebagian manusia itu terantai tangannya, ada yang tertutup matanya, ada pula yang tampak berperan sebagai algojo bercambuk. Tentu saja, tiap orang waras paham: lukisan ini tak mengandung “heaven” dalam pengertian yang lumrah. Atau, jangan-jangan, kita mesti bertanya: kalau memang dalam lukisan itu ada semacam surga, surga siapakah itu? Surga milik sang “tokoh pusat” dan neraka bagi manusia lainnya? Atau mungkin kita harus mengubah cara pandang: di dunia yang kacau balau seperti itu, jangan-jangan masih ada “sesuatu” yang bisa—atau malah harus?— kita anggap sebagai “surga”? Di antara begitu banyak kekacauan yang meneror, bukankah kita masih bisa bertahan dengan menciptakan semacam surga sendiri?

Lukisan S Teddy Dharmawan yang berjudul “Wajah Rantai” (200 x 150 cm, 2009) mengingatkan saya pada begitu banyak kekangan yang menghambat kita untuk sekadar menampakkan wajah sendiri. Lukisan dengan latar merah yang mencolok dan digambar dengan acrylic di atas kanvas ini berisi sketsa sebuah wajah yang terbentuk dari jejalin rantai. Semua bagian wajah—mata, hidung, mulut, alis, dan lain-lain—dibentuk oleh rantai yang menyambung. Wajah itu memang terbentuk, bisa kita lihat, tapi sekaligus kita juga sangat tahu: ia terbentuk dari rantai. Mungkin ini perlambang tentang problem identitas yang sudah sejak amat lama tapi tak pernah benar-benar selesai di sekitar kita. Bahkan di masa yang sering secara berlebihan dianggap sebagai kurun tumbuh suburnya pluralisme, multikulturalisme, dan toleransi ini, “Wajah Rantai” tetap relevan. Tetap banyak wajah yang tak pernah bisa tampil “apa adanya” dengan leluasa karena terlalu banyak rantai yang membelenggu. Atau, jangan-jangan, wajah yang terbentuk dari rantai memang kodrat kemanusiaan kita?

Kita tak bisa menjawab pasti. Lukisan-lukisan S Teddy juga tidak. Seperti banyak lukisan lain di pameran seni gambar itu, gambar Teddy adalah sebongkah kegelisahan, bukan jawaban. Ia memaksa kita yang kadang-kadang dilanda kenyamanan ini untuk kembali gelisah, membikin kita yang mungkin malas berrefleksi menjadi lebih peka. Lukisan-lukisan itu juga berpotensi membuat kita lapar, kehausan, dan selamanya bertanya. Atau, jika dirumuskan secara pendek: mereka membuat keresahan makin akrab dengan kita.

Jakarta, Juni 2009
Haris Firdaus

Read more...

Teror Bom, Adu Cepat, dan Jurnalisme Ludah

>> Wednesday, July 22, 2009


Pemberitaan televisi kita soal bom di JW Marriott dan Ritz-Carlton dipenuhi dengan adu cepat berita serta “jurnalisme ludah” yang berisi omongan spekulatif, perbincangan konspiratif, dan pertanyaan klise yang kadang-kadang konyol.

Di antara semua stasiun televisi Indonesia, Metro TV yang paling cepat mengabarkan peristiwa peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada Jumat, 17 Juli 2009 lalu. Hari itu, sebelum pukul 08.15, Metro sudah menyiarkan bahwa ada ledakan di Hotel Ritz-Carlton. Pertama kali berita dikabarkan lewat mata acara Headline News, lalu disusul acara berita khusus bertajuk Breaking News. Sebagai televisi berita, Metro terbiasa menghadapi peristiwa-peristiwa tak biasa semacam ini dengan membuat “acara dadakan” yang durasinya panjang dan isinya khusus membahas satu peristiwa.

Ledakan di JW Marriott terjadi pada pukul 07.47, sementara di Ritz Carlton pukul 07.57. Hanya beberapa menit kemudian, saya yang berada ratusan kilometer dari Jakarta sudah menyimak kabar soal ledakan itu, meski tentu saja, belum berupa informasi yang lengkap. Kemungkinan besar Metro TV menerima kabar kilat ini dari pemirsanya. Berita-berita soal ledakan tersebut pada detik-detik awal memang hanya berupa informasi lisan yang selama beberapa menit diulang-ulang.

Presenter Breaking News, selama beberapa menit, selalu mengulang kalimat, “Pemirsa, beberapa waktu yang lalu telah terjadi ledakan di Hotel Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta.” Hal semacam ini, meski agak membosankan bagi kita yang menonton, tapi merupakan laku tak terhindarkan dari sebuah organisasi berita yang ingin secepat mungkin mengabarkan sesuatu pada khalayaknya. Pada momen-momen itu, saya kira, pengetahuan para awak redaksi Metro soal ledakan tersebut tak banyak berbeda dengan para penontonnya. Jadi, memang tak ada yang bisa disiarkan selain mengulang kalimat yang sama. Jangankan gambar, informasi lebih banyak soal ledakan itu saja belum didapat.

Beberapa menit kemudian, setelah informasi lisan dari presenternya, Metro mulai menghubungi sejumlah orang yang disebut sebagai saksi mata ledakan. Beberapa orang diwawancarai secara langsung via sambungan telepon. Ini berlangsung dalam hitungan setengah jam lebih. Dan, tetap masih belum ada gambar. Informasi yang dikumpulkan—sekaligus disiarkan langsung pada kita—melalui wawancara langsung ini hanya sepotong-potong, sama sekali tidak sistematis, dan banyak terjadi pengulangan yang mubazir. Hal semacam ini terjadi karena presenter yang melakukan wawancara tidak melontarkan pertanyaan secara sistematis. Seharusnya, pertanyaan-pertanyaan dasar yang mencakup 5W+1H diajukan lebih dulu, baru dilanjutkan dengan persoalan yang lebih mendalam.

Yang sangat saya sayangkan, pada awal-awal pemberitaannya, Metro TV gagal menangkap fakta bahwa pagi itu terjadi dua ledakan di dua tempat yang berbeda. Selama setengah jam lebih, Metro hanya mengabarkan bahwa ledakan terjadi di Hotel Ritz-Carlton, sama sekali tak menyinggung nama JW Marriott. Saya yang menyimak beberapa pemberitaan di stasiun televisi lain sempat bingung: sebenarnya, ada berapa ledakan, di berapa tempat. TV One, televisi berita saingan Metro, lebih tepat menangkap fakta karena sejak awal sudah menyiarkan adanya dua ledakan: satu di JW Marriott, satu di Ritz-Carlton.

Metro TV juga memiliki “cacat akurasi” karena seorang narasumber yang diwawancarainya sempat mengatakan bahwa ledakan di Ritz-Carlton terjadi akibat genset yang meledak. Narasumber yang menyebut informasi ini seorang pekerja kantoran yang kebetulan ada di dekat tempat ledakan. Ia mengatakan, informasi soal genset yang meledak itu didengarnya dari “seorang polisi”. Presenter Breaking News Metro TV sempat menyebut informasi ini “seharusnya cukup dapat dipercaya”.

TV One memang lebih akurat, tapi sebagai televisi berita, seharusnya TV One malu karena terlambat menyiarkan berita ledakan itu selama lebih setengah jam dari Metro. Ketika Metro sudah mulai menyiarkan berita ledakan, TV One masih tenang-tenang saja dengan acara “Apa Kabar Indonesia”-nya yang membosankan itu. Saya sempat berpikir: apakah para awak TV One tak menyimak Metro, saingan terberatnya itu?

RCTI adalah stasiun televisi ketiga yang menyiarkan berita ledakan. Tapi Trans TV yang pertama kali menayangkan rekaman gambar soal peristiwa itu. Dibandingkan Metro, TV One, dan RCTI yang belum memiliki gambar dan hanya mengandalkan berita melalui wawancara langsung dengan orang-orang yang disebut sebagai “saksi mata”—sesungguhnya, kita tak tak pernah diyakinkan soal kredebilitas sumber-sumber ini—Trans TV menyajikan liputan yang lebih lengkap. Peristiwa ledakan dihadirkan secara lebih baik, dengan rekaman audio visual soal proses evakuasi korban yang mulai menarik empati kita soal dampak ledakan. Ketika Trans TV mulai menayangkan rekaman-rekamannya, stasiun televisi lain masih terus berkutat dengan wawancara telepon.
***

Lepas dari detik-detik awal kejadian, persaingan yang terjadi bukan lagi soal kecepatan. Perlombaan mendapatkan gambar, dan buru-buru memberi cap “eksklusif”, merupakan bentuk kompetisi selanjutnya yang dilakukan stasiun-stasiun televisi. Metro TV dan TV One tetap bersaing paling ngotot. Bentuk kompetisi lain adalah menghadirkan “analisis” atas peristiwa ledakan bom tersebut, terutama soal siapa yang berada di balik aksi teror itu. Dalam lomba analisis ini, secara ironis, TV One harus diberi “tropi juara satu”.

Melalui mata acara “Apa Kabar Indonesia” dan pelbagai tayangan berita dan talkshownya, TV One memang amat rajin membuat analisis. Bahkan, tema perbincangan di “Apa Kabar Indonesia Pagi” selama beberapa hari pasca-ledakan terus-terusan diberi tajuk “Analisis Peristiwa Bom”. Sayangnya, apa yang disebut sebagai “analisis” ini tak lebih dari perbincangan-perbincangan spekulatif dan kadang-kadang bahkan konspiratif. Para narasumber yang diundang kebanyakan adalah orang-orang yang secara tiba-tiba diberi atribusi-atribusi lucu, semisal “pengamat terorisme”, “pengamat intelijen”, dan “pengamat keamanan”. Parahnya, para presenter yang memandu pun kadang-ladang melontarkan pertanyaan-pertanyaan klise, diulang-ulang, dan bahkan konyol.

Saya masih ingat bagaimana seorang pembawa acara “Apa Kabar Indonesia Pagi” bertanya pada Hendropriyono, Mantan Kepala BIN, berapa persen jumlah gedung di Jakarta yang sudah memiliki metal detector? Keesokan paginya, sang pembawa acara yang sama ternyata bertanya pada seorang peneliti LIPI, apa sih sebenarnya kegunaan metal detector? Pertanyaan-pertanyaan tidak cerdas semacam itu bukan sekali-dua diajukan. Orang-orang seperti Andri Jarot dan Indy Rahmawati—dua nama yang belakangan amat sering memandu “Apa Kabar Indonesia Pagi”— sering kali terjebak pada klise-klise tak berguna semacam itu.

Ketimbang melakukan penelusuran investigatif yang menghasilkan fakta-fakta, TV One memang lebih suka mengundang “para pengamat” untuk ditanyai. Bagi saya, ini sebuah kemalasan, dan kalau kecenderungan ini terus-terusan berlanjut, predikat “televisi berita” sebaiknya diganti menjadi “televisi talkshow” saja—mengingat, jumlah talkshow di TV One amat banyak juga kan? Tapi kemalasan semacam itu memang tabiat jurnalisme Indonesia yang sulit dibendung. Lebih suka menanyai narasumber, lalu menjadikan pernyataan narasumber tadi sebagai berita, itulah kemalasan yang saya maksud.

Dalam ihwal tertentu, hal tersebut sama sekali bukan masalah. Tapi dalam peristiwa semacam ledakan bom kemarin, “jurnalisme ludah” semacam itu sungguh membosankan, dan terutama sekali membingungkan. Bagaimanapun, yang dibutuhkan bukan omongan spekulatif yang kabur, konspiratif, atau bombastis. Yang dibutuhkan publik pada masa pasca-teror adalah kejernihan dan kejelasan. Pendeknya, yang dibutuhkan adalah jurnalisme dengan akurasi, bukan jurnalisme yang (hanya) dipenuhi ludah “para pengamat”.

Ketika melakukan kajian atas berita-berita Bom Bali I, Eriyanto dan Agus Sudibyo menyimpulkan bahwa kebanyakan media massa di Jakarta lebih suka mengutip komentar “para pengamat” ketimbang melakukan pencarian fakta-fakta di lapangan. Salah satu yang paling sering mengutip para komentator waku itu adalah Harian Republika. Satu penyebabnya karena kala itu fakta-fakta yang ditemukan polisi cenderung “memojokkan” citra umat Islam sehingga, sebagai harian yang memihak Islam, Republika berusaha menyajikan berita-berita dengan perspektif beda.

Mereka yang rutin membaca Republika pada masa-masa itu mungkin akan ingat bahwa harian itu berusaha mengarahkan opini tentang keterlibatan Amerika Serikat dalam Bom Bali I. Karena fakta penyidikan polisi tak mendukung opininya, Republika mengutip komentar-komentar dari para tokoh, yang dianggap sebagai “pengamat”, yang mendukung teori konspirasi keterlibatan Amerika Serikat. Teori konspirasi semacam itu akhirnya tenggelam dengan sendirinya, dan kini orang tahu harus menyalahkan siapa atas bom di Bali. Barangkali, kebenaran yang ditemukan jurnalisme soal Bom Bali I dan kita pegang hari ini memang bukan kesahihan yang paripurna, tapi kualitas semacam itu memang bukan tujuan jurnalisme.

Yang terjadi pada Republika tentu berbeda dengan TV One. Republika mengutip para komentator karena alasan ideologis, sementara TV One melakukannya dengan alasan yang kita tak sepenuhnya tahu. Mungkin demi bombasme, atau memang “analisis” semacam itulah yang mereka bisa tampilkan. Yang jelas, keduanya dipenuhi “jurnalisme ludah” yang tidak menyehatkan bagi publik.

Sukoharjo, 22 Juli 2009
Haris Firdaus

gambar diambil dari sini

Read more...

Komunikasi dan Hasrat Ekonomi Solo

>> Thursday, July 2, 2009


Dalam sebuah diskusi tentang jati diri Kota Solo beberapa waktu lampau, Laura Romano, seorang peneliti kebudayaan Jawa asal Italia, mempertanyakan pemakaian slogan “Solo The Spirit of Java”. Secara esensial, slogan itu memang tepat sasaran karena wilayah Solo Raya yang memanggul slogan tersebut bisa disebut sebagai tempat di mana “jiwa kebudayaan Jawa” bersemayam. Akan tetapi, kenapa bahasa slogan tersebut justru seperti mengkhianati esensinya sendiri? Penggunaan bahasa Inggris dalam slogan tersebut, kata Romano, terkesan kontradiktif dengan semangat yang dibawanya.

Bukan hanya wilayah Solo Raya yang menggunakan slogan berbahasa Inggris. Kota Solo, sejak beberapa tahun belakangan, kerap mempropagandakan slogan “Solo Past is Solo Future”. Semangat yang dibawa kurang lebih sama dengan “Solo The Spirit of Java”. Menariknya, kegemaran memakai bahasa Inggris ini juga menular dalam hal pemberian nama tempat di Solo. Sebut misalnya ruang interaksi warga di sepanjang Jalan Slamet Riyadi yang disebut sebagai “city walk”, pasar malam Ngarsopuro yang dinamai “night market”, dan juga Solo Techno Park.

Dalam konteks sebuah kota, pemakaian suatu jargon dan pemberian nama tempat merupakan bagian dari proses “mengkomunikasikan kota”. Idealnya, perancangan sebuah slogan dan nama tempat di suatu kota juga memperhitungkan elemen-elemen dasar proses komunikasi. Dalam konteks ini, pemahaman proses komunikasi menurut Harold D Laswell bisa sangat membantu. Menurut Laswell, proses komunikasi bisa diringkas dalam pertanyaan-pertanyaan berikut: Who Says What in Which Channel to Whom with What Effect. Dari konsepsi itu, kentara bahwa komunikasi terdiri dari beberapa elemen, yakni (a) komunikator atau penyampai pesan; (b) pesan yang disampaikan, (c) sarana penyampaian pesan; (d) komunikan atau penerima pesan; dan (e) efek komunikasi.

Dalam tiap perancangan proses komunikasi, termasuk dalam proses mengkomunikasikan kota, bukan saja masalah esensi pesan dan sarana penyampaian pesan yang harus diperhitungkan. Penentuan secara tepat siapa komunikan dari proses komunikasi tersebut juga merupakan hal yang teramat signifikan. Dalam hal slogan-slogan kota dan nama-nama tempat berbahasa Inggris, kita bisa bertanya: sebenarnya, siapakah yang menjadi komunikan dari slogan tersebut? Siapakah yang ingin disapa oleh pemerintah kota sebagai komunikator melalui slogan tersebut?

Melihat penggunaan bahasa Inggris dalam slogan-slogan kota, kita bisa bercuriga bahwa slogan tersebut memang pada awalnya dan terutama tidak ditujukan kepada warga kota yang tidak memiliki kedekatan emosional dengan bahasa tersebut. Pemakaian bahasa Inggris justru menunjukkan bahwa yang dituju oleh pemerintah kota sebenarnya adalah para turis dari luar negara. Dalam hal ini, slogan kota tidak lagi merupakan semacam alat yang mengikat warga kota menjadi—mengambil istilah Ben Anderson—sebuah “komunitas terbayang”. Nama-nama tempat di kota yang menggunakan bahasa Inggris juga bukan sumber rujukan bagi masyarakat setempat untuk menggali identitasnya. Slogan dan nama tempat yang menggunakan bahasa Inggris hanyalah sarana marketing kota, alat penarik turis guna mendatangkan pendapatan.

Efek Globalisasi
Dari analisis di atas, bisa disimpulkan bahwa kegemaran memakai bahasa Inggris tidak hanya merupakan efek globalisasi yang mengukuhkan keberadaan bahasa tersebut sebagai bahasa internasional. Lebih dari itu, pemakaian bahasa Inggris di Kota Solo atau kota lainnya di Indonesia merupakan efek dari cara memandang informasi sebagai sebuah kapital dan komunikasi sebagai semacam proses ekonomi. Hidup dalam suatu kurun yang sering dilabeli sebagai “zaman ledakan informasi” ini, suka atau tidak memaksa kita mengakui bahwa informasi merupakan kapital yang sangat berharga sekarang. Walau mungkin agak berlebihan, kita bisa mengatakan pada masa ini berlaku diktum “informasi adalah segalanya” dan “segalanya adalah informasi”. Tak seperti di masa yang amat lampau di mana informasi hanya merupakan sebentuk barang sosial, saat ini informasi merupakan komoditas ekonomi yang memiliki nilai jual tak murah.

Peralihan makna informasi dari sekadar barang sosial menjadi kapital juga berarti peralihan fungsi komunikasi. Pada masa ini, komunikasi tidak lagi dilakukan semata-mata demi pencapaian pemahaman bersama. Hasrat ekonomi berupa keinginan meraup laba sebanyak-banyaknya telah menjadi faktor yang menentukan dalam proses komunikasi. Karenanya, komunikasi menjadi sama dengan proses transaksi jual beli yang memperhitungkan laba serta rugi.

Wujud utama dari komunikasi yang dipengaruhi hasrat ekonomi adalah pemasaran. Dalam ihwal kota, ia mewujud dalam proses marketing kota kepada turis dan investor. Tentu saja, tendensi menarik turis dan menggandeng investor bukan sebuah kesalahan. Memasarkan kota, bagaimanapun, menjadi proses yang mutlak terjadi di pelbagai kota di belahan dunia manapun. Masalahnya, keinginan memasarkan kota seharusnya tidak menjadi orientasi satu-satunya dalam mengkomunikasikan kota.

Sebagai komunikator, pemerintah kota tidak hanya berhadapan dengan turis luar negeri sebagai komunikan. Warga masyarakat yang sehari-hari bergulat dalam hidup yang penuh peluh di kota, juga merupakan komunikan, bahkan komunikan utama. Mengkomunikasikan kota kepada para turis—yang dalam bahasa marketing disebut sebagai “branding kota”—tidak boleh menghalangi proses pengkomunikasian kota pada warga masyarakat.

Bagaimanapun, marketing hanyalah satu bagian kecil dari keseluruhan proses komunikasi sehingga marketing kota tidak pernah boleh mendominasi proses komunikasi di dalam sebuah kota. Dengan kata lain: hasrat ekonomi tidak boleh menjadi satu-satunya pertimbangan dalam komunikasi kota. Mengambil pemikiran Jürgen Habermas, komunikasi seharusnya dilakukan dengan tujuan untuk membangun sikap saling mengerti dan mewujudkan sebuah konsesus tanpa dominasi. Karena itu pula, komunikasi kota seharusnya tidak semata bertendensi ekonomi tapi juga merupakan proses sosial di mana semua elemen masyarakat kota berusaha membangun sikap saling pengertian dan pemahaman bersama ihwal kota mereka.

Haris Firdaus
(Dimuat di Suara Merdeka, 9 Juni 2009)
gambar diambil dari sini

Read more...

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP