Gila

>> Friday, October 10, 2008




Di masa kecil, saya pernah punya pengalaman tak terlupakan dengan seorang gila. Namanya Sakat. Ia seorang tua yang suka berjalan-jalan di kampung saya sambil menyumpah-nyumpah. Kadangkala, ia membawa sejumlah benda—seperti kaleng dan potongan kayu—dengan cara menyeretnya sehingga membikin berisik tiap sudut kampung yang ia lewati.

Kebanyakan orang kampung akan terganggu. Mereka yang dewasa biasanya diam saja—mungkin hanya menyumpah dalam hati. Sedangkan anak-anak kampung, termasuk saya, memandang Sakat dengan tatapan aneh dan merendahkan. Kadangkala, tatapan aneh itu disertai cibiran dan makian-makian.

Sakat punya kepala yang agak miring tiap berjalan. Orang Jawa menyebut posisi kepala macam itu sebagai “tengeng”. Kami—saya dan kawan-kawan kanak saya—sering mengejeknya dengan sebutan “ngeng....ngeng”—kependekan dari “tengeng”. Sakat yang mendengar ejekan itu, kemudian menatap pada kami dengan marah, lalu memberi serapah: “Anak Asu Kowe!”—artinya kira-kira, “Anak Anjing Kalian!”.

Kami tidak pernah benar-benar takut pada serapahnya—bagaimanapun, ia cuma seorang tua yang kami anggap gila—kecuali jika ia telah mendekat ke kami. Bila ia bergerak mendekat, kami akan berlari. Sembunyi di rumah atau sudut kampung. Sambil terus memandanginya dengan aneh, sedikit rasa waswas, dan semacam kegembiraan akibat berhasil memermainkan seorang tua.

Lama Sakat menjadi bagian dari kampung kami. Saya lupa bagaimana ia pergi—apakah ia mati atau mengungsi—sebagaimana saya tak ingat cara ia datang. Tapi tiba-tiba saja kami tak pernah melihatnya lagi. Yang tak pernah saya lupakan dari Sakat adalah caranya berjalan, posisi kepalanya, dan suara makiannya yang kadang masih terngiang di telinga. Saya tahu, ingatan tentang soal macam itu adalah ingatan yang tragis: saya hanya mengingat Sakat sebagai orang gila dan tak pernah tahu bagaimana hidupnya sebagai manusia berjalan—seolah relasi saya dengan dia adalah semata-mata hubungan antara si waras dengan si gila.

Perlakuan saya terhadap Sakat sangat mungkin mencerminkan relasi kita—manusia yang merasa waras dan normal—dengan mereka yang dianggap gila. Kita—sebagai sosok yang merasai diri sebagai manusia berkal sehat—hampir bisa dipastikan selalu melihat orang gila sebagai sebentuk penyimpangan. Mereka yang kita sebut sebagai “gila”, adalah manusia-manusia yang hampir pasti kita anggap rendah dan selalu kita tengok dengan semacam rasa jijik.

Perlakuan macam itu, bukan terjadi secara apa adanya. Ada sebuah sistem sosial yang membuatnya jadi eksis. Di Eropa pada masa Rennaisans, relasi macam itu belum ada. Pada waktu itu, orang gila memiliki kedudukan yang unik. Sejumlah karya sastra klasik Eropa kala itu menggambarkan orang-orang gila sebagai manusia yang bebas berlayar dari satu daerah ke daerah lain dan diizinkan mengembara di wilayah-wilayah yang terbuka.

Seperti dituturkan Michel Foucault dalam Madness and Civilization (1964), pada masa Rennaisans, kegilaan masih dibiarkan berdialog dengan rasio karena mereka yang gila masih dianggap menyimpan kebenaran tertentu.

Pada zaman itu pula, kegilaan sering digunakan sebagai parodi atau satire dalam pentas-pentas drama. Mereka yang gila adalah mereka yang dengan ketaknormalannya membawa pesan kebenaran dan kebijaksanaan. Seperti ditulis MH. Nurul Huda, orang gila, orang bodoh, atau orang tolol inilah yang justru memiliki eksistensi penting sebagai “penjaga moral dan kebenaran”. Spontanitas parodi yang mereka mainkan adalah cerminan dari sebuah usaha melontarkan kritisisme sosial dan moral.

Orang-orang gila di masa itu dibiarkan berkeliaran dan menjadi semacam simbol bagi kebijaksanaan atau sejenis usaha melawan dan berdialog dengan supremasi kepintaran rasio manusia. Posisi macam inilah yang kemudian membuat Foucault menyebut orang-orang gila zaman itu sebagai “orang-orang yang dikaruniai hikmat”.

Tapi posisi unik orang gila pada masa Rennaisans taik pernah abadi. Memasuki abad 17, mulai terjadi sebuah pergeseran cara pandang terhadap kegilaan. Di sejumlah tempat di Eropa, seperti Paris, Inggris, Skotlandia, dan Jerman, secara hampir bersamaan—dalam waktu yang tiba-tiba—orang-orang gila mulai dimasukkan ke dalam “Hospital Generale”: semacam rumah pengurungan yang pembangunannya dibiayai pemerintah.

Pada 27 April 1656, keluar sebuah dekrit di Paris yang menyatakan secara terbuka pendirian Hospital Generale. Secara berbarengan, sejumlah tempat yang mulanya memiliki fungsi berbeda—seperti gudang-gudang senjata, rumah tinggal, balai-balai kota, dan rumah sakit—mulai digunakan sebagai rumah pengurungan. Rumah pengurungan itu menampung orang gila bersama dengan orang cacat dari segala jenis kelamin dan keturunan—baik yang sehat atau tidak.

Hospital Generale tak berurusan dengan soal medis, tapi kekuasaan. Industri yang berkembang pesat di Eropa menyebabkan terbentuknya masyarakat yang memuja kerja dan produktivitas sehingga kriteria kegilaan dikenakan pula pada orang-orang malas, mereka yang tak lagi mampu bekerja, para peminta-peminta, dan manusia-manusia yang tak lagi bisa produktif. Oleh karenanya, Hospital Generale adalah semacam alat yang sekadar memiliki manfaat sebagai pencegah kesemrawutan tatanan masyarakat akibat keberadaan orang-orang malas, pengemis, dan pengangguran—yang kala itu dianggap sebagai dimensi kebinatangan manusia.

Sejak abad 19, perlakuan terhadap kegilaan menjadi beralih rupa kembali. Disiplin psikiatri mulai mengambil alih “penanganan” mereka yang dianggap gila. Kategori-kategori yang sifatnya “medis” mulai dikenakan pada orang gila. Penyiksaan dan represi fisik—seperti diikat pada rantai atau dicambuk laiknya yang terjadi pada abad sebelumnya—telah digantikan dengan terapi modern. Seorang dokter kini dipercaya menjadi “penanggung jawab” mereka.

Penyiksaan digantikan dengan semacam “penyembuhan” atau “penyadaran”. Tapi, Michel Foucault mengingatkan, proses medis modern terhadap orang gila juga tetap merupakan sebentuk represi. Sebab, institusi medis selalu diposisikan sebagai satu-satunya yang berhak mendefiniskan kegilaan dan bagaimana cara pengatasan gejala itu. Pada proses itu, terjadi semacam “pendefinisian sepihak” di mana orang gila adalah korban yang harus patuh dan tunduk.

Melalui otoritas keilmuan yang dimilikinya, dokter dan pekerja medis melakukan kontrol, pengawasan, sekaligus memutuskan mana yang baik dan pantas untuk pasien mereka. Standarisasi moral dan perilaku kemudian dikenakan pada mereka yang disebut sebagai “pasien”. Tepat di sinilah represi itu terjadi. Ketika satu pihak diberi kekuasaan dan wewenang yang tak bisa diganggu gugat untuk melakukan pengaturan pada manusia lainnya, sebuah represi senantiasa telah menjadi.

Cara pandang kita atas kegilaan hari ini didominasi oleh perspektif psikiatri. Sudut mata kita dalam menatap orang gila dipengaruhi secara amat siginifikan oleh cara pandang yang “medis-oriented” ini. Saya kira, itu pula asal muasal pandangan aneh dan merendahkan kita terhadap orang gila pada hari ini.

Sukoharjo, 9 Oktober 2008
Haris Firdaus
Gambar diambil dari sini

4 comments:

Anonymous October 14, 2008 at 12:01:00 AM GMT+8  

orang gila di dekat rumah saya namanya bardi,
ia berdandan lebih rapi jali dari orangkebanyakan.

Haris Firdaus October 15, 2008 at 2:35:00 PM GMT+8  

orang gila memang selalu "lebih" dibandingkan orang normal, mbak senja:)

Anonymous October 16, 2008 at 8:14:00 AM GMT+8  

orang gila emang bener2 gila deh...

paling takut deket2 sma orang gila...

tar ktularan gilanya...

ehhehehhehe...

Haris Firdaus October 16, 2008 at 10:54:00 PM GMT+8  

to: ezza. pada dasarnya orang gila kan cuma "berbeda" saja. kenapa mesti takut?he2.

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP