Kemerdekaan dan Ihwal yang Tak Selesai

>> Saturday, August 16, 2008


Beberapa malam lalu, saat menyaksikan pentas monolog Putu Wijaya yang berjudul “Merdeka”, saya seolah diingatkan: kemerdekaan adalah sesuatu yang mungkin saja tak akan selesai. Di pentas dengan panggung minimalis itu, Putu membawa kemerdekaan berjalan-jalan ke beberapa arah. Tidak terlampau mencengangkan, tapi juga tak terlalu monoton.

Monolog Putu malam itu adalah sebuah tafsir, sekaligus ajakan untuk bercakap, soal kemerdekaan. Dalam tafsir itu, kadang kita ditarik masuk ke ranah moralitas, politik, sampai wilayah filosfis-kontemplatif. Cerita berputar di antara dongeng seorang kakek yang sedang menidurkan cucunya, percakapan orang tua dengan anaknya yang telah dewasa, sampai sebuah fiksi tentang juragan burung perkutut yang mencoba menafsir kemerdekaan melalui peliharaannya yang berjumlah 220 juta.

Kita akrab dengan yang terakhir: angka 220 juta jelas mengingatkan pada Indonesia yang punya penduduk sekitar jumlah itu. Dengan ditemani sehelai merah-putih—yang disangga bambu reyot yang telah melengkung—di panggung, Putu mencoba bercerita bagaimana kemerdekaan adalah entitas yang kerap punya arti berlainan bagi tiap orang. Ia bisa saja memiliki arti yang sifatnya amat publik, tapi kadang juga melulu bersifat personal. Kemerdekaan bisa saja menakutkan sekaligus menggairahkan, memberi harapan tapi juga kadang membikin capek.

Melalui sejumlah tokoh yang ia perankan sendirian, Putu pertama-tama terlihat hendak membawa kemerdekaan dalam ranah yang “filosofis”: tentang kemerdekaan yang justru berdampak buruk bagi mereka yang “tak siap”, soal kemerdekaan sebagai kebutuhan paling asasi, dan tegangan antara keduanya.

Lalu pendulum digerakkan ke ranah politik: bagaimana kemerdekaan mesti dimaknai sebagai sebentuk “kebebasan sama-sama”, bukan sebentuk kebebasan individu per individu—jika yang terjadi adalah sekadar kebebasan sebagian individu, lalu pertanyaan retoris dilemparkan: sudahkah kemerdekaan itu benar-benar hakiki? Pendulum politik cukup lama dimainkan Putu, seolah tafsir macam ini adalah sesuatu yang tidak akan membuat bosan.

Setelah itu, ranah moral dimasuki. Dengan rengekan dan keluhan khas dari orang-orang yang merasa bahwa kemerdekaan harusnya “menyelesaikan segalanya”, wilayah ini sebenarnya agak rawan untuk sebuah seni. Sebab, telah lama rengekan macam ini disanggah dengan baik. Tapi untungnya Putu Wijaya segera menarik-lepas kembali soal kemerdekaan itu. Dan tarik-menarik itu makin terasa. Bagi saya, tarik-tarikan antar ranah itu menegaskan proposisi bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang tak akan selesai. Ia mungkin saja semacam metafora dalam puisi: sesuatu yang bisa ditafsirkan dengan elastis.

Tapi berhadapan dengan sesuatu yang tak selesai, kita sering merasa capek, atau bosan. Hari-hari ini, sebagaimana tiap Agustus yang meruapkan heroisme, akan banyak orang yang merenung, sambil kadangkala berselisih pendapat soal kemerdekaan. Ada Soetrisno Bachir yang mengajak kita menuju “kemerdekaan yang sejati” melalui iklan yang mengeksploitasi “suster apung”, atau Rizal Mallarangeng yang menawarkan harapan guna mengisi kemerdekaan—dengan berkata dalam bahasa Inggris: “If there is a will, there is a way”—sambil jalan-jalan ke rumah pengasingan sejumlah perintis Republik.

Ada operator seluler yang dengan lucu membuat sebuah proklamasi, ada iklan rokok yang memenggal momen proklamasi Indonesia guna mendekatkan citra sebagai “rokok yang Indonesia”. Kita tahu dan hampir bisa memastikan: di bulan ini akan terjadi banyak diskusi soal kemerdekaan—dengan pertanyaan retoris seperti apakah Indonesia sudah merdeka benar-benar atau belum—yang kebanyakan berakhir sebagai kebosanan. Juga sejumlah hura-hura atau huru-hara yang mendompleng momen Agustusan.

Di kampung-kampung, akan tampak sejumlah kegiatan: mulai lomba memakan krupuk sampai gerak jalan, dari mengecat gapura sampai pentas musik. Semuanya datang bersamaan dengan sesuatu yang kita anggap—atau mungkin kita “imajinasikan”—sebagai kemerdekaan.

Tapi, adakah sesuatu yang “baru” dari semua itu? Adakah kita bisa menemukan semacam “harapan” atau katakanlah semacam “getaran” yang membuat bulu kuduk kita meremang, meski hanya sebentar? Kalau saja Ben Anderson benar—bahwa kita adalah sebuah “komunitas terbayang”—, apakah semua acara itu akan berpengaruh pada ikatan kita sebagai “komunitas”? Jangan-jangan, sebagaimana politik-prosedural kita hari ini, momen kemerdekaan adalah sesuatu yang justru membosankan. Dan semua ekspresi tentang kemerdekaan mungkin hanya akan membuat kita jadi mual.

Saya kira, salah satu yang paling kita butuhkan hari ini adalah harapan. Sebuah harapan yang bisa menimbulkan getaran, semacam sesuatu yang bisa membikin kita jadi tiba-tiba merasa sebagai sebuah “kita yang benar-benar”. Harapan macam itu memang tak akan membuat kemerdekaan jadi selesai. Kemerdekaan tetap akan berupa sesuatu yang bisa ditarik ke mana-mana, dengan proses yang mungkin saja tak akan berhenti. Harapan, hanya kita butuhkan guna menyongsong “ketakselesaian” itu dengan berani. Hanya itu.

Harapan itu perlu agar kita bisa seperti Toto Sudarto Bachtiar. Dalam sebuah puisinya, “Tentang Kemerdekaan” (1953), Toto dengan mantap menulis:

Kemerdekaan adalah tanah air dan laut semua suara
Janganlah takut kepadanya

Kemerdekaan ialah tanah air penyair dan pengembara
Janganlah takut padaku

Kemerdekaan adalah cinta salih yang mesra
Bawalah daku kepadanya


Saya selalu menyukai sajak itu dan tak bosan membacanya. Sejak baris pertama, ketika Toto menulis “kemerdekaan adalah tanah air dan laut semua suara”, sejak itu pula terasa aroma keberanian yang mantap. Pernyataan awal yang berisi penerimaan bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang tak akan selesai—karena ia berisi “semua suara”— itu terasa menggetarkan: ia menerima kemestian dengan gagah, juga tabah. Tak ada nada ketakutan di sana, tak ada sesuatu yang membikin gentar. Toto hadir bak seorang tentara Tuhan yang menyongsong perang sebagai pintu gerbang syahid.

Begitu memesonanya baris pembuka itu sehingga, bagi saya, deret kalimat selanjutnya seperti hanya merupakan “repetisi” dari baris pertama itu. Intinya tetap sama: sebuah gairah untuk menyambut “laut semua suara”, sebuah penerimaan untuk hidup di “tanah air penyair dan pengembara”, atau sebuah sikap untuk menerima kemerdekaan sebagai “cinta salih yang mesra”.

Sekali lagi: untuk sampai ke sana, saya kira, kita butuh harapan. Lalu dari mana datangnya harapan? Saya tak terlampau yakin dari mana. Tapi mungkin saja ia tak datang dari luar. Bisa jadi, ia ada di dalam diri kita sendiri, sedang meringkuk kedinginan di satu sudut hati yang terdalam. Kita mungkin tinggal mengetuk pintu, lalu membangunkannya, kemudian mengajaknya serta. Dengan itu, barangkali kita akan menatap kemerdekaan yang tak selesai ini dengan mantap, sembari dengan sedikit congkak berkata: “Bawalah daku kepadanya!”

Sukoharjo, 15 Agustus 2008
Haris Firdaus

5 comments:

Anonymous August 20, 2008 at 6:39:00 PM GMT+8  

pertmamaaax

sepchless deh aku....gabisa ngomentari. kayak tulisan2 di basis...bagus bgt

Anonymous August 21, 2008 at 1:40:00 PM GMT+8  

kemerdekaan itu tidak jauh...kemerdeka itu tidak dekat...kemerdekaan itu adalah diri kita sendiri..

Anonymous August 21, 2008 at 2:32:00 PM GMT+8  

kemerdekaan itu seperti hidup tanpa hutang bank, seperti berani berkata tidak pada preman, seperti ... banyak sekali ya..

Anonymous August 23, 2008 at 12:20:00 AM GMT+8  

hmmm
cara anda mengemukakan pendapat sangat runtun dan enak dibaca..
pengolahan kata yang sederhana dan pemilihan kosakata yang tepat membuatnya tampak menarik...
salut!!
justru kemerdekaan membuat anda berpikir..bukan berusaha untuk mengikuti kegiatan glamor tanpa tujuan mendidik..
:)

Haris Firdaus August 23, 2008 at 3:16:00 PM GMT+8  

to: gus
.........he2

to:yaqon
kemerdekaan itu adalah diri kita sendiri? maksudnya? apa diri kita itu merdeka? he2.

to: mascayo
kemerdekaan emang bs ditarik ulur kayak metafora. sampai jauh...

to: wahyu reza
thk komentarnya

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP