Membaca Toto Sudarto Bachtiar dalam Tiga Kecenderungan

>> Friday, September 28, 2007




Salah seorang penyair Indonesia yang nama dan sajaknya sering keluar dalam buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah Toto Sudarto Bachtiar (TSB). Salah satu sajak penyair kelahiran Cirebon, 12 Oktober 1929 ini yang paling sering disebut adalah “Pahlawan Tak Dikenal”. Sajak itu memang sederhana dan punya unsur “nasionalisme” sehingga cocok untuk diajarkan pada murid-murid SD dan SMP.

Tapi yang penting untuk disebut dalam tulisan ini adalah bahwa sajak “Pahlawan Tak Dikenal” adalah sajak yang menandai era pertama kepenyairan TSB. Era kepenyairan TSB sendiri terentang dalam tiga kurun jika dilihat pengelompokan dalam buku kumpulan puisinya yang paling lengkap yaitu “Suara, Etsa, Desah” yang terbit tahun 2001 oleh Grasindo.

Era pertama adalah “Era Suara”, yaitu sajak-sajak yang tersatukan dalam Kumpulan Puisi “Suara” yang memuat sajak-sajak tahun 1950-1955 dan terbit tahun 1956. Era kedua adalah “Era Etsa” yang ditandai terbitnya Kumpulan Puisi “Etsa” yang terbit tahun 1958. Era terakhir adalah “Era Desah” di mana puisi-puisi yang masuk dalam era ini dibuat tahun 1997-2001. Mengenali tiga era ini jelas akan terasa sebuah kejanggalan: adanya jarak yang tak imbang antara satu era dengan era lainnya. Era pertama dan kedua cuma berjarak 2 tahun sedangkan era kedua dan era ketiga berjeda 39 tahun! Pertanyaannya, apakah selama 39 tahun itu TSB sama sekali tidak membuat puisi? Sedang apakah dia kalau begitu?

Tulisan ini tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Toh tiap penyair punya hak kapan mesti menulis puisi dan kapan harus berhenti. Tulisan ini lebih tertarik melihat bagaimana kecenderungan sajak di tiga era kepenyairan TSB. Pembicaraan tentang itu tentu memakai “sampel”, sebab tak mungkin semua puisi dalam masing-masing era dibicarakan. Pilihan itu tentu membuat tulisan ini harus mengambil “generalisasi” yang diusahakan dalam tahap yang sewajarnya.

“Suara”: Era Kesohor TSB
Dalam sampul belakang Kumpulan Puisi “Suara, Etsa, Desah” tercantum kalimat seperti ini: “Sejumlah penyair Indonesia terkenal karena sajak-sajaknya dibacakan dan dilombakan setiap tahun pada berbagai peringatan. Salah satunya di antara penyair terkenal itu adalah Toto Sudarto Bachtiar. Dari Toto Sudarto Bachtiar kita kenal sajak kesohor seperti “Ibu Kota Senja”, “Tentang Kemerdekaan”, “Gadis Peminta-minta”, dan “Pahlawan Tak Dikenal”.

Keempat sajak yang disebut sebagai sajak yang “kesohor” dari TSB di atas setelah saya teliti ternyata merupakan sajak yang masuk dalam era pertama kepenyairan TSB. Satu hal yang bisa kita simpulkan adalah bahwa era pertama dalam kepenyairan TSB adalah era di mana ia banyak menghasilkan sajak yang terkenal berdasar ukuran si editor Kumpulan Puisi “Suara, Etsa, Desah”. Tapi ukuran ini agaknya bisa kita terima mengingat bahwa empat sajak itu memang empat sajak yang paling sering dikutip dalam buku pelajaran sekolah sehingga mau tak mau keempatnya adalah sajak yang paling terkenal dari TSB.

Mari kita coba bicarakan empat sajak TSB yang dianggap paling terkenal itu (dan oleh karenanya bisa dianggap paling penting). Sajak pertama adalah “Ibu Kota Senja”. Sajak ini berbicara tentang kehidupan di sebuah kota:

Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari / Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telanjang mandi / Di sungai kesayangan, o, kota kekasih / Klakson oto dan lonceng trem saing-menyaingi / Udara menekan berat di atas jalan panjang berkelokan //.

Tentu ada kecenderungan TSB bicara “permasalahan sosial” dalam sajak itu. Ia bicara tentang “kehidupan sehari-hari” yang berisi “kuli-kuli berdaki” dan “perempuan bertelanjang mandi”. Mungkin ini kehidupan di pinggiran kota besar atau di sebuah daerah kumuh yang terseok di salah satu sudut kota. Dan kota yang digambar TSB adalah sebuah kota yang sibuk dengan “gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja”. Si penyair yang berada dalam kota besar nan sibuk itu akhirnya mencari eksistensi dirinya dengan sebuah permintaan:

Tekankan aku pada pusat hatimu / Di tengah kesibukan dan penderitaanmu //.

Kecenderungan TSB bicara soal-soal di luar dirinya masih muncul dalam tiga sajak lain yang dianggap paling kesohor itu. Dalam “Pahlawan tak Dikenal” ia bicara soal seorang pemuda tak dikenal yang mati dalam pertempuran melawan sekutu pada Bulan Nopember 1945. Dalam “Gadis Peminta-minta” ia menunjukkan perhatiannya yang intens pada nasib orang-orang kecil yang mucul dalam simbolisasi “gadis kecil berkaleng kecil”.

Dalam “Tentang Kemerdekaan”, TSB berbicara soal makna kemerdekaan bagi sebuah bangsa yang plural, terdiri dari begitu banyak kepentingan, dan belum punya ikatan yang kuat:

Kemerdekaan adalah air laut semua suara / Janganlah takut kepadanya // Kemerdekaan ialah tanah air penyair dan pengembara / Janganlah takut padaku // Kemerdekaan adalah cinta salih yang mesra / Bawalah daku kepadanya //.

Di satu sisi, kemerdekaan adalah sesuatu yang diidamkan karena membawa banyak harapan baru. Tapi di sisi lain, kemerdekaan adalah juga semacam tantangan bagi sebuah bangsa yang plural. Tapi, TSB menyarankan “janganlah takut” pada tantangan itu, pada “air laut semua suara itu” karena ia juga merupakan “cinta salih yang mesra”. Sekali lagi, TSB bicara soal hal lain di luar dirinya. Ya, era pertama kepenyairan TSB memang ditandai dengan sajak-sajaknya tentang nasionalisme, kemerdekaan, dan kegelisahan sosial pada rakyat miskin. Memang, tak semua sajaknya bicara soal itu. Tapi sajak-sajak TSB yang paling berhasil adalah sajak-sajak yang bicara soal ketiga hal tadi. Pendeknya, era pertama kepenyairan TSB adalah era di mana ia mengahasilkan “sajak-sajak sosial” yang bagus.

Era Kedua: Mengurung Diri dalam Kamar
Era kedua kepenyairan TSB ditandai dengan kecenderungan yang cukup banyak bergeser. Kalau di era pertama ia banyak berbicara—dengan sangat baik—tentang tema-tema sosial, maka di era kedua, TSB lebih banyak “mengurung diri dalam kamar”. Periode ini adalah periode di mana ia banyak membicarakan soal cinta, kesepian, kesedihan, dan tema lain yang tak jauh dari ketiganya.

Dalam “Sajak Buat Sebuah Nama” ia menulis:

Kalau hanya berpegang pada nyanyi luka / Tahun ini kan lalu tanpa suatu nama / Teraba nadiku makin bernafsu dengan cemas / Dan pelahan mengutus datangnya hari-hari mati //

Sajak ini adalah salah satu sajak yang paling saya sukai dari periode kepenyairan kedua TSB. Ia dengan baik mampu menularkan kesedihan, semacam rasa patah hati pada saya. Ia menghadirkan persoalan individual penyair—meski tidak dengan kata-kata yang luar biasa—dengan sebuah cara yang pas.

Pilihan bicara soal-soal seperti itu agaknya memang menandai era kedua TSB. Ia terlihat makin jadi penyair yang “individual”. Dalam salah satu sajaknya, ia membicarakan seorang penyair yang ia kagumi. Saya menduga penyair itu adalah Chairil Anwar. Dan beginilah TSB menggambar Chairil (kalau dugaan saya benar):

Ketika masih hidup / Patung-patung belum berarti suatu apa / Kamar tak pernah betah buat tinggal / Hanya lampu sunyi jadi penghuninya // Ketika masih hidup dia / Dunia kami dunia kata / Jadi kosong tapi tanpa ruang / Dia cuma berkata tanpa buat apa // Kalau dia sudah lama pergi / Setiap orang baru mengerti puisi / Dialah orang besar yang bisa bicara sonder kata / Dia sudah lama pergi, mati //

Sajak yang saya kutip lengkap di atas berjudul “Dia”. Dalam sajak itu, seorang penyair yang dikagumi TSB digambarkan sebagai seorang yang suka bertualang dan “kamar tak pernah betah buat tinggal”. Ia juga digambarkan sebagai seseorang yang tak dimengerti oleh orang ramai. Artinya, ia kesepian meski ia banyak berbuat sebenarnya. Ia bertualang mungkin untuk mengusir kesepian itu. Penyair, dalam sajak ini, adalah orang yang individual, tak mudah dimengerti, dan lebih banyak berurusan dengan dirinya sendiri. Mungkinkah ini tipe “ideal” seorang penyair dalam kaca mata TSB? Barangkali iya, meski pilihan itu tak berlaku buat selamanya. Di era selanjutnya, mungkin kita akan menemukan idealisasi yang lain.

Era Ketiga: Ketika Pamflet Jadi Pilihan
Era ketiga kepenyairan TSB ditandai hanya oleh 25 sajak. Sepuluh sajak dari keseluruhan sajak dalam era ini berjudul sama dan hanya dibedakan oleh angka seri. Sajak berseri TSB yang diberinya judul “Desah Perlawanan” menjadi pembuka sajian dalam bab “Desah”.

Kita simak sajak “Desah Perlawanan: 1”:

Digilas ke badan jalan / Kau terus melawan / Tanpa sedu sedan / Hingga titik penghabisan // Diterjang diinjak-injak / Kau kembali tegak / Memberontak hingga akhir detak // Kaulah syuhada / Wewangian harum surga / Bagimu senandung kekal / Fajar yang kekal // Kaulah pejuang / Pemberontak / Tanpa senjata / Bahkan tanpa kata tanpa huruf //.

Sajak yang dibuat tahun 1997 ini menandai pilihan baru dalam persajakan TSB. Ia, seperti bisa kita lihat, mulai melirik model “sajak pamflet” yang berisi kata-kata lugas yang disusun dengan memperhatikan irama kata di akhir baris. Sajaknya di atas tampil hampir tanpa metafora yang baik. Sajak itu bicara dengan lugas, apa adanya, tanpa permainan kata atau metafora yang memadai. Secara selera, saya paling tidak bisa menikmati sajak-sajak macam begini.

Dalam sepuluh seri “Desah Perlawanan”-nya, TSB tampil sebagai seorang yang tegas memilih dan memilah posisi. Ia bukan seorang yang ragu akan kebenaran atau kesalahan, tapi seorang yang telah mendapat pencerahan sehingga mampu bicara secara tegas. Ia tampil sebagai orang yang melawan banyak hal: penguasa, cendekiawan yang berkhianat, hidup yang sengsara, nasionalisme yang hilang, dan lain sebagainya.

Pilihan TSB terhadap pamflet ini pasti dipengaruhi oleh sesuatu. Mungkin ia latah terhadap suara-suara perlawanan terhadap orde baru yang mulai marak sekitar tahun 1990-an akhir. Melihat begitu banyak kebobrokan di bangsa dan sekitarnya, TSB mungkin tergerak untuk “turun gunung” dan ikut campur dalam situasi yang berkemelut itu. Maka, lahir kemudian sajak-sajak yang mirip dengan apa yang ditulis Taufik Ismail, misalnya. Sama-sama berdiri sebagai orang yang “benar”, seperti laiknya Taufik Ismail, TSB mewartakan perlawanan terhadap yang “salah” dan kondisi yang sengsara. Meski telah berumur hampir 70 tahun, TSB ternyata masih tenaga untuk melakukan itu.

Namun sisa sajaknya di akhir periode kepenyairannya selain sepuluh seri “Desah Perlawanan” ternyata sedikit berbeda. Sajak-sajak itu justru bicara tentang kerinduan, keindahan, dan cinta yang mesra. Ya, di akhir periode kepenyairannya, TSB justru bersajak dengan romatis, seperti dalam “Lagu Cinta Di Persinggahan Senja”:

Pesta kecil kita tidakkan berakhir, sayang / Cinta kita akan terus bersemi / Tiada habisnya nyalang / Bersama senja di penghujung persinggahan //

Apakah ini sajak yang ditulis menjelang perpisahan (dalam bentuk kematian) dengan kekasihnya? Mungkin saja demikian. Bagi saya, puisi ini bisa sedikit mengobati kekecewaan terhadap “sajak-sajak pamflet” TSB. Simak bait terakhir sajak ini yang begitu romantis:

Di antara kita tidakkan ada yang kehilangan cinta / Kita akan tetap setia pada kesetiaan kita / Begitu lembut dengan nyanyian-nyanyian yang pasrah / Dan janji-janji takkan berpisah //.

Sukoharjo, 24 September 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP