Sebuah Pemilu Tanpa Ideologi

>> Wednesday, April 15, 2009


Pada sebuah sore, beberapa hari setelah Pemilu, saya melihat seorang penjual makanan keliling sedang mendorong gerobaknya. Ia memakai kaos Partai Gerindra. Di gerobaknya, saya melihat sebuah stiker Partai Keadilan Sejahtera.

Seandainya hal itu tak terjadi di Indonesia pada hari ini, kita bisa menyebut sang penjual makanan tadi sebagai seorang yang plin-plan, seorang bunglon, atau semacamnya. Tapi ini Indonesia tahun 2009, dan orang tak akan peduli jika kau memakai kaos Partai Golkar tapi di rumah atau motormu terpasang stiker Partai Demokrat. Kaos, stiker, umbul-umbul, gambar, dan segala atribut partai politik di Indonesia pada hari ini, sama sekali bukan sebuah simbol yang sifatnya ideologis. Semua atribut partai yang kau pakai tak akan serta merta diartikan sebagai tanda afiliasi politikmu.

Sekali lagi, ini Indonesia tahun 2009, dan kau bisa saja ikut kampanye PDIP pada hari ini tapi di lusa kau akan serta saat Hanura atau Demokrat berkampanye. Tentu saja kau tak perlu hirau dengan perbedaan-perbedaan antarpartai-partai yang kau ikuti kampanyenya. Kau tak usah ambil pusing soal ideologi, platform partai, kebijakan, atau bahkan kau tak perlu berpikir bahwa PDIP dan Partai Demokrat sedang saling serang.

Harian Jawa Pos, pada awal masa kampanye lalu, sempat menurunkan sebuah laporan tentang sejumlah tukang ojek yang menjadi langganan kampanye. Hampir tiap hari, para ojek ini menjadi simpatisan dadakan dari sejumlah partai. Jawa Pos bahkan sempat membandingkan jumlah uang yang diberikan masing-masing partai ke tukang-tukang ojek itu.

Di Indonesia, berita Jawa Pos itu tentu saja bukan lagi merupakan kejutan. Kita akrab dengan semua itu sebab kenyataan macam begitu adalah sesuatu yang telah galib kita jumpai. Mobilisasi massa dengan imbalan uang adalah perilaku yang hampir dilakukan oleh semua partai politik. Saya bahkan melihat bagaimana mobilisasi serupa dilakukan oleh partai yang sering dipandang-dan memandang dirinya sendiri sebagai- "partai yang bersih": PKS.

Mobilisasi massa dengan rupa begitu hanya satu contoh kecil saja dari longgarnya ikatan politik dalam masyarakat kita. Seorang individu bisa jadi tak pernah benar-benar terikat pada satu partai politik secara amat ketat. Sejumlah faktor yang sebenarnya bisa dianggap sepele, salah satunya pemberian uang, bisa melonggarkan ikatan politik seseorang ke partai tertentu dan membuatnya beralih pada partai lain. Kelonggaran macam ini tentu saja tak terjadi hanya pada level awam. Di tataran elite politik kita, yang seharusnya jauh lebih melek politik, kelonggaran politis macam itu justru lebih menggema.

Fenomena loncat parpol yang dilakukan para elite dalam perpolitikan kita hampir-hampir telah membuat kita bosan untuk menyimaknya terus-menerus. Seorang politisi, hanya karena tak mendapat jabatan tertentu, bisa mutung lalu pindah partai atau memilih membuat partai politik baru. Pecahnya sejumlah partai, termasuk Partai Kebangkitan Bangsa, adalah akibat dari longgarnya ikatan politik tersebut. Tentu saja, ada banyak politisi yang memberi alasan-alasan gagah atas kepindahan dia dari satu partai ke yang lain, atau atas keputusan mereka mendirikan partai baru. Tapi semua itu sungguh-sungguh hanya kamuflase. Seandainya ada yang mengatakan pecahnya partai politik di Indonesia hari ini adalah karena "alasan ideologis", hampir semua dari kita akan tersenyum sinis dan membuang muka, sambil ramai-ramai berteriak, "Bohong!".

Jika ada sesuatu yang absen dari praktik berpolitik kita hari ini, maka itu adalah ideologi. Politik kita makin menjelma menjadi sebuah kegiatan praktis dan taktis serta makin menjauh dari apa yang bisa kita sebut sebagai "tindakan ideologis". Partai-partai kita adalah lembaga-lembaga politik yang kebanyakan hidup tanpa ideologi, tanpa sebuah ide besar yang memandu. Oleh karena itu, wajar jika yang kita jumpai adalah oportunisme dan pragmatisme dalam segala laku politik. Sikap politik tak pernah menjadi sesuatu yang kaku. Politik pada akhirnya menjadi laku yang lentur. Selalu ada toleransi, selalu ada kepentingan yang bisa dikompromikan, didagangkan.

Dengan situasi politik tanpa ideologi di kalangan elite, wajar seandainya jika kita bertemu orang-orang awam yang sikap politiknya juga oportunistik dan pragmatis. Kelonggaran afiliasi politik adalah ciri utama sikap politik yang oportunis sekaligus pragmatis. Sikap politik tidak dibentuk oleh kesamaan ideologi atau cara pandang tentang garis besar kebijakan yang harus dilaksanakan, akan tetapi oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang barangkali akan sangat cepat usai.

Kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu lalu adalah misal yang membuktikan pada kita bahwa ideologi adalah sesuatu yang tak pernah benar-benar menjadi penting. Sebagaimana dikemukakan sejumlah pakar politik, kemenangan Partai Demokrat tentu saja berakar pada ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono. Partai Demokrat hanya mengambil keuntungan dari status SBY sebagai pendiri partai tersebut dan sebagai presiden.

Partai itu tak pernah benar-benar punya ide besar yang dijual-sesuatu yang juga terjadi pada partai-partai lainnya. Menjual tokoh, tampaknya, tetap menjadi strategi yang diimani banyak partai politik. Ada yang menyebut bahwa gejala semacam ini menunjukkan masyarakat makin cerdas. Tapi bagi saya, hal itu justru menunjukkan kita tak pernah benar-benar berpolitik secara dewasa. Bagaimanapun, tokoh adalah sesuatu yang selalu rawan sebagai sandaran dalam ihwal politik. Sebuah lembaga dengan ideologi yang baik akan menjadi sandaran yang jauh lebih kokoh. Lembaga memungkinkan adanya regenerasi tokoh, sedangkan tokoh tak selalu bisa diharapkan bersikap bajik dan bijak.

Tapi, mau bagaimana lagi, sejarah panjang depolitisasi yang dilakukan Orde Baru-yang dalam banyak hal juga berarti deideologisasi-telah membuat politik kita hampir-hampir steril dari ideologi. Bahkan PKS yang sebenarnya punya ideologi yang jelas dan tegas pun akhirnya tak pernah benar-benar berani menjual dan mengampanyekan ideologinya. Partai itu justru lebih banyak menjual citra positif dan kinerja para kadernya-sesuatu yang sebenarnya hanya merupakan turunan saja dari ideologi mereka.

Mau bagaimana lagi, kita bukan hidup di tahun 1955 di mana masyarakat masih sangat ideologis. Pada kala itu, mereka yang ikut kampanye tak pernah dibayar. Justru sebaliknya: rakyat yang datang ke kampanye akan mengisi kotak sumbangan sukarela yang ada di lokasi kampanye. Masa-masa itu tentu sudah lewat. Kini, realitanya, Pemilu kita adalah Pemilu tanpa ideologi.

juga dipublikasikan di sini
gambar diambil dari sini

20 comments:

Anonymous April 16, 2009 at 12:52:00 AM GMT+8  

pertamax apa kabar mas...

Anonymous April 16, 2009 at 12:58:00 AM GMT+8  

saya jadi ingat omongannya pengamat politik J Kristiadi bahwa Partai Demokrat itu bukan parpol. Partai Demokrat hanyalah SBY Fans Club. Dahsyatt...dan saya setuju itu.

sawali tuhusetya April 16, 2009 at 2:52:00 AM GMT+8  

pemilu di negeri kita terkenal mahal, mas haris, sayangnya dari pemilu ke pemilu tak tak juga ada perubaham.

hedi April 16, 2009 at 12:33:00 PM GMT+8  

di Indonesia ga ada istilah pendukung setia, semua oportunis dan tergantung prospek duitnya ;)

meylya April 16, 2009 at 2:37:00 PM GMT+8  

memprihatinkan keadaan negara ini

yoan April 17, 2009 at 12:18:00 PM GMT+8  

hummm..

pengen reply hedi...
saya cuma inget temen2 saya yg kader n simpatisannya pks,
kaga pake di kasi duit (gak pernah malah) juga berangkat kampanye...

...karna udah 'cinta' kali ya...

Dony Alfan April 18, 2009 at 3:53:00 AM GMT+8  

Ya, ini lebih kepada soal pragmatis daripada ideologis. Maunya cari kenyang, ideologi sudah mati :D

haris April 18, 2009 at 8:17:00 AM GMT+8  

@ zenteguh
saya baik2 saja, mas.

@ yoan
tapi PKS pun tak lepas dari mobilisasi massa saat kampanye kmrn kan? memang ada kader2nya yg ideologis, tapi kadang ada caleg yg masih harus merasa mendatangkan massa tambahan.

@ dony
sprti kata Daniel Bell: kita hidup di era akhir ideologi, don!

Anonymous April 18, 2009 at 9:23:00 AM GMT+8  

Umm betul itu mas atribut yang kita pakai tidak melambangkan kita pendukung setianya si yang punya atribut,makasih mas da mampir di blog aku,oy,mas kenapa engga ngeblog di WP biar lbh mudah ksh komenya.kan bisa di impor juga artikelnya

Rezky Pratama April 18, 2009 at 1:44:00 PM GMT+8  

ya gitu lah, di indonesia masih kacau gini pemilunya,,hehehe
skrg mah tambah gampang jadi caleg lagi yang penting punya duit gitu,,

Indra Mahardika April 18, 2009 at 11:16:00 PM GMT+8  

Kesimpulannya, supaya parpol menang hanya dibutuhkan uang dan tokoh yang benar, setidaknya untuk saat ini.

Anonymous April 20, 2009 at 9:19:00 AM GMT+8  

Memang begitulah, jika ingin menang pemilu harus punya tokoh yang kuat seperti Pak SBY itu dan punya uang banyak. Ideologi menjadi tidak penting lagi.... Jadi ada benarnya juga bahwa Demokrat itu bukan partai, tapi SBY fans club. Jika demikian, saya khawatir nasib Demokrat pada pemilu lima tahun mendatang setelah Pak SBY tak bisa lagi jadi calon presiden.... Gimana ya?

Rumah Sejuta Ide

|a April 21, 2009 at 3:46:00 PM GMT+8  

kan ideologi sudah diamputasi imagologi, ris

ezra April 26, 2009 at 7:12:00 PM GMT+8  

hmm... bukannya politik itu memang pragmatis? yg kemudian perlu dipertanyakan adalah motivasi apa yg mendasarinya saja. memang pada awalnya kita dipandu oleh ideologi. tapi pada titik tertentu, bukankah memang harus ada yang dikompromikan dan dipadupadankan? demi kepentingan yang lebih besar seperti kesejahteraan rakyat, misalnya.
catatan: saya rasa para politisi indonesia blm sampai pada taraf itu

richard April 7, 2010 at 11:13:00 AM GMT+8  

setiap politikus, harus menanamkan ideologi pancasila, supaya negara kita lebih terarah kedepan nantinya>>>

richard April 7, 2010 at 11:14:00 AM GMT+8  

setiap politikus, harus menanamkan ideologi pancasila, supaya negara kita lebih terarah kedepan nantinya>>>

andrianie April 12, 2010 at 12:54:00 PM GMT+8  

inilah politisi di indonesia. Sekarang uang yang berkuasa.

rika April 19, 2010 at 11:33:00 AM GMT+8  

harusnya setiap partai politik mengutamakan ideologi kita
'pancasila'

za_cute May 11, 2010 at 11:48:00 AM GMT+8  

mestinya setiap org yg terjun ke dunia politik menanamkan ideologi kita yaitu pancasila, supaya negara qta sejahtera, tidak mementingkan kepentingan pribadi,,,

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP