Pada Mulanya Adalah Seks...

>> Saturday, November 15, 2008



Pengalaman seksual adalah sesuatu yang begitu intim dengan manusia. Ia bahkan datang amat mula, jauh sebelum kehidupan yang sebenarnya kita masuki.

Sejak masih berupa janin, kita telah mengalami seksualitas, dan mungkin mengecap kenikmatan darinya. Dengan sebuah liukan akrobatis yang tak mungkin ditiru manusia dewasa, sebuah janin dalam perut ibu biasa mengulum organ vitalnya sendiri. Gerakan yang puitis itu, memertemukan mulut sang janin dengan organ seksualnya yang masih sama-sama belum sempurna.

Dalam novel berjudul Identitas, Milan Kundera mengisahkan “masturbasi janin” ini dengan apik, dan menganggapnya sebagai tanda bahwa seksualitas datang lebih dini ketimbang kesadaran.

“Janin yang punya kehidupan seks, bayangkan! Janin itu belum punya kesadaran diri, individualitas, belum punya persepsi tentang apa pun, tapi sudah merasakan dorongan dan barangkali bahkan kenikmatan seksual. Jadi seksualitas kita mendahului kesadaran diri. Diri kita belum ada, tapi nafsu seks kita sudah,” demikian kata Chantal, tokoh utama novel Kundera itu, pada Jean Marc, kekasihnya.

Apa yang Kundera katakan via Chantal, adalah semacam pengakuan bahwa seksualitas dan manusia hampir mirip sebentuk jalinan yang tak mudah diurai. Bagi manusia, seksualitas adalah sebuah hal yang begitu purba, datang secara amat dini, dan merasuki diri secara tak sadar. Tak mudah—atau bahkan tak mungkin sama sekali—melepaskan manusia dengan seksualitas beserta seonggok problem yang menyertainya.

Kesadaran diri, katakanlah ia sebagai penanda utama kita sebagai subjek modern, ternyata baru berkenalan dengan manusia sesudah seksualitas dialami. Karenanya, seringkali kita melihat, seksualitas tak mudah diredam, bahkan oleh kesadaran diri yang paling tulus dan alim. Peredaman itu, sebaliknya, seringkali kontradiktif dengan tujuannya yang mulia. Bukan liberalisme yang membuat pornografi marak di Amerika Serikat. Justru hipokrisi, hasrat untuk meredam seksualitas di muka umum tapi secara diam-diam merindukannya di dalam ruang privat, yang membuat pornografi di sana berkembang jadi bisnis yang menghasilkan miliaran dolar.

Pada tahun 1950-1960-an, misalnya, tak satu pun film Hollywood pernah memertontonkan ketelanjangan secara terbuka, padahal pada kurun waktu yang sama, Eropa telah memerkenalkan ketelanjangan dalam film-film yang mereka buat. Seperti pernah disinggung Ronny Agustinus—dalam esai yang brilian sekaligus kocak, reflektif sekaligus provokatif, membikin kening berkerut tapi pada saat yang sama membuat kita tertawa terbahak—film-film Eropa memerlakukan ketelanjangan dan seksualitas sebagai satu hal yang wajar, sebagai problem yang tak mungkin dilepaskan dari manusia.

Ketelanjangan adalah sesuatu yang natural, alamiah, dan tak mungkin dicerabut dari alur utama film Eropa. Menyensor adegan seksual dalam kebanyakan film Eropa sama dengan mengacaukan alur, merobohkan jalinan kisahnya. Kondisi ini jauh beda dengan film-film Hollywood: adegan seks dalam film-film itu bisa saja dibuang tanpa berakibat gangguan apapun dalam logika ceritanya. Ketelanjangan adalah tempelan, ia dieksotisasi, dan diindustrialisasikan.

Fakta ketelanjangan telah diperlakukan sedemikian rupa sehingga ia menjelma menjadi tanda yang membuat para penontonnya mengalami sensasi yang bersifat erotis. Pengalaman erotis yang kita alami, pada dasarnya, tak hanya ditentukan oleh seberapa terbuka bagian tubuh yang kita lihat, tapi juga bagaimana kita menginterpretasi apa yang kita lihat itu sebagai tanda. Itulah kenapa, fakta bahwa para perempuan di pedalaman Papua selalu berpakaian minim tak pernah dipersoalkan.

Erotisisasi tubuh itulah yang melambungkan pornografi. Tiap tahun, di Amerika Serikat, keuntungan bisnis porno mencapai angka 10 miliar dolar. Yang mengejutkan, seperti kata Ronny Agustinus, pornografi telah menjadi cabang bisnis perusahaan raksasa yang dikenal publik sebagai institusi yang “bersih”. Bukan hanya nama-nama seperti Playboy, Penthouse, Hustler, dan Vivid yang bergerak dalam bisnis itu. Sejumlah nama seperti General Motor, Time Warner, dan AT&T, juga menggarap pornografi sebagai bisnis cabang yang menguntungkan.

Sebuah perusahaan anak cabang General Motors, DirectTV, bisa mendapat 200 juta dolar per tahun dari bisnis film seks bayar-sekali-tonton, semacam bioskop televisi yang dipancarkan via satelit. AT&T, raksasa bisnis komunikasi di AS, memiliki saluran film hardcore bernama Hot Network. Perusahaan itu juga menjadi pemasok video porno ke hotel-hotel.

Di dunia cyber, pornografi adalah raja. Sebuah riset menunjukkan, situs-situs porno pada umumnya amat inovatif, terutama dalam hal teknologinya. Jika kita ingin mencari tahu arah perkembangan teknologi internet, lihatlah teknologi situs porno, karena di sanalah perkembangan utama teknologi cyber terjadi. Konon, streaming media di situs-situs porno yang maju jauh lebih canggih ketimbang situs berita maupun film manapun. Pelayanan konsumen situs-situs itu amat cepat dan tanggap, sementara kerahasiaan kartu kredit para konsumennya paling terjamin.

Kenyataan ini sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Sejak mula, perkembangan teknologi komunikasi memang dimotivasi oleh bisnis esek-esek. Tidak lama setelah penemuan kamera film pada 1890, teknologi itu langsung dipakai guna merekam perempuan-perempuan yang berpose tanpa busana sama sekali. Memasuki abad 20, film pertama yang eksplisit mempertontonkan persetubuhan mulai diproduksi. Ditemukannya kamera dan proyektor 16 mm membuka lebar jalan bagi munculnya industri film porno pertama pada 1915 di Amerika Serikat. Sampai sekarang, meski jarang diakui, bisnis porno terus memotivasi perkembangan teknologi.

Di Amerika Serikat, pemerintahnya terus berupaya memerangi pornografi, tapi tampaknya akan terus menuai kegagalan. Hipokrisi, berbagai tindak korupsi, dan fakta bahwa bisnis esek-esek di negara itu telah melibatkan perputaran modal yang amat besar, membuat perang terhadap pornografi hanya menjadi sebuah retorika. Faktanya, AS adalah produsen film biru terbesar di dunia hingga sekarang.

Sementara itu, nun jauh di sana, di sebuah negara kecil bernama Denmark, masyarakatnya mengalami kemuakan pada pornografi. Pada 1969, Denmark menghapuskan UU Kesusilaan yang dimilikinya dan menjadi negara pertama di dunia yang melakukan tindakan itu. Untuk jangka sesaat, penghapusan itu mengakibatkan konsumsi pornografi melonjak. Tapi kemudian, angka konsumsinya menjadi statis, dan terus turun sampai hari ini. Ketika Institut Hukum Pidana dan Krimonologi Universitas Kopenhagen menggelar sebuah survei, mereka menemukan bahwa banyak penduduk Kopenhagen menganggap pornografi itu sebagai sesuatu yang “tidak menarik”, “menjijikkan”, dan “membosankan”.

Seksualitas individu memang tak bisa diatur-kekang secara paksa lewat sebuah regulasi yang tak menghargai perbedaan. Peredaman seksualitas hampir selalu dibarengi rasa rindu mengecapnya secara diam-diam. Alih-alih diredam, seksualitas harus dihadapi sebagai fakta tak tertolak yang amat lekat dengan kita. Dengan sebuah pembaruan cara pandang yang lebih dewasa, seksualitas bisa “diberdayakan” dan tak harus jadi momok yang terus-terusan menghantui kita. Yang dibutuhkan, karenanya, adalah sebuah masyarakat terbuka yang memiliki cara pandang dewasa terhadap seksualitas. Bukan sebentuk ketertutupan yang hipokrit, juga bukan fundamentalisme naif yang kekanakan.

Sukoharjo, 13 November 2008
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini

18 comments:

Anonymous November 15, 2008 at 3:23:00 PM GMT+8  

hhmmm... jadi begitu ya???
yang perlu dibedakan adalah bahwa seksualitas bukan pornografi... tapi adalah fithrah karunia ILLAHI...

Kaka November 17, 2008 at 10:31:00 AM GMT+8  

oh ya memang kita harus bisa membedakan jg

Anonymous November 17, 2008 at 11:03:00 AM GMT+8  

to: ciwir dan kaka

betul, pornografi adalah seksualitas yang direkayasa. kenyataan bahwa seksualitas adalah fitrah Tuhan dikeluarkan, kemudian dilakukan semacam eksotisasi supaya ia tampak menarik. di situlah kita perlu kedewasaan memandang soal ini.

Anonymous November 17, 2008 at 11:46:00 AM GMT+8  

whew,,baru tau loh.

salam kenal

Anonymous November 17, 2008 at 7:56:00 PM GMT+8  

wah tulisnanya panjang bener bung.. aku gak ngerti nih.....

Anonymous November 17, 2008 at 8:28:00 PM GMT+8  

"pornoisasi" kukira stempel yang diberikan oleh mereka-mereka yang takut pada (hasrat) seksualitasnya sendiri.

Anonymous November 17, 2008 at 10:22:00 PM GMT+8  

Ck ck ck...kowe ngomongke seksualitas karo omongane si Dony jelas bedo adoh...nek si Dony genah rusuh akhire...hahahaha...

Anonymous November 18, 2008 at 11:34:00 AM GMT+8  

hapal juga ya pak dengan Penthouse, Vivid dll ..ada koleksinya yaa

Anonymous November 18, 2008 at 3:32:00 PM GMT+8  

Saya jadi berpikir, mungkin dulu janinnya Balkan Kaplale dan para partisipan Penegak Keadilan Seksual (PKS) itu tertekuk ke belakang.

Sehingga mereka tidak pernah mengecap seksualitas sejak dini dan berakibat pada lahirnya UU Pornografi, ehm sorry, UU Porno what?

Di Swedia, pornografi dilegalkan. Namun tingkat perkosaan di masyarakatnya paling rendah di dunia. Arab jelas-jelas melarang pornografi, yang kemudian berbanding terbalik dengan tingkat perkosaannya yang sangat tinggi.

Indonesia?

Haris Firdaus November 18, 2008 at 9:34:00 PM GMT+8  

to: hilda
baru tahu apaan? masturbasi janin ya? apa dulu gak kerasa?he2.

to:omahseta
takut pada hasrat seksual sendiri tapi berusaha mengintrodusir ketakutan yang sama ke publik, mas...

to: tukang gunem
he2. no comment, bro

to: hawee
aku g punya koleksinya. cuma baca2 info soal para industriawan porno itu.

to: koboiurban
indonesia jelas tak mngkn spt swedia yang melegalkan pornografi. kalo tak terus didorong pada kedewasaan, indonesia mngkn akan tetap jatuh pada hipokrisi yang parah.

Anonymous November 18, 2008 at 10:20:00 PM GMT+8  

Bahkan di negara yang paling liberal sekalipun, kita tak akan menemukan film2 porno dijajakan di pinggir jalan. Bandingkan dengan di Glodok, hehe

Anonymous November 22, 2008 at 7:55:00 PM GMT+8  

ya itulah proses pendewassan manusia Indonesia...penuh proses kontradiksi pada setiap RUU yang diktok jadi UU. salah satunya ya UU pornografi itu...sekali lagi, negara terlalu jauh mengintervensi moral dan etika bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang baik adalah bangsa yang tidak menyukai seks dan tidak seks addict. sebnarnya, seks penuh filosofi yang rumit dan ada hubungan transenden dengan sang pencipta. tengok saja ikon Lingga dan Yoni di candi Sukuh, karanganyar sana. bagi sebagian orng yang tidak open minded, konservatif dan ortodoknya minta ampun, ikon Lingga dan Yoni itu pasti dicap sebagai sebuah karya yang mengandung unsur pornografi..wah, kalo dalam kasus ini, yang porno itu adalah orang2 itu. Lingga dan Yoni adalah lambang kesuburan, lambang penciptaan, lambang rekonsiliasi antara bumi dan langit...wah, ngomongin porno memang harus banyak baca buku dulu, browsing artikel di internet, baca koran, belajar ideologi dan kultural sebuah bangsa, unsur politis dan ekonomis dan bla..bla..bla..bukan sebuah persoalan yang sepele.ugh...

Lia Marpaung November 23, 2008 at 11:17:00 PM GMT+8  

saya suka tulisan ini....salam kenal yaa....

Haris Firdaus November 24, 2008 at 10:00:00 AM GMT+8  

to: suarahimsa
sy tambahi daftarnya: di Da Vinci Code, diceritakan sebuah ritual seks ala Biarawan Sion. bagi para biarawan itu, ritual itu bukan hanya sekadar hubungan seks, bagi mereka pertemuan antar alamt kelamin laki2 dan perempuan adalah sebuah pertemuan di mana kehadiran Tuhan bisa dirasakan dengan amat sangat!

to: lia marpaung
salam kenal juga, terima kasih sudah mampir

Ronny Agustinus December 3, 2008 at 11:07:00 AM GMT+8  

salam kenal Haris. tak menyangka tulisan saya dipuji2 sedemikian. terima kasih.

ronny

Anonymous December 3, 2008 at 5:05:00 PM GMT+8  

to: Ronny
salam kenal pula, Mas Ronny. tersanjung anda bs sampai sini. he2. wah, tulisan sampeyan itu bagus banget, mas. sy salah satu penggemar berat tulisan2 semacam itu: kocak, satire, tapi tetep amat kritis!he2.

Anonymous December 19, 2008 at 12:57:00 PM GMT+8  

di tempat saya yg berbau dewasa gitu dijual bebas, tapi ada tulisan yg boleh beli yg sudah dewasa. Eh, ya pada manut tuh, yg belum dewasa tidak ada yg beli. Sanksi hanya diberikan klo blm dewasa beli dan bagi penjual yg mengijinkan org yg blm dewasa utk membeli. That's simple.

Unknown April 3, 2009 at 12:11:00 PM GMT+8  

Sayang yang dikupas cuman pandangan sastra, film,bisnis dengan data yang dipilih, dipilah.Itu hanya cetusan pakar pikir manusia yang sangat-sangat relatif, semua debatable. Apakah pengetahuan agama anda minim atau anda alergi dengan pandangan agama atau sudut tilik anda memang hanya begitu?

wawan.wahyu@gmail.com

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP