Perbuatan

>> Saturday, July 12, 2008



Saya menonton Film “Lions for Lambs” baru-baru ini dan tahu: ada sesuatu yang jauh lebih berarti ketimbang argumentasi yang ditata rapi, rencana luar biasa yang mungkin tanpa cela, dan pikiran cemerlang yang bisa membuat kita terkagum-kagum pada si empunya.

Ya, ada yang lebih berarti ketimbang semua itu. Namanya: perbuatan.

Saya menonton film garapan Robert Redford tersebut di tengah suasana hiruk pikuk politik negara kita yang makin banyak berisi iklan politik, kampanye basi, atau berita-berita korupsi yang membosankan. Saya menonton film yang bintangi Tom Cruise itu tatkala saya—dan mungkin juga Anda—telah amat jengah dengan berita-berita seputar Amerika Serikat bahkan kalaupun itu menyangkut Barack Obama.

Pendeknya, saya menonton film itu di tengah situasi yang benar-benar kelelahan dengan segala omongan, segala laku menjelas-jelaskan, dan segala argumentasi politik yang terus didengungkan.

Sehari sebelum menonton film itu, saya mengikuti sebuah seminar kebangsaan yang berlangsung selama berjam-jam, dengan pembicara-pembicara “level nasional”. Tapi, sepulangnya dari sana, saya hanya mendapatkan kelelahan. Tidak ada nasionalisme, tidak ada kebangsaan yang saya bawa pulang.

Lalu, tiba-tiba saya ingat paragraf awal dari catatan pinggir Goenawan Mohamad belum lama ini: “Haruskah kita terus berjuang dalam politik untuk perubahan, ketika hampir semua hal sudah diucapkan secara terbuka, tapi Indonesia hanya berubah beberapa senti?” Hari ini, di tengah Indonesia yang seperti ini, saya terus teringat kalimat yang sebenarnya hanya saya baca sekilas itu. Kalimat itu, saya kira, dengan amat tepat menggambarkan sebuah kondisi yang lelah akan politik, terutama jika ia berarti omongan.

“Lions for Lambs” membuat saya sadar, politik atau nasionalisme tidak selamanya berisi omongan atau rencana besar yang paling argumentatif sekalipun. Dalam film yang rilis November tahun lalu itu, ada tiga potongan kisah berbeda yang terhubungkan oleh satu benang merah yang membuat saya tahu: perbuatan mungkin jadi sesuatu yang penting ketika omongan adalah sesuatu yang telah terlampau banyak kita dengar dan oleh karenanya tak lagi menimbulkan harapan.
***

“Lions for Lambs” dimulai dengan kisah tentang dua tentara Amerika Serikat yang terjebak dalam misi penyerangan kecil ke daerah Afghanistan: Arian (Derek Luke) dan Ernest (Michael Pena). Keduanya jatuh dari helikopter yang membawa tim mereka saat hendak melakukan pendaratan di sebuah pegunungan salju yang dekat dengan wilayah Taliban. Di tengah salju yang menusuk dan luka-luka, mereka mesti bertahan dari sekelompok musuh yang datang.

Arian dan Ernest adalah lulusan West Coast University. Keduanya masuk ke militer Amerika Serikat karena satu alasan: ada sesuatu yang harus dilakukan oleh mereka. Ya, segala pertimbangan sudah mereka pikirkan: dari mulai arogansi Amerika Serikat, perilaku korup para politisi mereka, atau yang lain-lain. Bagi mereka—yang sebenarnya bukan orang AS “asli”—ada perjuangan yang harus dilakukan dalam hidup mereka, bahkan jika kenyataan membawa mereka hidup di negara seperti AS. Dan mereka memutuskan jalan itu ada dalam tubuh militer, dengan taruhan apapun, bahkan saya kira mereka tahu kalau akhirnya mereka mungkin sekali hanya menjadi “korban” dari rencana politisi konservatif AS dalam “perang melawan teror”.

Dr. Malley (Robert Redford), dosen keduanya, sempat mencegah kepergian kedua mahasiswa pintar itu ke militer. Bagi Malley, yang pernah merasakan “kesia-siaan” ketika bergabung dengan tentara AS kala Perang Vietnam, masuk ke militer adalah sebuah jalan buruk. Sebab, bagi Malley—yang mengambil inspirasi dari sebuah puisi Jerman—para perwira militer adalah “singa” yang diperintah oleh politisi AS yang mirip dengan “domba-domba”. Tapi Malley tak bisa mencegah mereka. Ia tak sepakat dengan mereka tapi toh akhirnya menghargai keputusan itu.

Kisah kedua terjadi di ruang kerja Senator Jasper Irving (Tom Cruise). Kala itu, Irving mengundang Janine Roth (Meryl Streep), seorang wartawan, untuk mewawancarainya terkait dengan rencana terbaru AS dalam menangani konflik di Taliban—Ernest dan Arian adalah eksekutor lapangan dari rencana ini. Keduanya kemudian terlibat dalam debat yang seru: Irving berusaha meyakinkan Janine bahwa usaha yang dilakukan AS untuk membersihkan Taliban di Afghan adalah sesuatu yang benar dan seharusnya dilakukan. Tapi seperti biasa, Janine akan melawan argumentasi dengan argumen yang tak baru-baru amat.

Bagian kedua ini, agak membosankan karena kita sudah pernah mendengar semuanya dalam berita yang kita baca atau tonton. Tapi, sangat mungkin Redford sengaja membiarkan “kebosanan” itu: sangat mungkin ia membuat bagian ini menjadi “sama persis” dengan propaganda yang dilancarkan AS tiap kali hendak menghukum lawannya dengan satu tujuan: menularkan kebosanannya pada kita.

Kisah ketiga adalah kisah Malley yang sedang berdebat dengan seorang mahasiswa berbakat tapi malas dan apatis: Todd Hayes (Andrew Garfield). Hayes adalah mahasiswa berbakat yang muak dengan mata kuliah geopolitik karena toh mata kuliah macam itu tak akan berguna dalam panggung politik AS yang sesungguhnya. Bagi Hayes, laku politik di AS sudah sedemikian menjijikkan sehingga satu-satu tindak yang mesti dilakukan adalah menjauhinya. Malley mencoba mendebat Hayes dengan menceritakan kisah Ernest dan Arian, dan mencoba memberitahu pada Hayes: ada sesuatu yang bisa dilakukan selain “lari”.

Tiga kisah berbeda dalam “Lions for Lambs” terjadi dalam waktu yang bersamaan. Redford membuat film berlangsung dengan pergantian kisah yang konstan. Penyambungan gambar dan kisah membuat film ini jadi menarik dan menyegarkan karena pergantian kisah satu ke kisah lain membuat ironi antar kisah jadi amat terasa.
***

Apa yang membuat “Lions for Lambs” menarik adalah kontras. Tiap kali kisah berganti, kita akan menemukan kontras itu. Ia memang ada di mana-mana: saat kisah Arian dan Ernest berganti ke percakapan Irving dan Janine, atau ke Malley dan Hayes. Ada sesuatu yang makin kuat terasa, ada tanda yang makin membuat kita tergugah. Mungkin, ini mengikuti hukum semiotika: sebuah tanda menjadi bermakna bukan pada dirinya sendiri, tapi pada hubungannya dengan tanda lainnya.

Begitulah pula logika Redford: satu kisah menjadi menarik dan menggetarkan ketika ia disandingkan dengan kisah lainnya. Dan kontras utama dalam “Lions for Lambs” itu terasa pada dua hal: omongan dan perbuatan.

Mereka yang seperti Hayes akan mudah sekali omong tapi sekaligus mudah patah asa. Orang-orang seperti itu adalah mereka yang mampu membikin analisa-analisa bagus dengan segera, tapi kemudian menjadi takut karena analisa yang ia bikin sendiri. Lalu, orang-orang macam ini akan berakhir dengan apatisme di sudut kamar mereka sendiri. Sementara itu, di luar kamarnya, perubahan sosial terjadi tanpa menoleh sama sekali padanya.

Entah kenapa, Arian dan Ernest akan jadi sesuatu yang lebih patut untuk membuat kita tegetar. Apalagi di Indonesia saat ini ketika harapan makin jadi sesuatu yang defisit dalam kehidupan kita. Ya, ia jadi sesuatu yang menggetarkan dan mencengangkan ketika makin banyak omongan yang diumbar, tapi—seperti kata Goenawan Mohamad—Indonesia hanya berubah beberapa senti.

Mungkinkah itu karena sebuah perbuatan yang “baik” dan “tulus” akan jadi sesuatu yang selalu lebih dihargai—betapapun ia tak dihiasi filsafat sama sekali—dibandingkan dengan filsafat yang kemudian membuat kita berdiam diri?

Sukoharjo, 12 Juli 2008
Haris Firdaus

3 comments:

Ngatini July 19, 2008 at 8:27:00 PM GMT+8  

mbok pilem kartun aja mas yang dibahas...hehehe..aku gak suka perang2an..

Anonymous July 21, 2008 at 1:14:00 PM GMT+8  

hu hu hu. kapan2 ya, mbak ngatini

poetryheart July 30, 2008 at 4:40:00 PM GMT+8  

yah ntar aku nonton, dh. biasanya kalo ada undangan nonton film bareng filmnya dokumenter seperti semalem di baluwarti.., kapan pawon nonton bareng,

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP