Suzanna: Sebuah Obituari

>> Saturday, October 18, 2008



Sampai menemu ajalnya pada usia 66 tahun, 15 Oktober lalu, Suzanna Martha Frederika van Osch tetap sebuah teka-teki.

“Ah! Suzanna!” Kata-kata itu terlontar dari seorang dosen Sastra Gothic University of Stirling, Skotlandia, saat ia menerima jawaban tentang asal negara dari seorang mahasiswinya. Mahasiswi itu adalah Gratiagusti Chananya Rompas, seorang perempuan kelahiran Jakarta. Di kalangan sastra cyber, nama Gratiagusti amat masyhur. Ia pendiri komunitas puisi maya Bunga Matahari yang sempat “dihebohkan” itu.

Gratiagusti belajar S2 Jurusan Sastra Gothic di University of Stirling dan lulus tahun 2005 lalu dengan tesis tentang Film Jelangkung dan Tusuk Jelangkung. Salah satu yang membuatnya terkejut tatkala belajar di negeri nun jauh itu adalah soal Suzanna. Di kampusnya, Suzanna adalah nama yang kesohor. Makanya, ketika ia menyebut “Indonesia” sebagai kampung asalnya, dosennya langsung bergumam: “Ah! Suzanna!”.

Nama Suzanna bagi penggemar gothic mungkin sama dengan Bali bagi para turis asing yang gemar keluyuran jauh: keduanya menjadi “pengganti” bagi Indonesia. Dilahirkan dari garis keturunan Jerman-Belanda-Jawa-Manado, Suzanna mencuat pertama kali ke layar lebar melalui Film Asmara Dara pada 1959 yang disutradarai Usmar Ismail. Atas peran kecilnya dalam film itu, ia menerima penghargaan The Best Child Actrees pada Festival Film Asia di Tokyo tahun 1960.

Sebelum bermain di Asmara Dara, Suzanna harus mengikuti sebuah casting yang dikomandoi Usmar Ismail sendiri. Kala audisi itu, ia sempat gugup waktu harus memerankan adegan memegang telepon. Gara-garanya, Suzanna belum pernah memegang telepon sama sekali sebelum audisi itu.

Setelah Asmara Dara, ia sempat bermain dalam sejumlah drama. Mengaku jenuh bermain film drama, Suzanna lalu banting setir ke jalur horor. Dan, seperti kita sama-sama paham, ia sukses di jalur itu. Dimulai dengan sebuah film berjudul Bernapas dalam Lumpur tahun 1970, karier Suzanna menanjak pesat. Bernapas dalam Lumpur adalah gubahan dari sebuah novelet berjudul Berenang dalam Lumpur karya Zainal Abdi dan pernah dimuat secara bersambung di Majalah Varia di akhir era 1960-an.

Film yang diarsiteki Turino Djunaidy itu menuai sukses luar biasa. Bahkan, film yang judulnya mengingatkan kita pada Tragedi Lumpur Lapindo itu, sempat menerbitkan “demam” di tahun 1970-an awal. Konon, pasca-film itulah demam horor mulai menjangkiti Indonesia.

Suzanna menjadi ratu di tengah demam itu. Setelah Bernapas dalam Lumpur, ia membintangi sebuah film dengan judul tak kalah seram sekaligus menggelikan: Beranak dalam Kubur. Film yang oleh Wikipedia disebut sebagai “film legendaris” itu, juga menangguk untung melimpah. Dalam sebuah wawancara, Suzanna menyebut film tersebut telah menjadi “box office” di masanya. Mulai saat itu pula, menurut pengakuannya sendiri, Suzanna mulai kecanduan bermain di dalam film horor.

Ada 14 film horor yang dibintangi Suzanna yang sukses di pasaran. Di antaranya tentu “trilogi” Nyi Blorong yang disiarkan pada dekade1980-an. Dimulai dengan film Nyi Blorong (1982) yang membukukan rekor ditonton 345 ribu orang, lalu dilanjutkan dengan dua sekuelnya, Perkawinan Nyi Blorong (1983) dan Petualangan Cinta Nyi Blorong (1986).

Kalau saya tak salah hitung, ada sekira 32 film horor yang dibintangi Suzanna, sejak Bernapas dalam Lumpur tahun 1970 sampai dengan Hantu Ambulance yang tayang perdana pada 21 Februari 2008 lalu. Jumlah ini hampir empat kali lipat dari jumlah film drama yang ia bintangi—ada sekira sembilan film drama yang dibintangi Suzanna.
***

Di Indonesia, film horor selalu lebih dekat kepada pasar ketimbang mutu atau pencapaian artistik.

Pada tahun 1934, sebelas tahun sebelum Indonesia merdeka, The Teng Cun memproduksi film horor pertama kali di negara kita. Judulnya: Ouw Peh Tjoa atawa Doea Siloeman Oeler Poeti en Item. Ini film soal siluman ular yang keluar dari gua pertapannya, menjelma menjadi gadis cantik, lalu jatuh cinta pada seorang pria, dan menikah. Saya tak tahu apakah film ini sukses atau jeblok di pasaran. Tapi agaknya, ia menuai sukses lumayan. Buktinya, Teng Cun yang keturunan Betawi-Tionghoa itu lalu menggandrungi genre horor setelah sebelumnya meniti di jalur film cerita berbasis legenda Tionghoa.

Berturut-turut kemudian, ia memproduksi sejumlah judul: Ang Hai Djie, Pan Sie Tong, Siloeman Babi Perang Siloeman Kera (ketiganya tahun 1935), Anaknya Siluman Oelar Poeti, Lima Siloeman Tikus (keduanya tahun 1936), Tengkorak Hidup (1941), dan sebagainya. Teng Cun bertahan sebagai pembuat film selama beberapa periode pergantian kepemimpinan politik di Indonesia. Ia sempat bersinar tatkala pendudukan Jepang dan berhenti pada masa kemerdekaan, tapi bangkit kembali tatkala kedaulatan Indonesia diakui Belanda pada 1949 melalui Konferensi Meja Bundar.

Peruntungan Teng Cun mulai redup tahun 1950 akhir dan pada 1962, ia benar-benar tak bisa lagi memproduksi film. Ia kemudian menjadi seorang guru privat Bahasa Inggris. Gubernur Jakarta Ali Sadikin memberinya penghargaan pada 1976 atas peranannya dalam perfilman nasional.

Saya tak tahu apakah Teng Cun seorang pembebek pasar atau bukan. Tapi para penerusnya di tahun 1970-an, juga tahun-tahun selanjutnya, kebanyakan merupakan seorang pembebek sejati. Dalam persoalan kualitas, film horor Indonesia memang hampir selalu kedodoran, bahkan sampai sekarang. Sebuah laporan Majalah Tempo yang ditulis Seno Joko Suyono dan Dwi Arjanto pada tahun 2003 pernah dengan sinis “meledek” sejumlah film horor Indonesia yang, alih-alih membikin takut jika ditonton, membuat geli dan dipenuhi unsur-unsur yang menjengkelkan. Banyak film dengan logika cerita ganjil, “pandangan dunia” hitam-putih yang naif, adegan aneh, dan akting pas-pasan.

Untuk menutupi kekurangan dalam hal cerita atau logika, seks adalah ramuan yang dianggap pas dalam film horor. Sejak tahun 1970-an, seks telah mulai dikenal sebagai bumbu. Dosisnya lama-lama meningkat, dan pada akhirnya justru menjadi menu utama. Logika cerita dan akting akhirnya dijadikan soal nomor sekian. Demikianlah, kita akhirnya menemukan “trilogi” Nyi Blorong-nya Suzanna tahun 1980-an yang dibumbui seks, dilanjutkan dengan sejumlah film horor-seks lain, dan mencapai heboh tatkala Yurike Prastika tampil dalam Pembalasan Ratu Laut Selatan (1989). Film yang bukan hanya hangat tapi panas itu akhirnya ditarik dari peredaran karena protes keras sejumlah kalangan.

Memasuki tahun 1990-an, mulailah sebuah periode “esek-esek” dalam perfilman kita. Sejumlah aktris yang lebih berani dari Yurike Prastika muncul: Lela Anggraeni, Taffana Dewi, Sally Marcelina, dan Malfin Shayna. Beberapa dari jajaran artis itu kemudian dikenal dengan julukan yang menggelikan: “bom seks”. Tapi julukan itu tak lebih menggelikan dari film-film yang mereka bintangi. Ada sebuah film berjudul Skandal Iblis (1992) yang berkisah tentang sebuah kalung jimat kuno yang memiliki khasiat ajaib: membuat pemakainya ketagihan berhubungan seks. Saya belum menonton film tersebut. Tapi membaca info tentangnya saja sudah cukup membuat saya tertawa terpingkal-pingkal.

Is Mujiarso, blogger dan mantan wartawan hiburan Detik.com, pernah dengan amat jengkel membuat sebuah surat terbuka kepada Shanker, produser dari Indika Entertainment, tentang film Hantu Aborsi (2008). Dengan gayanya yang nyinyir, Is menunjukkan kejengkelannya yang amat dalam terhadap film produksi Shanker itu. Atas alasan Shanker bahwa film Hantu Aborsi dibuat sebagai pengingat bagi ibu-ibu muda yang hendak melakukan aborsi, Is mengomentari bahwa alasan itu adalah sebuah kenaifan yang patut ditertawakan.

Kita bisa mengambil banyak contoh tentang betapa film horor kita belum menunjukkan banyak kemajuan artistik dan pandangan kesenian yang baik. Namun faktanya, berkebalikan dengan kualitasnya, film horor biasanya cukup banyak ditonton. Ada sejumlah film horor yang mampu menciptakan rekor-rekor baru dalam soal jumlah peminat. “Kalau toh turun, film horor tak pernah jeblok habis. Berbeda dengan (film) rumah tangga, kalau lagi turun sepi, bisa nol beneran,” kata seorang pembuat film horor tahun 1990-an.
***

Lalu, bagaimana posisi Suzanna dalam kondisi perfilman horor yang membebek pasar itu?

Saya kira, “Ratu Film Horor Indonesia” itu tak pernah bisa lepas dari jerat pembebekan yang berkiblat kepada uang. Sejumlah filmnya yang pernah saya tonton menunjukkan bahwa kualitas artistik tak lebih penting ketimbang horor mistik-klenik dan bumbu persetubuhan. Suzanna adalah seorang seniman yang realistis. Ia bahkan tak mengkritik film-film horor tahun 1990-an yang adegan seksnya telah keterlaluan.

“Sebetulnya tidak ada yang salah. Ada penonton yang senang film horor yang tegang menakutkan dari awal sampai akhir. Ada juga penonton yang suka ditakut-takutin tapi juga mau dihibur dengan adegan seks. Dan, produser film sangat jeli akan hal itu, sehingga jadilah film yang sesuai dengan keinginan penonton,” begitu jawab Suzanna saat ditanya pendapatnya tentang film horor era 1990-an yang esek-esek itu.

Ada nada realistis dalam jawaban itu. Juga ada sebuah kalimat yang terdengar merdu tapi sebenarnya problematis: “film yang sesuai dengan keinginan penonton.” Dalih macam ini hampir selalu menjadi apologi, atau pembenaran, untuk sebuah karya yang kualitasnya buruk, dalam hal apapun: lagu, novel, sampai film atau sinetron. “Keinginan penonton” dijadikan sebuah dalih bagi penciptaan karya-karya dengan estetika yang rendah—dalam era dekade 90, “keinginan penonton” adalah alasan paling dasar penciptaan film esek-esek.

Jadi, dalam logika yang problematis tersebut, bukan produser, sutradara, atau penulis skenario film-film buruk itu yang patut disalahkan, tapi penonton. Bagi mereka yang memuja “keinginan penonton”, agaknya penontonlah yang patut dituding sebagai biang keladi adanya film-film bermutu rendah itu—ini tentu saja sebuah tarik-simpul yang parah.

Suzanna, pada akhirnya, juga seorang yang tunduk pada pasar. Tapi ada yang berbeda dari dia dibandingkan sejumlah bom seks 1990-an. Suzanna jelas lebih pandai berakting daripada mereka. Gayanya yang khas menjadi sebuah “merek dagang” tersendiri bagi film-film yang dibintanginya.

Saat membintangi Hantu Ambulance, misalnya, akting Suzanna tak banyak berubah: ia tetap meruapkan sejenis karakter tertentu yang khas; bahkan dalam syuting film itu Suzanna memborong seluruh koleksi pribadi pakaiannya. Kata Shanker, ini demi menghadirkan sosok Suzanna yang “sebenarnya”—tak heran, di awal film Hantu Ambulance, ada sebuah title bertuliskan “Suzanna returns”.

Bagaimanapun, Suzanna sempat digembleng oleh Usmar Ismail, sosok sutradara yang diberi kehormatan menyandang gelar Bapak Film Nasional, sehingga kemampuan seni perannya bisa dianggap mumpuni. Itulah kenapa Suzanna meninggalkan jejak yang panjang.

Tatapan matanya yang kalem tapi tajam, suaranya yang sedikit kemayu sekaligus membuat merinding, juga gaya bicaranya yang lambat tapi tegas, semuanya masih membekas. Suzanna memang artis yang handal. Buktinya, ia meraih sejumlah prestasi: menjadi pemain harapan Festival Film Indonesia (FFI) untuk Film Asmara Dara; Best Child Actress Festival untuk Film Asmara Dara; Nominasi Pemeran Utama Wanita Terbaik FFI tahun 1979 untuk Film Pulau Cinta dan tahun 1982 untuk Ratu Ilmu Hitam.

Pada tahun 2008, 50 tahun setelah debut pertamanya, ia kembali menerima kehormatan: Suzanna dan kiprahnya dalam dunia film Indonesia dijadikan fokus peringatan Hari Film Nasional yang jatuh pada 30 Maret. Tentu saja, ini sebuah penghormatan yang besar. Di tahun yang juga menjadi waktu kematiannya itu, Suzanna dikenang dan didiskusikan; filmnya diputar dan ditonton kembali; pengaruhnya dalam dunia film diperdebatkan.
***

Suzanna meninggal dunia dalam sebuah sepi yang agaknya disengaja.

Rabu malam, 15 Oktober 2008, seperti biasa Suzanna berbaring di kamarnya. Ia belum lama pulang dari Rumah Sakit Harapan Kota Magelang—tempat ia dirawat inap selama lima hari sejak 1 Oktober. Pada malam di mana ia dijemput ajal, Suzanna sempat meminum susu, lalu 15 menit kemudian ia terlihat mengambil napas panjang. Pasca-ambilan napas itu, Suzanna nampak tertidur.

Cliff Sangra, suami kedua Suzanna, yang curiga dengan kondisi istrinya malam itu kemudian memangil dua dokter pribadinya. Saat pemeriksaan selesai, keduanya memastikan Suzanna telah meninggal dunia. Penyebabnya: penyakit diabetes yang telah menggerogotinya sejak beberapa tahun.

Keesokan harinya, jenazah sang Ratu Horor dimakamkan tanpa sebuah peringatan yang meriah. Tak ada media yang meliput prosesi itu. Sejumlah pewarta gosip menyebut, kematian sang ratu agaknya sengaja dirahasiakan. Beberapa waktu setelah pemakaman, kematian Suzanna baru terendus. Sejumlah tayangan gosip langsung heboh dengan berita kematian itu. Sebagian besar sibuk dengan dugaan adanya misteri di balik kematian. Ada yang membahas soal wasiat-wasiat aneh Suzanna, ada yang kembali menayangkan sengketa Suzanna dengan anaknya, Kiki Maria. Ada pula yang memberitakan kebiasaan lama Suzanna makan kembang melati dan mawar.

Sejak masih hidup, Suzanna sudah merupakan semacam teka-teki. Sebuah enigma, begitu kata Majalah Tempo dan Gratiagusti. Ia dikabarkan dekat dengan dunia klenik. Pada awal 2003, tatkala Majalah Tempo hendak mewawancarainya, Suzanna sempat menampik. Wawancara dengan media massa memang dilakukan Suzanna secara amat selektif—konon waktu wawancaranya pun mesti bertepatan dengan “hari baik” yang dipercaya Suzanna.

Sejak sejumlah prahara menimpa kehidupan pribadinya, Suzanna memang semakin masuk ke dalam sebuah dunia yang sepi, lebih tepatnya, sebuah dunia yang tak ingin dibagi ke penggemar gosip. Kehidupan Suzanna memang sempat menemu sejumlah prahara: perkawinannya dengan aktor Dicky Suprapto kandas; anaknya yang tampan bernama Ari tewas; dan hubungannya dengan Kiki Maria, putri dari perkawinannya dengan Dicky, tak berjalan harmonis.

Di penghujung 2003, Kiki melaporkan Cliff Sangra ke polisi atas tuduhan penembakan terhadap Abriyarso Prihanto Boyho, suami Kiki. Kabar yang berhembus, kasus itu dipicu sengketa warisan milik Suzanna yang katanya hendak dibagikan pada Kiki. Cliff dihukum empat bulan penjara atas tindak penganiayaan terhadap menantu tirinya. Bukan hanya itu, Cliff juga sempat dituduh hendak membunuh Suzanna sendiri. Konon, aktor bernama asli Cliff Andre Natalia itu sempat menyewa pembunuh bayaran dengan imbalan 50 juta demi membunuh istrinya sendiri.

Saya tak yakin tuduhan rencana pembunuhan itu benar adanya. Tapi yang jelas, di depan kamera infotainmen Suzanna sempat mengaku hendak bunuh diri karena beban hidupnya yang terus-terusan menumpuk. Tahun 2006 lalu, dia dikabarkan telah meninggal dunia. Tapi berita itu terlampau cepat dua tahun. Baru beberapa hari lalu, sang ratu menghembus nafas terakhirnya yang panjang. Tetap dengan sebuah misteri. Sebuah enigma.

Sukoharjo, 18 Oktober 2008
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini

13 comments:

Anonymous October 18, 2008 at 11:11:00 AM GMT+8  

gwa tau suzanna meninggal dari internet lo...

coz gwa jarang nonton tipi...

hehehhehe...

Anonymous October 18, 2008 at 1:00:00 PM GMT+8  

suzanna, seorang yang mampu menciptakan kesan mistis sampai paripurna.

kalau ingat suzanna, ingat senyumnya yang misterius. saya merinding kalau bertatapan dengan matanya, meskipun kami hanya bertemu di infotainment

Anonymous October 18, 2008 at 2:27:00 PM GMT+8  

Hilang lagi satu living legend. Semoga dia tenang di sisiNya.

Dialog dalam film sunderbolong yang saya masih saya ingat:
Sunderbolong: Beli sate, bang.
Penjual sate: Berapa tusuk, neng?
Sunderbolong: Dua ratus tusuk, bang.

Kurang lebih kayak gitu, wakakkak

geka October 19, 2008 at 7:02:00 PM GMT+8  

Sosok seorang wanita yang lebih dikenal sebagai artis horor, tetapi dibalik itu semua hatinya penuh dengan senyum. Selamat Jalan Suzanna.

Haris Firdaus October 20, 2008 at 11:23:00 PM GMT+8  

to: ezza.
internet kadang bs lebih dipercaya ketimbang televisi kok mas. ha2

to: ceritasenja
sy juga agak merinding kalo lihat suzanna. auranya mistis banget

to: dony alfan
nah, ketahuan kalo kamu fans berat suzanna! sampe apal dialognya. ha2

to:geka
iya sih penuh senyum, tapi senyum misterius. ha2

Anonymous October 20, 2008 at 11:56:00 PM GMT+8  

wow... ulasan yang lengkap banget. oh ya, akan ada pemutaran film2 suzana di markas buma loh.
tanggal dan alamat lengkapnay lupa.

Anonymous October 21, 2008 at 3:05:00 PM GMT+8  

gak nyangka tuh kalo suzanna udah meninggal dunia.
suzanna yang misterius.
www.kawasah.co.cc

Anonymous October 28, 2008 at 3:43:00 PM GMT+8  

saya juga merinding ngeliat Suzanna. keseringan main film horor jadi ketularan kali ya? denger2, dia suka makan bunga melati. hiiih!

Anonymous November 4, 2008 at 5:32:00 PM GMT+8  

"tak borong kerupukmu mas Karto.."

kira kira demikianlah suzanna mengganggu bang Bokir sewaktu dia jadi Suketi dari Rawa Angke sedang

jiakakakaaaa.....
(film yang aneh.)

Anonymous October 5, 2010 at 12:43:00 PM GMT+8  

saya sangat terkejut dengan meninggalnya suzana artis nan cantik dan sangat kukagumi itu, aku sangat kagum dengan keserderhanaan dan penuh misteri, semoga baliau tenang di sisiNya amin

Anonymous June 17, 2013 at 2:55:00 AM GMT+8  

clief sanggra serakah

Anonymous May 22, 2014 at 10:05:00 AM GMT+8  

mau tenang gi mana. suzana mati dalam bukan Islam. so sekarang sudah pasti disiksa sampai hari kiamat lah..ayo

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP