Melawan Nostalgia
>> Friday, May 23, 2008
Hari-hari terakhir ini—di sekitar Peringatan Seabad Kebangkitan Nasional—, begitu kira-kira kata Goenawan Mohamad, kita seolah tenggelam dalam semacam nostalgia. Masa lalu dihadirkan, dibaca kembali, dan kadang disesali karena ia lewat begitu cepat.
Dalam nostalgia yang pasti melibatkan seleksi itu—karena tak semua keping peristiwa yang dulu terjadi bisa kita ingat—kita cenderung membayangkan masa lalu dengan naif: ia hampir selalu terlihat “lebih indah” daripada kondisi yang sekarang.
Saya mendengar langsung keyakinan macam itu meluncur dari mulut Goenawan Mohamad. Selasa (20/5) lalu, penyair dan esasis itu memang hadir di Solo, tepatnya di Pasar Gede, untuk menyampaikan sebuah pidato kebudayaan.
Mendengar keyakinan macam itu dari GM, saya tak kaget. Sebab, ia telah banyak menuliskan pendirian yang demikian dalam beberapa tulisannya. Meski begitu, pokok pikiran GM itu tetap pantas dielaborasi lebih lanjut guna memunculkan dialog yang lebih panjang karena pidato kebudayaan GM sendiri teramat singkat: dalam taksiran saya, tak sampai setengah jam.
Bagi GM, masa lalu memang sebuah pijakan dalam menatap masa depan tapi ia juga sering menjadi jebakan. Ketika kita hidup dalam kondisi kekinian yang sulit, ada kecenderungan dari manusia untuk kembali mengenang (sebagian) masa lalu yang gemilang lalu menjadikan ingatan atas masa lalu itu untuk “mencemooh” kondisi sekarang yang dianggap tak kunjung baik.
Saya sepakat dengan GM: ada memang kecenderungan dari kebanyakan kita untuk mengingat-ingat kembali masa lalu tiap kali muncul kesadaran bahwa kondisi sekarang ternyata amat susah. Ketika harga BBM dinaikkan oleh Megawati beberapa tahun lampau, ada yang berteriak dengan suara parau bahwa pemerintahan Soeharto “lebih baik” daripada Megawati karena Soeharto tak menaikkan harga BBM.
Saya kira, hampir semua dari kita yang berpikiran jernih bisa tahu bahwa logika dan perbandingan demikian adalah sesuatu yang sepenuhnya menggelikan. Logika “pars prototo” tentu tak sah digunakan untuk menilai “baik-buruk” suatu jaman. Perhitungan yang demikian, kalau memang perlu, harus merupakan perhitungan yang “detail” dan “seimbang”, jadi tak ada sebuah nostalgia yang terlampau meromantisir jaman lampau.
Masa lampau, sekali lagi, adalah sesuatu yang pantas dikenang. Tapi kalau kemudian kenangan terhadap masa lampau—yang kita bayangkan sebagai “kejayaan—justru membuat kita terus-menerus meratapi kondisi sekarang, maka nostalgia lebih baik dihindari.
Nostalgia yang terlampau romantis, kata GM, bahkan bisa membuat seolah-olah masa kini adalah sesuatu yang sepenuhnya tak mengalami kemajuan. Dalam konteks kebangkitan nasional, nostalgia yang keterlaluan kadar romantisnya seperti membuat kita berpikir tak ada yang kita capai selama 100 tahun ini.
Nostalgia, kalaupun ia tak bisa dihindari, harus membuat kita jadi optimis. Maka, saya sepakat dengan seorang kawan yang menulis di blognya dengan sebuah judul yang gagah: “Indonesia Bisa”. Ada optimisme, ada semangat, ada keyakinan bahwa Indonesia akan mampu menempuh berbagai proses kebangsaan dan akan tetap bertahan melewati cobaan.
Bahwa sampai saat ini masih ada persoalan yang belum selesai, bukan berarti kita tak bakal menyelesaikannya. Kita, memakai bahasa kawan saya, sekadar “belum” mampu menyelesaikannya. Kalaupun pada akhirnya kita sampai pada kesadaran bahwa persoalan-persoalan itu tak akan selesai, maka kita mesti tetap tegak dan tetap percaya bahwa hidup yang demikian bukan sesuatu yang sia-sia.
Setidaknya, dalam seratus tahun ada sesuatu yang kita capai, ada sebongkah hasil yang kita panen. Meski hasil itu tak melulu ada dalam sebuah proses yang “besar”. Sebab, proses yang pada awalnya sepele pun bisa jadi berakibat besar dan panjang.
Buku “Di Bawah Bendera Revolusi”-nya Soekarno, misalnya, tak akan hadir kalau tak ada sebuah kaleng rombeng yang berbau pesing. Konon, di penjara Banceuy, Bandung, Seokarno menuliskan pikiran-pikirannya dengan alas sebuah kaleng yang juga ia gunakan sebagai wadah buang air.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana proses yang demikian bisa terjadi. Tapi begitulah: melalui kaleng rombeng itulah buah pikir Soekarno kemudian dikenal dan mampu memengaruhi banyak kalangan. Kaleng rombeng itu pula yang menjadi alas ketika Soekarno menuliskan pledoinya yang terkenal: “Indonesia Menggugat”.
Pledoi yang dibacakan Soekarno dalam 19 kali persidangan yang ia ikuti itu, adalah sebuah traktat dengan bahasa yang menyala-nyala. “Indonesia Menggugat” bahkan konon diterjemahkan ke dalam banyak bahasa Eropa segera setelah ia dibaca pembuatnya.
Nostalgia tentang Soekarno, “Indonesia Menggugat”, dan kaleng rombengnya itu, misalnya, bukanlah sebuah nostalgia yang cengeng. Ia justru membangkitkan kembali semangat kita untuk terus berdaya kreatif. Pada titik itulah nostalgia menjadi sebuah tenaga pendorong, bukan alat meratapi masa sekarang.
Nostalgia yang mendorong adalah nostalgia yang perlu dihidupi. Sebaliknya, nostalgia yang membuat kita meratap dan putus asa adalah nostalgia yang sudah seharusnya dilawan.
Sukoharjo, 22 Mei 2008
Haris Firdaus
4 comments:
makasih tulisannya RIs,. sebab aku agak lupa atau tak konsen dg yang dikatakan GM malam itu, he he . ini adalah kali kedua mendengar GM berbicara/ berorasi, dulu sebelum reformasi aku pernah datang di orasinya yg lesehan , di Santicara Yogya. Dia menyemangati anak-anak muda yg berjuang. (puitri)
Nostalgia yang ideal adalah nostalgia yang dilihat dengan berbagai perspektif dari segala aspek kehidupan (pol,ek,sos,bud,hankam). Karena nostalgia yang hanya menggunakan satu atau dua segi aspek penilaian saja akan membuat si penostalgia membandingkan dua keadaan yang tidak sesuai dengan konteks kejadiannyanya..
Orang yang bijak adalah orang yang bisa melihat dan menghargai tiap-tiap perjuangan, bukan hanya sebuah keberhasilan yang besar, meski itu juga hasil akhirnya..
Semoga anak-anak bangsa kita adalah anak-anak bangsa yang bijak, yang bisa meneladani keberhasilan masa lalu, menghargai perjuangan n prestasi siapapun saat ini, dan bisa memberikan sumbangsih konstruktif untuk bangsa ke depannya...
to: Puitri
sama2, mbak. sayang sekali GM bicara amat singkat. ia tak banyak mengurai pokok pikirannya, mbak. sy bc caping-nya di Tempo Edisi Khusus Kebangkitan Nasional, ternyata apa yang diomongkan GM nyangkut2 dg caping edisi itu. terutama ttg Budi Utomo
tp: lovely dee. saya kira, sangat sulit melakukan nosatlgia yang menyeluruh. maksud sy, spt kata GM, pasti ada bagian dari masa lalu yang kita lupakan. yang terbaik adalah bersikap bijak thdp kenangan yg masih kita ingat
Post a Comment