Punggung

>> Friday, January 2, 2009

--obrolan imajiner dengan Dewi Lestari


Momen pembacaan karya sastra, bagi saya, seringkali terasa bagai sebuah percakapan: antara saya yang pembaca dengan penulis kisah yang bahkan wajahnya sebenarnya samar-samar saja terlihat. Kadangkala, perjalanan membaca itu seperti sebentuk dialog imajiner, sebuah obrolan yang barangkali hanyalah rekaan saya saja.

Beberapa waktu lampau, saat saya membaca sebuah kisah pendek Dewi Lestari yang berjudul Hanya Isyarat—yang termaktub dalam Buku Rectoverso—perasaan seperti sedang bercakap itu kembali muncul. Setelah perjalanan membaca itu berakhir, saya jadi mereka-reka pertemuan dengan Dewi Lestari; membayangkan kami berdua bercakap-cakap tentang berbagai soal; dalam suasana yang saya sendiri tak tahu harus digambarkan dengan cara bagaimana.

Saya membayangkan, beginilah obrolan imajiner antara saya (HF) dengan Dee itu akan terjadi:

HF: Tiap tahun baru datang, banyak orang yang bicara tentang harapan. Bagaimana Anda memandang harapan?

Dee: Harapan adalah sebuah pisau: ia bisa digunakan untuk mengiris daging sapi, tapi juga mampu merobek daging kita sendiri. Ia berguna untuk melindungi kita, sekaligus juga sesuatu yang siap melukai. Kita bisa melambung karenanya, namun percayalah: kejatuhan akibat dilambungkan harapan akan menjadi rasa sakit yang sulit disembuhkan.

HF: Apakah karena itu pula, si ”Aku” dalam kisah pendek Anda berjudul Hanya Isyarat akhirnya memilih jadi seorang yang meninggalkan harapan? Apakah itu yang membuatnya lebih menyukai menjadi seorang yang ”picik” ketimbang seorang berpengetahuan yang kecewa? Sedemikian berbahayakah harapan itu?

Dee: Orang yang hanya mengetahui apa yang bisa ia capai adalah orang yang berbahagia. Sebaliknya, mereka yang tahu sesuatu yang tak bisa diraihnya akan menderita selamanya. ”Aku” dalam Hanya Isyarat tahu benar bahwa ia mencintai sesuatu yang lebih dari ”apa yang bisa ia capai”. Oleh karena itulah, ia harus siap menderita.

HF: Ya, saya ingat kalimat dalam Hanya Isyarat yang menggetarkan itu: ”Saya adalah orang yang paling bersedih, karena saya mengetahui apa yang tidak sanggup saya miliki.” Tapi, manakah yang sebenarnya menyebabkan kesedihan: ketakmampuan kita memiliki sesuatu, atau keinginan kita memiliki sesuatu itu? Ataukah, justru pengetahuan kita akan sesuatu itu yang menjadi sumber kesedihan?

Dee: Saya tak tahu persis. Kadangkala manusia tidak membutuhkan jawaban sama sekali. Kadangkala kita hanya harus “menjalani” dan “menghadapi”. Saya dan Anda barangkali tidak tahu sumber rasa sakit itu di mana. Yang kita tahu secara secara pasti: kita—manusia—akan mengalami rasa sakit dan kesedihan.

HF: Saya ingat Novel Kuntowijoyo yang masyhur itu: Khotbah di Atas Bukit. Ia meruapkan pendapat yang beda dengan Anda. Khotbah di Atas Bukit adalah risalah tentang bagaimana manusia mengenyahkan kesedihan—bukan menerimanya. Dalam novel itu, ada seorang tokoh yang mampu menghilangkan segala keinginannya sekaligus kebutuhannya. Ia akhirnya jadi manusia yang berbahagia. Manusia yang tanpa rasa sakit dan derita.

Dee: Tiap orang menemukan penyembuhannya sendiri. Humam—yang Anda maksud sebagai “tokoh” tadi Humam, bukan?— dalam Khotbah di Atas Bukit menemukan jalan penyembuhannya sendiri. “Aku” dalam Hanya Isyarat juga menemukan cara menghadapi kesedihannya sendiri.

HF: “Aku” dalam Hanya Isyarat menemukan cara penyembuhannya? Bukankah ia akhirnya justru undur diri dari “sesuatu” yang hendak dicapainya itu? Bukankah ia menegaskan bahwa dirinya akan menjadi “orang yang paling bersedih”? Bukankah ia justru iri dengan seorang kawannya yang seumur hidupnya hanya tahu punggung ayam dan oleh karenanya hanya akan berharap mendapatkan punggung ayam dan tidak bagian tubuh ayam yang lainnya—yang barangkali jauh lebih lezat? Oh, bukankah “Aku” dalam Hanya Isyarat justru menganggap kawannya yang hanya tahu punggung ayam itu sebagai “orang yang paling beruntung”? Ingatkah Anda akan kalimat yang Anda tulis sendiri?

Dee: Tentu saja saya ingat. Dalam Hanya Isyarat, saya menulis bahwa “Aku” mengatakan kalimat-kalimat ini: “Sahabat saya itu adalah orang yang berbahagia. Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian lain. Ia hanya mengetahui apa yang ia sanggup miliki.”

HF: Nah, bukankah kalimat itu menegaskan perasaan irinya? Bukankah akhirnya si “Aku” justru mengakui kekalahannya dengan mengatakan: “Saya adalah orang yang paling bersedih, karena saya mengetahui apa yang tidak sanggup saya miliki.”?

Dee: Baca kembali kisah itu. Setelah membaca kembali, barangkali Anda tidak akan menganggap kalimat tadi sebagai “ekspresi kekalahan” lagi. Bagi saya, pengakuan akan datangnya kesedihan justru bisa menjadi jalan penyembuhan. Bukankah, seperti yang saya katakan tadi, manusia kadang hanya bisa “menerima” dan “menghadapi”? Dan, penerimaan itu justru bisa menjadi jalan penyembuhan.

HF: Menyembuhkan rasa sakit dengan melakoninya? Menghilangkan kesedihan dengan jalan menjadikannya bagian dari diri kita? Bisakah demikian? Bukankah rasa sakit kita terima dengan terpaksa karena memang begitulah kodrat kita?

Dee: Keterpaksaan bisa diubah menjadi penerimaan—meski perubahan ini tidak selalu baik. Dalam kondisi apa yang Anda tadi sebut sebagai “kodrat manusia”, penerimaan barangkali menjadi salah satu jalan penyembuhan rasa sakit. Setidaknya, begitulah yang dialami “Aku” dalam Hanya Isyarat. Ia memilih tetap mencintai seseorang meskipun hanya punggung seseorang itu yang bisa digapainya, tidak bagian lainnya. Punggung yang hanya bisa dilihatnya itu, harus diterimanya menjadi satu-satunya capaian karena bagian lain tak mungkin diraihnya. Atas kenyataan ini, ia harus menerima bahwa kesedihan akan menjadi satu dengan dirinya. Tapi, penerimaannya itu, sekali lagi, bukan melulu harus dilihat sebagai kekalahan. Sebaliknya, ia bisa dimaknai sebagai “penemuan” jalan penyembuhannya sendiri. Tentu Anda dan saya tidak harus seperti dia.

HF: Tiap orang menemu jalannya sendiri? Seperti Sidharta dalam novel Sidharta-nya Herman Hesse yang menolak menjadi murid Sang Budha karena menganggap keberhasilan tak akan bisa ditemukan melalui jalan orang lain. Begitukah?

Dee: Kira-kira seperti itu. Sastra yang baik tidak menjawab, tapi bertanya.

HF: Penulis yang baik tidak meneguhkan, tapi menggoncangkan. Terima kasih atas percakapannya yang indah. Selamat tahun baru.

Dee: Selamat tahun baru pula.

Post-scrip: Semua jawaban Dee dari pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan dalam tulisan ini hanyalah tafsiran saya atas prosa "Hanya Isyarat"-nya Dee—bukan pernyataan-pernyataan yang keluar dari dirinya secara pribadi.

Sukoharjo, 2 Januari 2009
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini

21 comments:

Anonymous January 3, 2009 at 3:10:00 AM GMT+8  

Ris, cobalah kau kirimkan pertanyaan2 itu kepada Dee, lewat email, surat, atau telegram :)
Tunggu saja balasannya, dan bandingkan jawaban darinya dengan jawaban yang kau tulis sendiri itu.

Teruslah berkarya Ris, aku masih menunggu bukumu yang akan terbit itu!

Unknown January 3, 2009 at 2:17:00 PM GMT+8  

mungkin saya tambahkan "penulis yang baik" juga bisa menyampaikan dialognya dengan seseorang atau beberapa orang secara imaginer..
seperti Mas Haris...he..he..

selamat berkarya. Top habisss...

gajahpesing January 3, 2009 at 3:29:00 PM GMT+8  

tulisanmu bro.... mangstafff banget untuk dibaca...

Anonymous January 3, 2009 at 3:52:00 PM GMT+8  

"harapan itu membuat kita tak pernah fokus. harapan selalu mengaburkan tujuan..." kata Aang, dalam serial "Avatar, The Legend of Aang" Bab Bumi.

Anonymous January 3, 2009 at 9:56:00 PM GMT+8  

penulis yang baik tidak meneguhkan, tapi menggoncangkan...
Hm...mari kita mulai membentuk sejarah diri kita sendiri Mas Haris

Haris Firdaus January 5, 2009 at 9:57:00 AM GMT+8  

to: dony
kirimkan pertanyaan ke dee? wakaka!kapan2 aja tuh....bukuku agak telat terbit dari seharusnya, don. smg dlm waktu dekat ini...

to: boykesn dan gajah pesing
terima kasih, mas...

to: omah seta
penggemar aang ya mas? sama! bnyk filosofi "tersembunyi" di kartun itu...

to: afie
mari, mas. hanya orang besar yang bisa menuliskan sejarahnya! hi3.

Dee Lestari January 5, 2009 at 4:49:00 PM GMT+8  

Halo Mas Haris,

Wow. What an interesting interview. Rasa-rasanya saya bahkan belum pernah mengalami wawancara semenarik itu in real life. Hehe.

Thank you for sharing this. Dan selamat juga untuk blognya, a very rich blog indeed.

Lagi bikin buku jugakah? Selamat berkarya, Mas.

Salam kenal,

~ D ~

Dee Lestari January 5, 2009 at 5:43:00 PM GMT+8  

Btw, saya baru saja lihat link bukunya Mas Haris. Saya tertarik punya, Mas. Sudah terbitkah? Apakah bisa pesan online? Kebetulan buku saya yang berikut (Supernova 4) juga membahas beberapa misteri di dunia, salah satunya Indonesia. Terima kasih sebelumnya untuk informasi dari Haris.

~ D ~

Zakky Rafany January 5, 2009 at 9:23:00 PM GMT+8  

Heuheu..
nice..nice...
Wawancara imajiner. Bahkan Dee sendiri belum pernah wawancara kyk gt hehe,,,

Salam kenal

Haris Firdaus January 5, 2009 at 11:09:00 PM GMT+8  

to: Dewi Lestari

"Rasa-rasanya saya bahkan belum pernah mengalami wawancara semenarik itu in real life. Hehe."

hi hi hi. terima kasih telah mampir, mbak. sastra yang baik akan menghasilkan review yang baik:)

buku saya bisa dibeli online, mbak. klik link di side bar blog ini yang ada info buku itu...

to:globalizacktion
salam kenal, mas. ya jelas dee blm pernh alami wawancara yang "aneh" ini, mas.hi3.

deFranco January 6, 2009 at 12:00:00 AM GMT+8  

Tego men kowe wong sekelas Dewi Lestari mbok kon tuku bukumu, lha mbok dikirimi siji plus tandatanganmu sisan...hehehehe

Anonymous January 6, 2009 at 9:58:00 PM GMT+8  

hebatnya dunia maya. mbak dewi bisa 'dipaksa' berkomentar. tapi itu beneran mbak dewi gak sih, ha-ha-ha.

satu lagi bakat kawan kita haris: menjadi wartawan (bermutu, kenyal dan 'berdaging'--meminjam seorang dari Tempo) yang tak banyak jumlahnya di republik ini....

salam,
masmpep.wordpress.com

Anonymous January 6, 2009 at 11:52:00 PM GMT+8  

to: tukang gunem
lha aku ra ngakon, njul. mbak dee kan cuma nanya, bs dibeli ol gak, ya aku jawab: bisa...

to: kw
ngefans g ya?......

to: masmpep
menjadi wartawan yang suka wawancara imajiner, maksudnya? ha3.

Anonymous January 7, 2009 at 8:09:00 AM GMT+8  

saya bukan Dewi Lestari, tapi saya mau coba tes, gapapa ya...
saya tes pakai opsi identitas "Name/URL"

Anonymous January 7, 2009 at 8:11:00 AM GMT+8  

hehehe, kayaknya itu mbak dee yg asli.. soalnya kalo tampil fotonya kan mesti masuk ke account blogger plus passwordnya dulu khan ya?

hehe

Anonymous January 8, 2009 at 1:47:00 AM GMT+8  

Iya Ris, kirimin mbak Dee satu bukumu gitu. Siapa tau bisa dipakai buat nambahi Supernova 4.
Tapi jangan cuma mbak Dee aja yang kau kasih, sekalian aku n panjul dongzzz. Ya ya ya, plis plis plis, mau mau mau? (sambil termewek-mewek)

tiyo avianto January 10, 2009 at 9:35:00 AM GMT+8  

waduh..nendang nih....hihihih..kayak termehek-mehek lagi

Anonymous January 14, 2009 at 5:59:00 PM GMT+8  

wow sampai mbak dewi turun tangan berkomentar. mbak dewi YM-nya apa ya?boleh dong ngantri buat wawancara via online.

Hassan Aly January 16, 2009 at 11:14:00 PM GMT+8  

saya setuju dengan uraian tentang harapan...
kalo berharap terlalu tinggim jatuhnya sakit banget....

benere aku juga pengen nulis tentang harapan yang terlalu tinggi(posting kamsudnya)...

kayaknya gak bakal sebagus mas haris...

TOOOPPPP!!!! Mas!!!!

Anonymous January 23, 2009 at 1:22:00 PM GMT+8  

@Anonymous : Itu beneran Dee kok. Dia memang sangat care dan seringkali komen jika ada yang mereview dia atau karyanya. Visit aja ke blognya : http://dee-idea.blogspot.com

*Salah satu fans yang belum berani membuka diri di hadapan Dee, hehe...

Btw, salam kenal, Mas. Sami2 tiyang Solo niki. Pareeng..

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP