Fragmen Jalan: Spiral Kebisuan
>> Monday, May 26, 2008
Sebuah jalan bukan sekadar prasarana fisik guna memungkinkan mobilitas manusia terjadi dengan baik. Jalan, pada awalnya, memang ditegakkan untuk tujuan itu. Tapi, dalam perkembangannya, ia berubah jadi sesuatu yang tak sekadar memiliki “sifat fisik”. Akhirnya, manusia harus mengakui bahwa jalan akan jadi sesuatu yang punya pengaruh “mental” pada mereka.
Saya teringat sebuah siang pada Mei 1998. Pada bulan itu, saya masih seorang murid sekolah dasar tingkat akhir. Sekitar pertengahan bulan, Solo—kota tempat di mana saya sekolah—dilanda sebuah huru-hara yang tak mudah dijelaskan, juga diselesaikan. Saya, yang tiap hari pergi dan pulang sekolah dengan bus, menjadi bingung karena pada hari-hari di mana kerusuhan terjadi seluruh bus berhenti beroperasi.
Pada suatu hari ketika kerusuhan tak bisa lagi dihindari, saya dan kawan-kawan akhirnya sadar bahwa kami tak akan menemu satu bus pun yang bisa membawa pulang ke rumah masing-masing. Setelah menghabiskan waktu sia-sia, akhirnya diputuskan untuk pulang berjalan kaki. Bersama-sama.
Pada momen ketika menyusuri jalanan Solo setapak demi setapak itulah, saya—dengan kaca mata seorang kanak yang siap dewasa—merekam bagaimana kerusuhan terjadi. Jalanan yang berubah jadi berkabut karena asap kebakaran, kerikil dan batu yang bertebaran, orang-orang yang tumpah ruah, tentara dan plisi yang kadang tak sanggup berbuat apa-apa, semuanya saya rekam.
Kekerasan seperti mendapatkan tempatnya di jalan-jalan Solo waktu itu. Tak ada manusia yang bisa bertahan tidak histeris atau marah. Semua mereka yang turun ke jalan berubah jadi manusia yang harus larut dalam histeria yang entah timbul dari mana. Saya lihat bagaimana mereka melempar batu ke arah gedung-gedung, menyulut api dan membakar ban, berteriak, menyumpah, serta marah.
Jalan jadi sebuah medan di mana kemarahan jadi gampang tertular. Manusia, yang dalam eksistensialisme dipercaya bisa menjadi makhluk yang otonom, pada momen itu kehilangan individuasinya. Mereka jadi gerombolan yang anonim di mana identitas, keberpihakan, dan sikap seringkali diambil berdasar sebuah provokasi yang tiba-tiba timbul. Pada momen yang demikian, koor jadi sesuatu yang mudah ditemukan.
Kalau mengingat penggalan momen itu, saya sebenarnya tak yakin bahwa mereka yang menghanguskan Solo betul-betul memahami kenapa akhirnya mereka melakukan itu. Saya meragukan itu karena, bagi saya, kerusuhan waktu itu benar-benar terlihat seperti sebuah chaos, bukan sebuah “gerakan” yang diorganisir dengan rapi. Dalam beberapa aksi pembakaran, misalnya, terkadang terlihat sebuah sikap yang berbeda: ada yang mencoba mencegah bakar-bakaran itu, tapi tetap ada yang dengan ngotot menyulut bara.
Pembakaran, penjarahan, atau kekerasan seringkali menjadi besar jutru karena “gerak spontan” massa yang telah berkumpul di jalan. Mereka yang telah sama-sama ada di sana seperti memiliki semacam tautan satu sama lain—meski kebanyakan tautan itu imajiner sifatnya. Dari tautan itulah “spontanitas” lahir dan kelahiran itu hanya mungkin ketika mereka sama-sama ada di jalan, sama-sama saling melihat secara fisik, sama-sama bisa memerkirakan bahwa masing-masing minimal tak ada dalam kepentingan yang diametral.
Di situlah sebenarnya jalan berpotensi menjadi sesuatu yang negatif karena ia menampik rasio. Pada peristiwa yang demikian, ia bisa mengakibatkan sebuah provokasi mendapat sambutan dan sebuah ajakan yang tak rasional sekalipun bisa jadi tampak sebagai sebuah “sabda suci” yang tak kuasa kita tolak. Individuasi manusia dirampas, identitas mereka digeletakkan, dan anonimitas lah yang akan menggejala.
Di jalanan, sebuah “konsensus yang bebas dominasi”—sesuatu yang oleh Habermas dipercaya sebagai “kodrat” praksis komunikasi manusia—tak terjadi. Sebab, “konsensus yang bebas dominasi” itu mengangankan manusia ada pada kondisi eksistensialnya yang paling prima. Dan di jalanan, ketika histeria terbentuk, kondisi eksistensial manusia justru terpuruk pada levelnya yang amat rendah.
Maka itu pula, diskusi dan tukar pendapat tak akan terjadi di jalanan ketika massa sudah berkumpul. Yang ada di sana adalah kesatuan pendapat, kebulatan tekad, dan kemauan untuk terus menyatakan pendapat atau melakukan perbuatan tertentu. Tapi yang perlu diingat, kesemuanya itu tercapai setelah—pinjam pemikiran Sartre—sebuah proses komunikasi yang mengandung “sengketa”.
Dalam proses yang mengandung “sengketa” itulah sebuah “penaklukan” terjadi. Eksistensi seorang pribadi ditundukkan—bukan oleh eksistensi individu lain—tapi oleh sebuah “gemuruh pendapat umum”. Menghadapi sebuah gelombang sikap yang gigantis itu, seorang pribadi biasanya akan jadi “bisu”: ia tak akan mampu menyatakan pendapatnya yang bertentangan dengan massa di hadapannya. Individu itu akan tunduk dan larut.
Saya kira, istilah “spiral kebisuan”—sebuah istilah dalam Ilmu Komunikasi—bisa mewakili fenomena itu. Spiral kebisuan adalah representasi dari sebuah keadaan di mana mayoritas menjadi sebuah tirani dan individu-individu yang mencoba berbeda kehilangan keberanian untuk mengartikulasikan gagasannya.
Keberanian yang hilang itu, tak terlampau berkait dengan tekanan—dalam arti fisik maupun politis—tapi lebih berkait dengan mekanisme psikologis si individu yang secara pelan-pelan merepresi pendapatnya sendiri dan menyesuaikan opininya itu dengan “pendapat umum”. Represi itu bisa terjadi ketika individu memang melihat dengan mata yang terpukau kepada “publik yang umum” itu. “Keterpukauan” itulah yang kemudian membuat dirinya mulai ragu dan akhirnya sama sekali meninggalkan pendapat atau sikapnya sendiri.
Dibandingkan represi fisik atau politis, represi jenis ini jelas lebih sulit untuk diantisipasi, juga diurai secara konkret karena wujudnya yang tak kentara. Tapi, meski tak kentara, represi diri itu jelas akan menjadikan individu, dalam sebuah spiral kebisuan, laiknya sesendok kecil gula yang dimasukkan ke dalam seember besar air lalu “larutan” itu diaduk. Gula yang cuma sesendok itu tak akan punya arti apa-apa: ia tak mengubah air yang seember itu.
Alih-alih memberi perubahan, gula sesendok itu justru lenyap, larut ke dalam sebuah lubang yang tak akan memungkinkan ia ditemukan kembali. Tepat ketika gula itu dimasukkan, lalu “larutan” diaduk, sejarah gula itu sebenarnya sudah menduduki titik akhir.
Saya takut: jangan-jangan jalanan juga akan mengakhiri sejarah kedaulatan manusia. Ketika jalanan diisi tempik sorak yang tanpa makna tapi sebuah sikap mesti ditegakkan saat itu juga, di situ sebenarnya pembicaraan ditampik dan spiral kebisuan akan mewujud.
Sukoharjo, 25 Mei 2008
Haris Firdaus
6 comments:
yang menjadi persoalan bagi masing2 manusia bukanlah BISA atau TIDAK, apa yang dia lakukan MERUBAH KEADAAN. apakah nanti akhirnya LARUT SEPERTI GULA atau MATI SEBAGAI BATU, adalah sesuatu yang masih dalam dunia reka-reka, yang hanya sekedar perlu diraba2, tanpa harus ditempatkan di akhir perjalanan kereta.
jangan lupa, orang yang TEROBSESI PADA SEBUAH AKHIR semacam ini, biasanya hanya punya dua pilihan dalam ujung perjalanannya. MATI, atau GILA.
sementara yang lebih penting bagi seorang manusia, adalah menyadari APA yang sebenarnya harus kita LAKUKAN dalam kehidupan. berjuang, dan terus berjuang. berproses, dan masih berproses. ingat, evolusi belum berhenti.
salam.
bagi sy, tetap bs diprediksi apa yang akan terjadi, bung. buat apa larut dalam gula coba kalo kita dah bisa menebak kalo kita kahirnya nanti akan kayak gitu?
Kabeh membicarakan gula. Aku tak jalan wae, khan enak buat jalan jalan. Jalanan itu saat ini keras karena terbuat dari aspal dan panas karena aspal itu juga dipanasin ndak seperi dulu yang adhem dari tanah gak pelu dipanasin. Jalan itu dibuat untuk berjalan, artinya bukan buat berhenti. Berjalan diatas jalanan tak ubahnya seperti yang diats barusan. Turun ke jalan artinya ketidakpuasan, turun kejalan dengan perasaan tidak buas dan bersatu dengan sifat dan elemen jalanan itu. Jangan harap saat ini seperti dulu yang hanya tapo pepe di alun-alun. Seiap segala sesuatu mengalami siklus, bukan tidak mungkin saat ini kita menuju era MOBOKRASI. Aku mau demo ke jalan buat protes harga rokok yang mahal, temanku demo masih panjoel. kamu ikutan ndak ?
@ Haris:
memang bisa diprediksi mas. cuma kalo kita selalu berbuat berdasar prediksi kita, selamanya keadaan tak akan berubah.
contohnya, buat apa kita selalu tertib, buang sampah pada tempatnya, selalu berhenti ketika lampu merah menyala, dsb dsb, jika kita tau, bahwa tindakan kita akhirnya larut seperti gula dan tidak akan pernah merubah keadaan? dimana sistem pasti akan menggilas kita?
kalo soal aksi2 mahasiswa yang terjadi belakangan ini (yang seringkali harus diakhiri dengan kericuhan), ya maklumlah. gejolak kawula muda. sekedar usaha romantisisme kekuatan mahasiswa. bukan bermaksud apatis,tapi ketika beberapa diantara mereka sudah duduk nyaman di kursi sistem, frase REVOLUSI SAMPAI MATI hanyalah humor kotor yang keluar dari mulut anak kemarin sore yang (dianggap) belum mengenal peradaban. (contohnya dah banyak.. he3...)
@ dhika
demo harga rokok? menarik juga. tapi aku ra melu wae. ketoke jelas kalah.. :)
aduh, gak ngerti deh ngomong apaan..hehe..
komen singkat aku untuk mereka yang bikin kekacauan di jalan2 adalah bahwaq mereka itu gak penting, sama gak penting nya dengan yang mereka teriakkan..
To: lintang lanang.
mas, sebenarnya sy tak banyak berbicara soal apakh kita akan larut atau tidak. subyek yg saya bicarakan adalh sebuah kondisi di jalan di mana massa berkumpul dan kita sebagai individu tak kuasa menolak utk larut bukan karena niat rasional tapi karena kita memang sudah tak mampu melawan. pada titik itu, eksistensi individu kita hilang. itu yg sy bicarakan. kalo kita mengambil sikap secara rasional, kita tak pernah larut. sama sekali tidak.
to: dhika
saya dari dulu heran: kenapa kalo BBM naik pasti banyak demo tapi kalo rokok naik gak pernah ada demo? apakah itu berarti para perokok itu mudah "ditaklukkan"? ha2.
To: ngatini
mereka yang berbuat rusak di jalan justru penting utk kita amati: kenapa mereka bisa sampai kayak gitu. seperti sy bilang: ada mekanisme psikologis yang membuat individu bs larut dalam sebuah gelora massa ketika ia ada di jalan...
Post a Comment