Hukuman
>> Monday, November 10, 2008
mengiringi kepergian "mereka"
Hukuman mati juga bisa mengandung sebuah guyon.
Di London pada pertengahan abad 19, imbalan bagi para pencopet adalah mati dengan digantung. Setelah seorang terdakwa diringkus, ia akan dieksekusi di depan banyak orang dengan satu tujuan: menimbulkan efek jera.
Tiap kali “pertunjukan gantung” digelar, warga London akan berduyun datang untuk menjadi penonton. Saya bayangkan mereka berdiri berdesakan, saling berebut ingin melihat sang terhukum tercekik lehernya, meringis sedikit, lalu mati. Lucunya, saat para penonton tengah terbius dengan “sajian” itu, seringkali ada pencopet yang memanfaatkan kesempatan dengan mengutil barang mereka.
Kisah ini adalah sebuah satire. Bahwa hukuman gantung yang dirubah jadi tontonan massal itu sama sekali tak menimbulkan efek jera. Bahkan pelaksanaan hukuman yang dipertontonkan guna membuat orang emoh jadi pencopet itu, justru dimanfaatkan orang lain untuk mencuri. Sebuah sindiran tajam tentang efektivitas.
Tapi kita bisa bertanya: apakah hukuman ditegakkan hanya demi efek jera? Betapapun abstrak dan rumit, kita yang hidup di abad ini—yang telah tahu dan paham soal kekejian serta dampaknya yang mengerikan—kebanyakan masih percaya bahwa keadilan mesti ditegakkan. Dan hukuman, apapun bentuknya dan betapapun dilematisnya, seringkali merupakan upaya untuk menegakkan sesuatu yang kita sebut sebagai keadilan.
Mungkin saja ini sebuah simplifikasi. Tapi jika kita tak hendak berubah jadi seorang pasifis yang fatalis memandang hidup, bila kita tak mau beralih menjadi sosok yang tak lagi peduli pada jalannya kemanusiaan, kita tetap harus percaya bahwa kehidupan membutuhkan sebuah keluhuran. Dan keadilan, adalah sebuah keluhuran yang amat dibutuhkan—betapapun ia seringkali mrucut, acapkali lepas, seperti belut yang menolak kita genggam erat-erat.
Hukuman mati barangkali jadi bagian dari upaya itu. Sebagian orang yang sinis berkata: hukuman jenis ini dilaksanakan sebagai bagian dari upaya balas dendam—mata yng dicungkil, harus dibalas dengan cungkilan mata juga. Tapi, ada pula yang berpendapat bahwa hukuman mati merupakan “balasan setimpal” bagi mereka yang melakukan kejahatan tertentu, juga semacam peringatan supaya tak ada orang lain yang mengerjakan keburukan serupa.
Itulah kenapa di masa lalu, jauh beda dengan hari ini, hukuman mati seringkali menjadi sebuah pertunjukan. Ia merupakan bagian dari unjuk kekuatan para pengusa guna menegakkan order yang mapan. Pada masa yang telah lewat itu, sebuah tatanan seringkali ditegakkan dengan pertunjukan kekuatan serta kekuasaan secara nyata dan kadang berlebihan. Laku menghukum mati dengan cara dipertontonkan di muka banyak orang jelas bagian dari usaha tersebut—suatu ikhtiar yang jika diukur dengan sistem nilai zaman ini mungkin terlihat sebagai sebentuk tindakan yang keji.
Tapi seperti terlihat dari kisah hukum gantung di London abad 19, seringkali efek jera tak timbul, bahkan setelah orang-orang menyaksikan kematian para penjahat secara tragis.
***
Terkadang, hukuman mati juga bukan sesuatu yang bisa membikin gentar para terdakwa yang akan menemuinya.
Bagi Henky Tupanwael, eksekusi mati sama sekali tak membuatnya hendak bertaubat. Pada tahun 1980, 16 tahun setelah ia divonis mati, Henky dieksekusi. Eksekusi dilakukan setelah pada sebuah pagi tahun itu ia menerima kabar bahwa permohonan grasinya ditolak presiden. Sebelum ditembak, dalam sebuah pertemuan, ayahnya meminta Henky sama-sama berdoa untuk terakhir kalinya. Tapi Henky menampik.
“Bila orang mencapai surga dengan kebaikan, biarlah saya mencapai dengan jalan kejahatan,” katanya. Kita bisa menganggap kalimat ini sebagai sebuah kesombongan, suatu kengawuran dari orang yang putus asa karena nafasnya tinggal sejengkal, atau apapun. Tapi itulah kenyataannya. Bahkan, seorang pendeta yang telah mendampingi Henky selama dua tahun tak ia perkenankan hadir dalam hukuman yang merenggut nyawanya itu.
Tanpa pendeta, dan mungkin juga tanpa menyebut Tuhan di bibirnya, Henky dijemput maut. Tubuhnya diikat di sebuah tiang, matanya ditutup kain merah. Kakinya menginjak serakan daun kelor. Konon, tubuh Henky tak mempan peluru. Hanya daun kelor yang bisa membuat ilmu kebalnya sirna dan memuluskan terputusnya nyawa dari dirinya. Setelah senapan menyalak, tubuh Henky lunglai. Ia mati dengan semacam ketenangan—paling tidak, ketenangan pada wujud fisiknya.
Ketenangan macam itu—meski berasal dari sumber yang lain—juga kita temukan pada trio terdakwa Bom Bali I: Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron. Pada minggu-minggu terakhir menjelang eksekusi pada Ahad dini hari lalu, wajah mereka yang tersenyum dan penuh keyakinan soal surga yang menunggu menghiasi televisi dan koran-koran. Tak ada kesedihan. Tak ada kedukaan pada wajah-wajah yang dijepret kamera atau direkam video itu.
“Bodoh sekali mereka menghukum mati saya. Itu kan sama saja dengan mengirim saya ke surga,” begitu kira-kira kalimat yang disampaikan Amrozi saat ia diminta berkomentar soal eksekusi dirinya yang segera akan tiba. Saya mendengar kalimat itu via televisi, dan menjadi tergetar karenanya. Sampai sekarang, saya bahkan tak bisa melupakan kata-kata itu. Ada sebuah nada yang sungguh-sungguh tak mudah dimengerti. Agak susah untuk dicerna tapi sekaligus tersimpul irama kecerdasan yang brilian.
Pada kalimat itu, terdapat sebuah nada yang bukan hanya mensyukuri ajal, tapi juga menganggapnya sebagai sesuatu yang mengandung humor, sekaligus sebuah serangan pada mereka yang menjatuhkan hukuman mati itu: bahwa vonis mati itu ternyata dianggap sebagai sebentuk kedunguan karena memang itulah yang diharapkan sang terdakwa.
Sampai di sini, mungkin ada semacam paradoks: ketika mati adalah sebuah keinginan yang paling dinanti sang terhukum, adakah eksekusi mati tetap menjadi sebuah “hukuman”? Ketika hukuman adalah sebuah jalan untuk memuluskan keinginan sang terdakwa, benarkah hukuman itu tak berubah jadi “kenikmatan”? Bukankah hukuman seharusnya membuat sang penjahat merasa “terhukum” dan bukannya menjerit kegirangan?
Paradoks itu mungkin tak mudah didamaikan. Tapi hukum positif toh tetap, dan memang harus, jalan terus.
Sukoharjo, 9 Nopember 2008
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
8 comments:
memang, hukuman mati terkadang takkan memberikan efek jera, yang ada justru efek martyr
slamat hari pahlawan :)
to: fajarindra
memang selalu ada sesuatu yang lepas dari kendali manusia. tapi bukan berarti kita akan berhenti berusaha menggenggam kan?
selamat hari pahlawan juga!
betul... hukuman mati bisa bikin efek jera, ya bagi yang dihukum tsb... heuahheeeehhheeee
to: ciwir
ya iya lah. kalo si terhukum ya jelas kapok gak mau bikin ulah lagi. lha wong dy dah mati. ha2.
dq blum ngerti apa itu definisi jera...Kapokkah? Mungkin...g akan mengulangi perbuatannya lagi...(gmn mo ngulangi, wong dah "selesai"...hehehe).
Whatever, tapi yang jelas kejahatan harus diberantas. Salam.
Kalo hukuman mati diganti hukuman seumur hidup, mungkin bakal banyak pengangguran dan orang miskin yang memang sengaja membunuh, supaya bisa masuk penjara. Kenapa? Karena di dalam penjara bisa makan gratis 3x sehari, seumur hidup! Tak perlu lagi resah akibat laparnya perut, ato susahnya cari penghidupan. Meski badan dibui, tetap tak masalah, toh keadaan di luar penjara juga kadang tak lebih baik.
Hehe,ini cuman joke dan sindiran aja lho...
to: nyantai aza lee
jera ya sm dengan kapok. tapi efek jera itu utk orang lain yang belum melakukan kejahatan. bukan yang udah mati. he2.
to: seno
ya kejahatan emang mesti diberantas, tapi manusia selalu dihadapkan pada pilihan2 yang kadang sukit dan tak mudah.
to: dony alfan
ya barangkali bs seperti itu. tapi kebebasan itu salah satu kebutuhan palingdasar dari manusia, bro. bs makan tapi terkurung, uh, apa enaknya.he2.
Post a Comment