Kemiskinan, Angka-angka, dan Politik Pencitraan

>> Wednesday, October 15, 2008

(Tulisan ini untuk Blog Action Day 2008)



Bagi sebagian kalangan, kemiskinan mungkin hanya soal angka dan politik pencitraan .

1 Juli 2008, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis kabar terbaru soal angka kemiskinan di Indonesia. Hasilnya mungkin akan membangkitkan optimisme sebagian kalangan. BPS menyebut, jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2008 mengalami penurunan sebesar 2, 21 juta orang jika diperbandingkan dengan kondisi Maret 2007. Jumlah mereka yang miskin, menurut BPS, pada Maret 2008 sebanyak 34, 96 juta (15,42 persen) orang—pada Maret 2007, jumlah penduduk miskin ada 37,17 juta manusia (16,58 persen).

Penurunan angka kemiskinan di daerah pedesaan mencapai 1, 42 juta orang sedangkan di daerah perkotaan berkurang 0,79 juta manusia. Prosentase penduduk miskin di daerah perkotaan dan pedesaan sendiri tak banyak berubah: sebagian besar kaum miskin masih ada di daerah pedesaan, yakni 63, 47 persen.

Dalam rilisnya, ada empat argumentasi yang diungkap BPS kenapa terjadi penurunan angka kemiskinan. Pertama, laju inflasi umum periode Maret 2007-Maret 2008 relatif stabil. Laju inflasi Maret 2008 terhadap Maret 2007 adalah 8,17 persen. Kedua, komoditi paling penting bagi masyarakat miskin adalah beras, sedangkan rata-rata harga beras nasional periode Maret 2007-Maret 2008 mengalami penurunan sebesar 3,01 persen: dari Rp. 6.414 per kg pada Maret 2007 menjadi Rp. 6.221 per kg pada Maret 2008.

Ketiga, sekitar 70 persen penduduk miskin di wilayah pedesaan bekerja di sektor pertanian yang pada Maret 2008 kondisinya relatif baik. Secara nasional, rata-rata upah nominal harian buruh tani di Indonesia naik sekitar 9,88 persen, dari Rp. 14.932 pada Maret 2007 menjadi Rp. 16.407 pada Maret 2008. Rata-rata upah riil harian buruh tani juga mengalami peningkatan sebesar 0,90 persen: dari Rp. 2.553 pada Maret 2007 menjadi Rp. 2.576 pada Maret 2008. Selain itu, juga terjadi peningkatan panen beras pada periode Maret 2007-Maret 2008.

Keempat, pada periode Februari 2007-Februari 2008, jumlah pengangguran berkurang. Pengangguran terbuka pada Februari 2007 sebesar 9,75 persen (10,55 juta orang) sedangkan pada Februari 2008 jumlahnya menjadi 9,43 juta atau sekitar 8,46 persen. Penurunan ini terjadi lantaran terbukanya lapangan kerja di sektor informal secara luas sehingga ada kemungkinan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin.

Seandainya kita percaya buta terhadap BPS, semua angka itu seolah menerbitkan optimisme tersendiri. Seolah Indonesia sedang dalam taraf pengentasan kemiskinan yang terus melaju pesat. Tapi, lebih baik kita tak sepenuhnya percaya pada BPS. Ekonom Hendri Saparini (Kompas, 2 Juli 2008) menyatakan, penggunaan beras sebagai barometer pengukur angka kemiskinan merupakan sebuah penyederhanaan masalah. Walaupun ada program raskin (beras untuk keluarga miskin) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk menutupi kebutuhan 2.000 kalori per hari, tapi hal itu belum memperhitungkan kualitas hidup masyarakat.

Terlebih lagi, angka kemiskinan periode Maret 2008 itu belum memperhitungkan kenaikan harga BBM yang diputuskan pemerintah Mei lalu. Setelah kenaikan harga BBM yang segera disusul kenaikan harga barang kebutuhan lainnya, otomatis akan makin banyak penduduk kesusahan sehingga mereka pun akan terperosok pada apa yang disebut sebagai “kategori miskin”.

Tim Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Tim P2E-LIPI) memerkirakan warga miskin tahun ini akan berjumlah 41,7 juta (21,92 persen) akibat kenaikan harga BBM sebesar 28,7 persen lalu. Angka ini jelas menunjukkan adanya pertambahan jumlah orang miskin sebesar 4,5 juta dibandingkan posisi tahun 2007. Akibat kenaikan harga BBM, hingga Bulan Desember 2008 diperkirakan kebutuhan layak hidup bagi tiap individu di Indonesia adalah sebesar Rp. 195.000 per orang tiap bulan—tahun 2007 hanya dibutuhkan Rp. 166.697 untuk hidup per orang tiap bulan.

Naiknya tingkat kebutuhan hidup menjadi Rp. 195.000 per orang tiap bulan jelas berakibat pada melonjaknya jumlah orang miskin. Di sini, terlihat benar betapa kenaikan BBM telah menambah jumlah stok kaum miskin. Bagaimana pengaruh BLT terhadap kemiskinan di Indonesia, saya tak tahu. Tapi, BLT lebih sering terdengar menimbulkan kegaduhan akibat ramainya antrean ketimbang kemanfaatan yang jelas dan signifikan.
***

Di Indonesia yang kini menjelang Pemilihan Umum 2009, kemiskinan adalah komoditi politik yang dianggap amat berharga untuk dijual. Sebagai salah satu masalah yang dianggap paling penting di Indonesia pasca-krisis moneter 1997, kemiskinan memang gampang menarik perhatian. Hampir bisa dipastikan, tak akan ada calon pemimpin politik Indonesia pada level manapun yang tak menyentuh isu kemiskinan saat mereka melakukan kampanye.

Desember 2007, Jenderal Purnawirawan Wiranto merilis iklan di media massa dengan tema utama kemiskinan. Pada iklan itu, Wiranto menyebut angka kemiskinan di Indonesia mencapai 49 persen. Data yang didasarkan pada informasi Bank Dunia tahun 2006 itu, jauh berbeda dengan data yang dikeluarkan BPS. Pada tahun yang sama, menurut BPS, angka kemiskinan di Indonesia hanya mencapai 16,58 persen. Jadi, ada selisih sekira 32, 42 persen antara data Wiranto dan BPS.

Selisih sebesar 30 persen lebih tentu sesuatu yang amat besar—baik dipandang dari sudut statistik maupun politik. Dengan mengemukakan bahwa hampir separo penduduk Indonesia merupakan rakyat miskin, Wiranto tentu saja menyindir secara telak pemerintah yang sedang berkuasa. Angka kemiskinan 49 persen bisa menjadi bukti betapa pemerintah yang berkuasa tak mampu mengatasi soal kemiskinan yang akut.

Sindiran Wiranto yang telak itulah yang kemudian membuat SBY “berang”. Dalam sebuah kesempatan, SBY menyebut iklan politik dengan tema kemiskinan yang menggunakan data Bank Dunia hanyalah bentuk provokasi rakyat dengan data yang tak berbasis fakta. Seharusnya, data kemiskinan di Indonesia yang digunakan adalah yang dikeluarkan oleh BPS sebagai badan resmi pemerintah, bukan oleh Bank Dunia.

Angka kemiskinan Bank Dunia yang dikutip Wiranto memang menggunakan parameter yang berbeda dengan yang dipakai BPS. Prosentase 49 persen didapat Bank Dunia setelah menghitung jumlah penduduk Indonesia yang memiliki pendapatan di bawah 2 US Dollar per hari. Standar 2 US Dollar per hari merupakan standar internasional guna mengukur tingkat kemiskinan.

Sejumlah pihak menyebut, angka kemiskinan di sebuah negara tak bisa diukur berdasar satu standar internasional karena kondisi masing-masing negara berbeda. Artinya, angka 49 persen ala Bank Dunia tak bisa dipakai sebagai patokan di Indonesia. Atas dasar argumentasi inilah, ada yang menyebut Wiranto telah melakukan manipulasi data kemiskinan demi kepentingannya sendiri. Sang jenderal dianggap telah melakukan eksploitasi terhadap kemiskinan demi nafsu politiknya.

Dalam iklan politiknya yang lain, Wiranto menyebut ada ibu hamil dan balitanya yang mati kelaparan di Makassar. Namun, Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin mengatakan, sang ibu dan anaknya meninggal bukan karena kelaparan tapi akibat sakit diare. Sang korban, kata Ilham, menolak ketika hendak dibawa ke rumah sakit sehingga ia akhirnya meninggal. Dalam kasus ini, lagi-lagi Wiranto dituduh melakukan manipulasi data demi kepentingan politiknya—meski kita juga tak tahu apakah Walikota Makassar telah mengatakan hal yang sebenarnya atau tidak.

Kemiskinan yang diiklankan Wiranto ternyata telah dipoles sedemikian rupa supaya kelihatan benar-benar dramatis. Dramatisasi itulah yang juga dibuatnya ketika suatu kali Wiranto mememutuskan untuk memakan nasi aking bersama warga di Serang, Banten. Dalam sorotan kamera televisi yang menyebarluaskan drama politik itu ke penjuru Indonesia, Wiranto berakting seolah-olah ia adalah seseorang yang amat bersimpati terhadap kemiskinan. Ia bahkan menunjukkan dirinya sebagai seorang yang rela berbagi kesedihan dengan ikut merasakan nasi aking.

Sayangnya, aksi macam itu hanya sebuah aksi simbolik, bukan sebuah upaya riil untuk mengerti kemelaratan penduduk. Makan nasi aking di depan kamera televisi adalah sebuah “politik simbolisme”: suatu upaya untuk merepresentasikan gejala sosial tertentu menggunakan simbol-simbol dengan makna politik tertentu. Nasi aking adalah sebuah simbol guna merepresentasikan kemiskinan masyarakat. Melalui aksi makan nasi aking, Wiranto sedang melakukan politik pencitraan dirinya di hadapan masyarakat. Aksi simbolik itu adalah upaya membangun citra diri sebagai sosok yang amat peduli terhadap problem kemiskinan.

Tapi, sebuah aksi simbolik akan berhenti pada tataran simbol saja, ia tak akan bergerak lebih jauh. Wiranto mungkin berhasil mencitrakan diri sebagai orang yang peduli terhadap soal kemiskinan, tapi benarkah ia akan benar-benar peduli terhadap kemiskinan, kita tak tahu—sebagian besar kita mungkin justru ragu.
***

Politik pencitraan dengan mengeksploitasi kemiskinan bukan monopoli Wiranto. Susilo Bambang Yudhoyono mencapai tangga Presiden Indonesia, salah satunya, melalui “jalur ekploitasi” yang sama. Ketika mendeklarasikan “koalisi kerakyatan”, SBY berusaha mengidentifikasi diri dengan sosok petani dari Cikeas, Bogor, yang bernama Pak Manyar. Pak Manyar yang miskin itu terbukti hanya dieksploitasi saja karena hingga menjelang berakhirnya jabatan SBY sebagai presiden, nasibnya tak berubah. Seperti kebanyakan penduduk kampungnya, Pak Manyar tetap ada di bawah garis kemiskinan.

Pada pidato kenegaraan tanggal 15 Agustus 2008, SBY menyebut angka kemiskinan pada Maret 2008 merupakan yang terendah selama sepuluh terakhir di Indonesia. Angka kemiskinan yang pada 2006 mencapai 17,7 persen kini hanya menjadi 15,4 persen pada 2008, demikian kata presiden. Tampaknya, SBY sadar bahwa kemiskinan adalah komoditas politik yang amat berarti sebagai bekal diri menuju Pemilu 2009.

Kesadaran macam itu pula yang agaknya membuat SBY berang dengan sindirian-sindiran Wiranto tentang kemiskinan. Perdebatan statistik kemiskinan antara Wiranto dan SBY pun sempat menghiasi media massa kita. Masing-masing pihak kukuh dengan data yang dimiliki—yang tentu saja menguntungkan posisi politiknya. Mengomentari perdebatan statistik itu, pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan, debat tersebut tak akan menyelesaikan masalah karena justru membuat pemerintah makin jauh dari substansi penanganan kemiskinan di Indonesia.

Faisal mungkin termasuk ke dalam mereka yang berang karena kemiskinan seringkali hanya dijadikan alat meraih kepentingan politik-kekuasaan saja. Bagi para politisi kita yang masih saja menganggap politik sebagai jalur kepentingan pribadi, kemiskinan memang hanya merupakan fenomena yang bisa diekploitasi demi pengukuhan kekuasaan politik dan ekonomi.

Bagi para politisi yang sebentar lagi berebut jatah kuasa politik-ekonomi itu, kemiskinan memang tak pernah mewujud menjadi sosok yang “berdarah dan berdaging”. Kemiskinan hanya deretan angka-angka, sebentuk abstraksi dengan kategori tertentu, dan sebuah komoditi yang didagangkan demi politik pencitraan.

Selamat mengiklankan kemiskinan!

Sukoharjo, 13 Oktober 2008
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini

5 comments:

Ros Marya Yasintha October 15, 2008 at 3:20:00 PM GMT+8  

Kok ya angka-angka kemiskinan di gembar-gemborkan... Malu ama tetanga noh..Para pemimpin jangan hanya janji manis doang dimuka,kemudian tutup mata dan hati jika terpilih!!

Anonymous October 15, 2008 at 5:14:00 PM GMT+8  

menjual kemiskinan adalah kejahatan keji!

*sedang emosi*

Anonymous October 15, 2008 at 10:11:00 PM GMT+8  

Ya, sekarang kemiskinan pun bisa dipake buat jualan, mencari popularitas. Bahkan dipolitisir!

PS: Sory gak bisa ikutan Blog Action Day. Tahun depan yak

Anonymous October 16, 2008 at 1:42:00 AM GMT+8  

wah saya melihat angka 15% itu malah merasa masih tinggi. 34 juta! apalagi sekarang ya.
btw, post ini bagus sekali :)

Haris Firdaus October 16, 2008 at 11:04:00 PM GMT+8  

to: RMY
masalahnya, angka kemiskinan digembar-gemborkan utk menarik simpati dsb. jadi, mlh harus digembar-gemborkan spy yang menggembar-gemborkan itu kelihatan peduli

to: cerita senja
sepakat. itu sesuatu yg keji!

to: dony alfan
barangkali, menjelang pemilu kondisinya emang kayak gitu!

to: mave
tapi angka 15 persen tetap merupakan penurunan, mave jika dibanding setahun atau sepuluh tahun lalu

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP