Fragmen Jalan (2): Pertunjukan Kuasa

>> Friday, May 30, 2008




Ketika Herman Willem Daendels menjabat sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, saya bayangkan ia tahu bahwa jalan adalah sebuah arena yang sangat tepat untuk menunjukkan kuasa. Maka dari itu, tak mengherankan bila pada awal ia mulai tiba di Pulau Jawa niatan untuk membangun jalan telah terbersit di otaknya.

Meski pemikiran untuk membangun jalur transportasi sepanjang Pulau Jawa itu juga dilandasi urusan “pragmatis”—untuk memertahankan Jawa dari serangan Inggris—tapi saya kira Daendels juga sedang berusaha memamerkan seberapa berkuasanya dia.

Pertunjukan kuasa itu pun sudah ia gelar sejak awal: ia menyuruh para penguasa lokal memobilisasi rakyat untuk membangun jalan dengan panjang yang telah ditentukan. Apabila para penguasa lokal itu tak bisa memenuhi target yang ditetapkannya, mereka dan para pekerja mereka akan dibunuh dan kepala mereka akan digantung di pucuk-pucuk pohon sepanjang jalan.

Start awal Daendels yang tak kenal ampun itu jelas menunjukkan betapa ia tak hanya sedang membangun jalan. Di hadapan para penguasa lokal dan rakyat jelata, ia sedang berusaha memerlihatkan seberapa kuasa yang ia miliki. Tangan besi Daendels memang efektif: hanya dalam tempo setahun, jalan sepanjang 1.000 km yang membentang antara Pantai Anyer dan Panarukan itu rampung.

Dalam tempo setahun pembangunannya, Jalan Raya Pos—nama jalan itu—telah memakan ribuan korban. Sebuah sumber Inggris menyebut korban pembangunan itu sebanyak 12.000 nyawa. Jumlah itu tentu saja tak mencerminkan keseluruhan korban. Jumlah korban yang tak tercatat dipastikan berlebih.

Dalam catatan Pramoedya Ananta Toer, ketika pembangunan jalan itu sampai wilayah Sumedang, dan harus menembus daerah yang sangat berat, jumlah korban yang tewas ditaksir sampai 5.000 orang. Kematian massal itu terjadi karena beratnya medan tak sebanding dengan peralatan yang dimiliki para pekerja. Peralatan yang terlampau sederhana membuat pembangunan jalan itu memakan banyak sekali korban.

Saya kira, itulah kenapa Pram menyebut pembangunan jalan itu sebagai sebuah “genosida”. Dan genosida, saya kira, selamanya akan merupakan sebuah pertunjukan kuasa.
***

Pertunjukan kuasa di jalan bukan hanya soal kekuasaan yang secara fisik ditampakkan di sana. Pada masa orde baru, kuasa yang lebih abstrak juga nampak dalam pengaturan soal jalan oleh pemerintah, terutama dalam soal penamaan jalan. Orde baru yang ditegakkan dengan kuasa militer kebanyakan menamai jalan raya di Indonesia dengan nama para perwira militer. Sebut saja Ahmad Yani, Slamet Riyadi, Urip Soemoharjo, dan banyak lagi.

Pada proses penamaan itu, berlaku sebuah kuasa simbolik. Melalui strategi yang demikian, orde baru sedang mengoperasikan sebuah wacana untuk mendominasi pengetahuan masyarakat. Meminjam Foucault, pengetahuan tentang nama jalan itu digunakan untuk menguasai kesadaran masyarakat agar berpikir bahwa militer adalah golongan yang paling berpengaaruh dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Bagaimanapun, akhirnya jalan raya menjadi sebuah perbenturan kuasa-kuasa tertentu dari pihak-pihak yang terkait dengannya. Di jalan raya, akan kita temukan banyak kepentingan yang dibenturkan, kuasa yang saling ditampakkan, dan pengaruh yang saling disebarkan.

Muhidin M Dahlan pernah membuat sebuah analisa menarik dalam soal peralihan nama Jalan Gejayan menjadi Jalan Affandi di Yogya. Bagi Muhidin, dalam peralihan nama itu, pemerintah telah berlaku sebagai penguasa tunggal yang boleh memberi makna atas jalan itu sebab tak ada form penentuan pendapat yang disebar dan pemerintah pun tampaknya tak banyak memberi argumen soal itu.

Apa yang menarik adalah kenyataan bahwa Affandi adalah seniman yang juga menjadi aktivis politik PKI. Affandi bahkan sempat menjadi anggota parlemen mewakili partai komunis itu. Kenyataan itu tentu menarik karena ketakutan atas komunisme yang selama ini menghantui benak sebagian besar masyarakat kita ternyata tak menampak dalam soal ini. Peralihan itu ternyata mulus-mulus saja dan bisa dibilang tak menimbulkan pro kontra yang menghebohkan.

Barangkali kejadian macam ini bisa terjadi karena ingatan kolektif masyarakat kita terhadap Affandi lebih banyak berupa ingatan tentang maestro seni lukis dan bukan sebagai aktivis PKI. Basuki Resobowo, pelukis Lekra yang juga rekan Affandi di organisasi itu, bahkan menyebut Affandi sebagai “manusia borjuis yang hanya menggebrak dan berteriak di lingkungan borjuisnya sendiri”.

Pada akhirnya, Basuki menganggap Affandi bukan sebagai “manusia politik”. Kalaupun ia berpolitik, maka pikirannya terlampau naif. Affandi, menurut Basuki, tak sampai berpikir bahwa perjuangan politik akan sampai pada tahap di mana perombakan terhadap adalah sebuah kemestian yang tak bisa ditolak—sesuatu yang diyakini oleh orang-orang komunis dengan amat bersemangat.

Kenyataan bahwa Affandi bukan seorang “propagandis yang melukis” membuka kemungkinan namanya bisa diabadikan sebagai sebuah jalan. Di samping itu, di masa setelah orde baru runtuh, jalan memang menjadi arena di mana banyak kuasa tumpah ruah untuk saling unjuk gigi. Dan contoh paling gampang dari asumsi ini adalah demonstrasi.

Jalan-jalan di banyak kota besar di Indonesia sepuluh tahun belakangan memang tak asing dengan unjuk rasa. Di masa ini, melihat demonstrasi bukan sesuatu yang mewah, ia bahkan bisa lebih membosankan dibanding topeng monyet. Mereka yang berdemonstrasi di masa ini juga mengalami perluasan yang dulu barangkali tak terbayangkan.

Kini, hampir tak ada lagi kata tabu untuk demonstrasi. Para guru dan bahkan kepala desa—dua golongan yang bisa dikatakan tak mengenal kata “demonstrasi” pada saat kuasa orde baru masih berjaga—saat ini telah ikut turun ke jalan, ikut berebut kuasa bersama mahasiswa, petani, dan buruh.

Akhir-akhir ini, menjelang dan setelah harga BBM dinaikkan, kita melihat bagaimana demonstrasi jalanan menjadi sebuah pertunjukan kuasa yang kadang berakibat brutal. Negoisasi yang tak selalu berhasil membuat jalanan akhirnya dipenuhi dengan kekerasan yang sungguh patut disesalkan. Dua kuasa yang tak berhasil mencapai negoisasi dan tak berhasil meredam dirinya masing-masing memang rentang bertabrakan dalam sebuah pertemuan fisik yang memakan korban.

Sukoharjo, 29 Mei 2008
Haris Firdaus

4 comments:

Unknown May 31, 2008 at 11:56:00 AM GMT+8  

Politik di Indonesia memang gak karuan butuh perbaiakan dan reformasi lagi.
oiya, saran watashiwa pasang widget infogue.com di blog anda seperti di blog watashiwa, hehe biar nambah traffiknya:
http://www.padhepokananime.blogspot.com/
artikel anda ku submit di:
http://politik.infogue.com/fragmen_jalan_2_pertunjukan_kuasa

Anonymous June 1, 2008 at 11:32:00 AM GMT+8  

politik di manapun selalu butuh perbaikan. sebab ia adalah tempat di mana dosa dan salah diakui....

SpDt June 2, 2008 at 7:58:00 PM GMT+8  

lagi lagi cerita jalan, Jalan menurut saya (jalan apapun itu) adalah sarana untuk mencapai tujuan. jadi kalo mo mendapatkan segala sesuatu harus ada jalan.Gak salan kalo kekuasaan ditentukan salaj satunya dengan jalan , seperti si jendral maniak itu mbikin jalan. Kekuatan juga salah satunya ditentukan dengan jalan, seperti kekuatan ekonomi sebuah negara atau daerah, ditentukan juga oleh yang namanya jalan. iyo ra ? Mau demo juga harus ke jalan dulu, besok selasa ikut demo gak ?

Haris Firdaus June 2, 2008 at 10:17:00 PM GMT+8  

To: mata telinga.
sy gak ikut demo, mas. ah, apa jalan gak ada fungsi lainnya selain buat sebuah kuasa?

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP