Foto

>> Monday, May 19, 2008




“Potret adalah manifestasi hasrat manusia akan kebadian,” tulis Dony Gahral Ardian, saat memberi kata pengantar untuk terjemahan Bahasa Indonesia dari karya James Joyce, “A Potrait of The Artist as a Young Man”.

Pendapat ini sebangun dengan narasi intrapersonal Sy Parrish, seorang tukang cetak foto dalam Film “One Hour Photo”. Dalam sebuah bagian dari film tersebut yang menggambarkan Parrish mengunjungi sebuah kompleks penjual foto tua, ia menggumam bahwa foto adalah “penahan aliran waktu”.

Foto bagi Parrish—yang lebih sering dipanggil Sy—adalah sesuatu yang akan membawa “pesan untuk masa depan”. Ketika seseorang mengamati foto, sebenarnya ia sedang melakukan semacam interaksi—bahkan mungkin bisa disebut ia sedang melakukan komunikasi—dengan gambar dalam foto itu. Dan Parrish percaya: pesan dalam sebuah foto akan memiliki makna yang sama bagi setiap orang yang memandangnya. Itulah kenapa ia percaya bahwa foto bisa “menghentikan waktu sejenak”, lalu mampu menyimpan pesan—sekaligus makna yang terkandung dalam pesan itu—yang hendak disampaikan oleh sang pembuat foto.

Sy Parrish adalah contoh ekstrem dari manusia yang percaya bahwa foto adalah cermin yang senyatanya dari realitas. Lebih dari itu, Sy yang telah bekerja mencetak foto lebih 20 tahun, kemudian jadi terobsesi pada “kenyataan” yang dikandung dalam foto yang ia jumpai. Dalam foto-foto sebuah kelaurga yang jadi langganannya, Sy seperti menemukan pelarian dari kesendiriannya.

Melihat foto-foto keluarga yang sangat harmonis, Sy jadi berkhayal ia menjadi bagian dari keluarga itu. Ia begitu terobsesi sampai-sampai mengalami ilusi beberapa kali. Obsesi terhadap foto-foto keluarga itu juga membuat Sy menjadi “picik”. Ia berpikir bahwa foto-foto itu merekam seluruh kenyataan yang ada dalam keluarga itu dan tak ada kenyataan yang tak terekam. Maka, ketika ia dapati sebuah kenyataan lain yang “menyimpang” dari deretan foto keluarga langganannya itu, ia jadi tertekan, tak bisa mengendalikan diri, lalu melakukan hal-hal yang mengancam keselamatan orang lain.

Tapi, benarkah foto—seperti pendapat Sy Parrish—benar-benar mampu menggambarkan kenyataan yang senyatanya, sekaligus “menghentikan waktu sejenak”? Seno Gumira Ajidarma menjawab: tidak!. Dalam sebuah tulisannya yang berjudul Kalacitra (2002), Seno mengatakan bahwa yang tertangkap dalam sebuah foto hanyalah citra dari sebuah pemandangan yang ada di depan kamera. Maka, waktu tidak pernah bisa diabadikan dalam foto. Waktu selalu berada di luar foto sehingga penafsiran atas sebuah foto selalu dipengaruhi faktor historis: kapan seseorang memandang foto tersebut.

Sampai di sini, tampak ada dua pemikiran tentang foto. Yang pertama memandang foto sebagai sesuatu yang bisa mengabadikan sebuah realitas, yang kedua memandang foto hanya menangkap citra dari realitas. Yang pertama percaya foto akan membawa pesan sekaligus makna, yang kedua justru percaya bahwa makna atas sebuah foto baru diciptakan saat seseorang memandangnya.

Dua pandangan semacam ini, bagi saya erat kaitannya dengan beda paham dalam soal memahami “komunikasi”. Kalau kita menilik literatur Ilmu Komunikasi, perbedaan itu punya sejarah yang panjang. Sejarah itu, seperti dikatakan John Fiske (1990), dimulai ketika para ilmuwan komunikasi berbeda pendapat dalam memandang proses komunikasi. Mereka kemudian terbagi menjadi dua mazhab besar.

Mazhab pertama, memandang proses komunikasi sebagai sebuah “transmisi pesan”. Para ilmuwan dalam mazhab ini menganggap bahwa komunikasi adalah sebuah proses yang dengannya seseorang memengaruhi orang lain. Para ilmuwan yang ada dalam aliran ini kemudian tertarik meneliti bagaimana pengirim pesan mengkonstruksi (encode) pesan dan bagaimana penerima menerjemahkan (decode) pesan tersebut.

Mereka juga tertarik meneliti bagaimana sebuah komunikasi mampu mencapai hasil yang efisien dan akurat. Jika efek dari proses komunikasi tak sesuai harapan, para ilmuwan di barisan ini cenderung mencari titik masalahnya dalam tahapan-tahapan yang dilalui dalam komunikasi. John Fiske menyebut mazhab ini sebagai “Mazhab Proses”.

Mazhab kedua adalah barisan ilmuwan yang memandang komunikasi sebagai “produksi dan pertukaran makna”. Pada barisan ini, berdiri ilmuwan-ilmuwan yang percaya bahwa komunikasi berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam menghasilkan makna.

Kalau dalam mazhab pertama makna adalah sesuatu yang melekat dalam pesan, dalam mazhab kedua makna merupakan sesuatu yang dibangun oleh seseorang ketika ia berinteraksi dengan sebuah pesan. Pada pemikiran mazhab kedua yang disebut John Fiske sebagai “Mazhab Semiotika” ini, makna bukanlah sesuatu yang secara inheren melekat pada pesan.

Sebuah pemotretan bisa dianggap sebagai sebentuk komunikasi, dan oleh karenanya foto juga bisa dianggap sebagai sebuah teks hasil komunikasi. Orang-orang yang mengikuti pemikiran “Mazhab Proses” dalam Ilmu Komunikasi, akan menganggap foto sebagai sebentuk benda yang mampu mengabadikan kenangan dengan teknologi tertentu. Mereka yang berada dalam hegemoni pemikiran ini, akan berharap bahwa foto bisa merepresentasikan kenyataan sebenar-benarnya.

Isi pesan fotografi, menurut Roland Barthes, secara definitif adalah realitas harfiahnya: sesuatu yang dipotret itu. Tapi dalam pemaknaan sebuah foto, telah terjadi reduksi, sekaligus transformasi.. Barthes, tentu saja, adalah bagian dari “Mazhab Semiotika”. Ia murid dari Ferdinand de Saussure, salah seorang pengembang semiotika atau ilmu tentang tanda.

Dalam pemikiran Barthes tentang foto, seperti ada dualisme: di satu sisi, realitas itu benar-benar “terekam” dalam foto, tapi di sisi lainnya realitas itu tak pernah benar-benar bisa ditangkap oleh manusia yang sedang memandang potret itu. Pada akhirnya, manusia mesti melakukan penafsiran untuk memaknai sebuah gambar yang terekam dalam sebuah potret. Dalam pemaknaan itulah, realitas akan terdistorsi: yang asli tak akan bisa ditangkap.

Saya kira, kalau kita percaya pada Barthes, pernyataan Donny Gahral harus ditambahkan: “Potret adalah manifestasi hasrat manusia akan kebadian yang selalu gagal.”

Sukoharjo, 19 Mei 2008
Haris Firdaus
.

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP