Membela Kemanusiaan Universal
>> Monday, June 2, 2008
Ketika sejumlah anggota laskar yang memakai label Islam menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) pada Minggu (1/5) lalu di Monas, mereka sebenarnya tak hanya menyerang orang-orang yang mereka anggap sebagai “pembela yang kafir” saja. Penyerangan itu sekaligus sebuah tusukan yang amat tajam bagi dua hal lainnya: Pancasila dan cita-cita kemanusiaan yang universal.
Saya kira, ada ironi yang amat pahit ketika penyerangan itu terjadi: di hari lahirnya sendiri, Pancasila justru “dikhianati”. Di negara kita yang tengah diimpit kesulitan ekonomi dan kegagapan mencari ideologi yang mampu memberi inspirasi, penyerangan itu akan makin terasa pahit. Apalagi, ketika para penyerang itu justru memakai agama sebagai dasar untuk menyerang sesama manusia yang kebanyakan juga se-agama dengan mereka.
Meski begitu, saya tentu saja tak yakin bahwa penyerangan itu—dan beberapa insiden sebelumnya—adalah sebuah pembenar bahwa agama telah kehilangan kemampuannya untuk membela manusia tanpa memandang bulu. Sebab, meminjam Jürgen Habermas, pada mulanya cita-cita kemanusiaan universal secara potensial sebenarnya justru ada dalam agama-agama.
Bisa dikatakan pula bahwa agama-agama itulah yang membuka wawasan manusia mengenai martabat mereka sebagai manusia, dan bukan hanya sebagai warga suku, kelompok, atau kelas sosial tertentu. Ketika agama bicara tentang Yang Illahi, secara tak langsung mereka akan bicara tentang manusia sebagai manusia, bukan manusia sebagai anggota suku atau kelas. Dalam pembicaraan tentang Tuhan, agama-agama memang tak membedakan manusia berdasar kategori kesukuan, kebangsaan, atau apapun.
Tapi kesadaran macam ini adalah sebuah kesadaran yang masih potensial. Artinya, ia mesti diberi bentuk dan diaplikasikan secara real dalam tataran dunia fisik dan norma sosial. Yang disayangkan, seperti dikatakan Frans Magnis Suseno, pada saat agama-agama itu mula-mula datang, ia belum berhasil merubah struktur hukum, sosial, dan moral masyarakat sehingga kesadaran manusia sebagai manusia—yang tak terkotak-kotak dalam kategori apapun—belum bisa terwujudkan.
Ketidakberhasilan macam itulah yang membuat sejarah kemanusiaan universal tidak dimulai dari ajaran agama tapi dari sesuatu yang justru sekuler: Humanisme. Frans Magnis menyebut bahwa secara historis cita-cita kemanusiaan universal baru berkembang setelah keutuhan “masyarakat agamis” Abad Pertengahan membuka diri pada Humanisme.
Pada abad 13, Humanisme sebagai sebuah gerakan rohani-ilmiah muncul pertama kali di Italia dan berusaha mengembangkan cita-cita kemanusiaan dan pendidikan baru. Yang khas dari gerakan ini adalah ia mengambil inspirasi dari zaman Romawi dan Yunani klasik. Maka, gerakan ini kemudian juga diberi nama sebagai “Rennaisance”—sebuah “kelahiran kembali”.
Rennaisance menimba kembali khazanah kebudayaan Romawi dan Yunani sebelum sejarah manusia mengenal kekuasaan agama-agama samawi. Dengan kata lain, gerakan ini justru ingin berpaling pada sebuah jaman—yang di Abad Pertengahan diberi label sebagai—“yang masih kafir”.
Rennaisance ini pula yang kemudian menjadi pendorong bagi munculnya Aufklarung, sebuah masa pencerahan yang pertama kali ditandai oleh perpecahan kesatuan agama karena munculnya gerakan Reformasi Protestan yang secara terbuka bertentangan dengan Gereja Katolik. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi kesadaran bagi manusia untuk berani berpikir secara rasional dan tak hanya mengandalkan otoritas agama sebagai penentu sebuah kesahihan.
Budaya abad 17 dan 18 di Eropa ditandai oleh cita-cita Aufklarung untuk mencerahkan manusia dengan membebaskannya dari takhayul, tradisi, dan keterikatan dogamtis. Zaman ini pula yang kelak melahirkan berbagai ragam paham yang mendasarkan diri pada kekuatan manusia dalam mencari kebenaran: rasionalisme, empirisme, dan individualisme. Aliran-aliran macam inilah yang kemudian melahirkan ideologi-ideologi sosial politik pertama di Eropa.
Seabad kemudian, sejarah manusia dihadapkan pada ideologi-ideologi politik besar seperti nasionalisme, kapitalisme, sosialisme, marxisme, dan lain sebagainya. Munculnya paham-paham besar itu adalah masa di mana manusia mulai dihadapkan pada paradigma baru dalam memandang kemanusiaan. Kalau sebelumnya pemisahan antara “kami” dan “mereka” masih teramat kental, pada zaman ini pemisahan yang demikian mulai luntur.
Di akhir abad 20, sekali lagi meminjam Frans Magnis, kita dihadapkan pada sebuah situasi di mana masyarakat berubah secara drastis: dari masyarakat yang agamis khas Abad Pertengahan menjadi masyarakat yang sekuler dan pluralis. Selain itu, paradigma dalam memandang kemanusiaan juga semakin berbeda: manusia mulai mantap untuk memakai “martabat manusia universal” sebagai cita-cita bersama.
Namun ada ironi ganda di zaman itu yang kini semakin terasa. Pertama, perubahan-perubahan dalam sejarah kemanusiaan itu justru diperjuangkan oleh aliran dan ideologi di luar agama. Aliran dan ideologi itu bahkan tak jarang berada dalam posisi yang berlawanan dengan agama.
Kedua, kenyataan yang kita jumpai saat ini adalah ideologi-ideologi tersebut sudah makin mundur. Sebaliknya, agama tetap masih bertahan dan dalam beberapa waktu terakhir cenderung menguat. Ironi kedua inilah yang kemudian dengan mantap ditegaskan oleh Daniel Bell ketika ia mengatakan bahwa “zaman ideologi sudah berakhir”.
Ketika ideologi-ideologi besar itu mundur, beberapa kelompok mulai berpaling kembali pada agama dan beberapa praktek kepercayaan irasional. Dalam banyak kasus, keberpalingan itu adalah sebuah sikap yang cenderung pada primordialisme, fanatisme, atau fundamentalisme. Ketiganya berarti pertentangan yang amat tajam dengan “martabat manusia universal” yang coba diperjuangkan manusia sejak Humanisme muncul di abad 13.
Laskar-laskar Islam yang banyak bertebaran di Indonesia adalah contoh paling gamblang tentang keberpalingan itu. Model keberagamaan mereka adalah sebuah praktek yang dalam banyak kasus lebih sering bertabrakan dengan kepentingan kemanusiaan secara umum. Kekerasan dan kengototan yang sering terdengar sebagai sesuatu yang irasional itu tentu merupakan pertanda bahwa apa yang mereka perjuangkan secara tak langsung justru menjauh dari suara zaman untuk mencapai “martabat manusia universal”.
Klaim kebenaran yang tertutup, pandangan yang cenderung melakukan simplifikasi terhadap segala persoalan, dan merasa berhak melakukan penghakiman terhadap “mereka yang lain” adalah ciri dasar yang banyak dianut laskar-laskar keagamaan itu. Bagi mereka, model keberagamaan yang demikian adalah sesuatu yang final dan tak bisa diganggu gugat tanpa memedulikan model tersebut justru kontraproduktif dengan semangat ajaran agama mereka.
Tapi saya yakin bahwa model yang demikian bukan satu-satunya pilihan. Akan tetap ada umat beragama yang menggunakan agamanya sebagai instrumen mencapai kemanusiaan universal. Bagi mereka, agama adalah sebuah ruh yang akan meniupkan sebuah semangat untuk menenggang rasa atas perbedaan, dan tak membuat sebuah perbedaan sebagai alasan untuk tak membangun kerja sama.
Sampai saat ini, saya masih tetap yakin bahwa “kemanusiaan universal” adalah sebuah cita-cita yang masih harus dilanjutkan. Di balik tiap kekuasaan yang mencoba menghadangnya, selalu tersembunyi sebuah peluang untuk melakukan resistensi. Sebab—seperti dikemukakan Michael Foucault—sebuah kuasa tak pernah bersifat total, ia selalu membuka kemungkinan untuk dilawan dengan sebuah kuasa baru.
Sukoharjo, 2 Juni 2008
Haris Firdaus
7 comments:
karena aku non-muslim, aku berharap banyak mendengar komentar dari kawan-kawan muslim sendiri... kalianlah yang seharusnya bersikap... aku sebagai orang yang sadar sebagai minoritas hanya berharap semua berada dalam damai...
one comment aja. takut ada salah paham.
ISLAM CINTA PERDAMAIAN, mari lihat Islam bukan dari penganutnya. tapi ajarannya yg luhur.
itu karena muslim indonesia belum mukmin kali!
Kapan Indonesia mau maju lha wong pendidikan politik yang diajarkan pemerintah kurang. Rakyat cuma coblos trus ngapain? Gak tau Pasrah itu mungkin yang dilakukan. Modal kebangkitan bangsa adalah partisipasi rakyat dalam pemerintahan baik itu monitoring maupun pemilihannya.
artikel anda aku submit di:
http://politik.infogue.com/membela_kemanusiaan_universal
To: dwitra
minoritas juga berhak ngomong. sangat berhak. sy sbg muslim sama sekali tak setuju dengan kekerasan atas nama apapun apalagi atas nama agama saya.
To: Roe
secara ajaran emang Islam cinta damai. tapi tetap harus dibahas dan dicari solusi kenapa ajaran yg damai itu bisa membikin penganutnya bertindak kekerasan.
To: Ndoro Saten
barangkali begitu. tapi yg jelas, penafsiran sempit atas agama emang berakibat pada kengototan yang bs berakibat kekerasan.
To: Naruto Onepieces
pemerintah harusnya lebih tegas dlm soal ini. negara tak boleh kalah dlm soal kekerasan yg dilakukan sekelompok warganya. sy kira, ketegasan itu adlh bukti pendidikan politik yg palingbagus
FPI jangan rusuh donk. jadi takut tinggal di jakarta euy..
to: uud
semoga FPI mendengarmu. he2
Post a Comment