Pojok Jalan

>> Monday, July 21, 2008

Sebuah pojok jalan, saya kira, bukan sebuah rumah.

Dari sejumlah cerita pendek Iwan Simatupang yang pernah saya baca, saya paling tak bisa melupakan kisah berjudul “Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu”. Cerita itu diawali dengan dua paragraf yang demikian:

“Tunggu aku di pojok jalan itu.” Katanya. “Aku beli rokok dulu ke warung sana.”

Ia pergi. Sejak itu, istrinya tak pernah melihatnya lagi. Sepuluh tahun kemudian, ia kembali ke kota itu. Dia lihat istrinya masih menunggu di jalan itu.


Membaca dua paragraf itu, sebagian kita mungkin membayangkan hendak menghadapi sebuah drama cinta romantis tentang penantian sepasang kekasih, barangkali semacam kisah penantian dalam “The Return of The Condoer Heroes” antara Yoko dan Bibi Lung-nya. Tapi mereka yang mengenal Iwan Simatupang dengan baik, tak akan berprasangka demikian.

Sebab, dua paragraf tadi justru sebuah sajian yang akan menarik kita ke dalam “kerumitan” kisah “cinta” yang amat aneh, absurd, dan membingungkan dalam nalar konvensional. Setelah keduanya, kita akan tahu bahwa si istri yang masih ada di pojok jalan itu—setelah ditinggalkan selama sepuluh tahun oleh suaminya—ternyata telah menjadi pelacur.

Kita juga disuguhi percakapan-percakapan pendek antara sepasang laki-perempuan itu, sejumlah dialog yang berlangsung dalam “kedataran”, sampai akhirnya kita diajak mencapai “klimaks”. Dan, apa yang saya sebut sebagai “klimaks” itu adalah sebuah adegan ketika si suami mengajak “jalan” istrinya dan berniat untuk mengajaknya bercinta. Dalam perjalanan, si istri kemudian berkata pada suaminya itu: “Tarifku dua ratus sampai tengah malam. Sampai pagi, dobel….”

Saya kira, seharusnya cerita sudah bisa disebut mencapai penghabisan pada dialog itu. Membaca dialog itu, saya merasa telah sampai puncak, dan segala deskripsi Iwan tentang perasaan si lelaki ketika mendengar “tarif” istrinya sendiri, bagi saya, menjadi tidak terlampau penting. Ketika si istri telah menyatakan “tarif”-nya itu, saya hampir bisa menyebut bahwa Iwan telah menunaikan tugasnya dengan baik sebagai seorang pengkisah.

Membaca “Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu” selalu mengingatkan saya pada jalan dan semacam “horor” yang ditimbulkannya. Jalan, adalah sebuah tempat yang selamanya menjadi transisi, ia bukan sebuah tempat berangkat, dan juga bukan tempat pulang. Itulah kenapa, ketika si suami kembali ke pojok jalan di mana ia tinggalkan istrinya sepuluh tahun yang lampau, ia sebenarnya tak bisa disebut sedang “kembali”. Ia tidak pulang.

Di pojok jalan itu, ia tak akan menemukan segala hal yang berkaitan dengan “pusat” atau “asal-usul” dirinya. Dan, kalau pulang adalah sebuah “gerak-kembali menuju segala hal yang berbau kita”, atau sebuah langkah menuju “asal-usul”, maka si suami mutlak tak bisa disebut sebagai “pulang”. Mungkin, ia hanya mampir.

Pada awalnya, ia tak menyadari bahwa ia hanya sekadar mampir, dan sama sekali tidak pulang. Tapi, ketika si istri akhirnya mengatakan bahwa “tarifku dua ratus sampai tengah malam”, ia tahu bahwa dirinya hanya manusia yang sekadar mampir. Ia tak akan selamanya tinggal di sana. Ia akan pergi. Tapi bukan itu yang pokok. Yang pokok: “kembalinya” si suami ke pojok jalan itu untuk menemu istrinya pada akhirnya sama sekali tak membuatnya menemui “kedekatan”: sesuatu yang hampir selalu ada—dan juga dicari—dalam sebuah “gerak-kembali” yang kita sebut sebagai “pulang”.

Pada akhirnya, sebuah pojok jalan memang bukan sebuah rumah. Mereka yang ada di sana, “tinggal” di sana, akan kehilangan banyak hal dari dirinya: seperti si istri yang selama sepuluh tahun kemudian menjelma menjadi makhluk yang selamanya berbeda. Mereka yang ada di jalan, mungkin tak bisa lagi dirunut “asal-usul” atau “sifat bawaanya”. Jalan adalah sebuah tempat yang akan selamanya mengubah: ia punya kuasa untuk melarutkan “identitas”, untuk menyerap manusia pada batang tubuhnya, dan tak memungkinkan manusia tadi untuk terlihat sebagai “sedia kala”.

Itulah kenapa, saya menyebut pojok jalan bukan sebuah rumah. Sejumlah baris penyair Rainer Maria Rilke juga mengingatkan saya akan proposisi macam itu:

Mereka yang tak berumah,
tak akan membangun lagi.
Mereka yang sendiri, akan lama menyendiri,
akan jaga, membaca, menulis surat panjang
dan akan melangkah hilir mudik di jalanan
gelisah, bila dedaunan beterbangan.

Pasase itu selalu membuat saya bergetar. Ada semacam tragedi yang terasa amat kuat di sana—sebagian mungkin muncul karena soal pribadi saya. Dalam puisi berjudul “Suatu Hari di Musim Gugur” itu, Rilke dengan baik telah memberi nubuat: “mereka yang tak berumah, tak akan membangun lagi.” Saya selalu mengangguk-anggukkan kepala ketika membaca kalimat itu.

Meski, saya juga tak selamanya tahu secara persis apa yang dimaksud Rilke dengan “membangun lagi”: mungkin saja ia berhubungan dengan identitas, asal-usul, atau semacam kenangan. Tapi kepastian macam itu, bagi saya saat menikmati puisi, kadang menjadi tak penting-penting amat.

Yang jelas, saya makin larut ketika Rilke menulis baris-baris selanjutnya. Kata dan frasa seperti “menyendiri”, “menulis surat panjang”, “hilir mudik di jalanan”, dan “gelisah”membuat saya sadar: kodrat mereka yang tanpa rumah adalah sebuah tragedi yang hanya bisa “diatasi”dengan laku yang selamanya justru menandaskan ketragisan: menyendiri, gelisah, atau menulis surat panjang.

Kenapa “menulis surat panjang” disandingkan Rilke dengan “menyendiri”, “gelisah”, dan “tak berumah”? Saya juga tak terlampau mengerti. Tapi mereka yang “tak berumah” atau tahu bahwa sebentar lagi akan “kehilangan rumah”, pasti bisa merasakan bahwa “menulis surat panjang” adalah sebuah laku “pulang yang imajiner”: semacam “gerak-mendekatkan diri” secara simbolik. Dan, kadang, melakukan itu adalah satu-satunya pilihan.


Sukoharjo, 21 Juli 2008
Haris Firdaus

2 comments:

Anonymous July 22, 2008 at 1:57:00 AM GMT+8  

Ini naskah terbaikmu dari 7 naskah terakhir yg ku baca --kendati aku lbh suka "Tegak Lurus dg Langit" daripada "Tunggu Aku di Pojok Jalan itu".

zen

Anonymous July 24, 2008 at 11:29:00 AM GMT+8  

trims, bung. trims juga dah membaca blog sy terus. meski sy gak lagi bs bc tulisan2mu itu...tegak lurus dengan langit jg bagus

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP