Seksualitas dan Tubuh yang Membebani

>> Friday, May 16, 2008



Menonton pementasan Teater SOPO FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS) yang bertajuk “Tompel”, Rabu (14/5) di Aula FISIP UNS, saya seperti disentakkan: tubuh, juga seksualitas, ternyata bisa menjadi entitas yang amat membebani. Dalam pentas yang diadaptasi dari sebuah cerpen yang berjudul sama itu, dikisahkan bagaimana seorang perempuan menjadi korban dari “tubuh dan seksualitasnya sendiri”.

Ningtyas, tokoh utama dalam pentas itu, adalah istri yang tersiksa oleh tompel yang ada di dadanya. Ketersiksaan itu sendiri terjadi karena tiap kali bercinta, suaminya tak mau memandang dan menyentuh bagian dadanya sama sekali. Warman, suaminya, bahkan tak membiarkan Ning membuka bajunya. Agaknya, Warman terganggu oleh tompel yang ada di dada istrinya hingga tiap kali bercinta ia tak mau melihat tompel itu.

Ning tentu saja tak bisa menerima hal itu. Ia merasa tersiksa dan bahkan merasa “diperkosa” oleh suaminya sendiri. Ning ingin suaminya menerima kondisi tubuhnya seperti ia yang juga menerima kondisi seksualitas Warman yang ternyata mandul. Agaknya, Ning membayangkan cinta bisa mengatasi—dengan amat mudah—persoalan seksualitas. Tapi agaknya, yang terjadi tidak demikian.

Ning adalah tipikal perempuan yang terperangkap bukan semata-mata oleh tubuh dan seksualitasnya sendiri namun juga oleh penafsiran tubuh dan seksualitas miliknya oleh suaminya. Apa yang menyiksa Ning bukanlah semata-mata karena tompel itu tapi karena suaminya yang menafsirkan bahwa tompel itu adalah sebuah “pengganggu” dalam hubungan seksualitas yang wajar.

Pada titik itu, Ning sebenarnya terperangkap menjadi subjek yang tak berdaya. Ia didefinisikan sebagai sosok yang tak memiliki daulat atas tubuh dan seksualitasnya sendiri. Penilaian Ning atas dirinya, pada akhirnya, harus didasarkan pada penilaian suaminya atas dirinya sendiri. Di sinilah perempuan dengan baik dilukiskan sebagai korban: bukan sebagai korban kekerasan fisik atau ekonomi tapi sebagai korban suatu jenis kekerasan yang saya sebut sebagai “kekerasan tafsir”.

Di Indonesia, “kekerasan tafsir” masih terus terjadi memang. Tubuh dan seksualitas perempuan di negara ini, masih banyak yang ditafsirkan terlepas dari daulat perempuan sendiri. Tubuh dan seksualitas perempuan sering dinilai berdasar pandangan laki-laki, kepentingan ekonomi, kekuasaan negara, atau kepentingan pranata sosial lainnya. Karena itulah, dalam beberapa kasus, perempuan bukan pemilik sah atas tubuhnya sendiri.

Helene Cixous, seorang novelis dan feminis dari Prancis, pernah menyebut bahwa bentuk pemikiran dualistik yang berdasarkan oposisi dan hierarki adalah salah satu pangkal tolak persoalan tubuh perempuan. Banyaknya pemikiran tentang oposisi yang ada dalam masyarakat, seperti “budaya-alam”, “kepala-hati”, “bentuk-isi”, dan lain sebagainya, pada akhirnya juga berpengaruh pada posisi perempuan-laki-laki.

Terpengaruh oleh pola pikir dualistik yang oposisioner dan hierarkis, perempuan dan laki-laki akhirnya didudukkan pada dua singgasana yang sering bertabrakan. Seperti pola dualistik yang selalu melihat adanya penindasan oleh satu pengertian terhadap pengertian lainnya, pemikiran dualistik tentang perempuan dan laki-laki juga melihat bahwa dalam hubungan keduanya penindasan juga terjadi.

Dalam masyarakat patriarki, kata Cixous, perempuan adalah “Yang Lain” yang dibutuhkan untuk membentuk dan mengakui identitas (laki-laki), tapi senantiasa ia dianggap mengancam. Perbedaan seksual antara laki-laki dan perempuan bahkan tak jarang dikunci dalam struktur kekuasaan di mana perbedaan atau “Yang Lain” itu ditoleransi hanya bila ditindas.

Untuk melawan penindasan itu, Cixous memberi alternatif yang menjadi khas: menulis feminin. Tulisan, dalam kerangka pikir Cixous, ternyata memiliki arti yang amat siginifikan karena karya tulis adalah sebuah entitas yang bisa berkontribusi terhadap pembentukan identitas dalam masyarakat.

Tulisan yang dihasilkan dari praktek menulis feminin, menurutnya, adalah tulisan yang menolak kategori identitas yang stabil dan pasti. Praktek menulis feminin adalah praktek yang tidak takut menciptakan subjektivitas yang jamak dan berubah-rubah. Dalam kasus relasi perempuan—laki-laki, praktek menulis feminin adalah sebuah usaha menggoyang identitas perempuan dan laki-laki yang sudah mapan dalam struktur masyarakat.

Identitas—yang pada akhirnya ikut mendefinisikan peran dan posisi—perempuan atau laki-laki yang sudah mapan dalam masyarakat harus terus-menerus dirongrong agar ketidakadilan yang terjadi karena identitas itu juga ikut luntur.

Yang unik, selain melalui tulisan, Cixous juga menganggap teater sebagai alternatif untuk melakukan rongrongan identitas itu. Teater dianggap bisa digunakan untuk melakukan eksplorasi terhadap subjektivitas dan makna ragawi. Selain itu, teater adalah sebuah ruang puitis yang masih bertahan hidup dalam bentuk-bentuk ritual publik yang dapat diakses.

Sama dengan tulisan, Cixous juga menggunakan teater sebagai ruang untuk mengembangkan kritiknya terhadap bentuk-bentuk subjektivitas dan representasi yang mendominasi kehidupan kontemporer. Di masa lalu, teater di Eropa adalah sebuah pertunjukan yang secara konsisten mendudukkan perempuan dalam kursi pesakitan sebagai sekadar objek. Tokoh-tokoh perempuan dalam teater itu hanya berfungsi sebagai cermin dari heroisme laki-laki.

Dalam teater modern seperti Superman atau Spiderman, hal yang sama juga terjadi. Perempuan dalam film-film superhero adalah mereka yang lemah, tidak berdaya, dan hanya bisa diselamatkan saat sang laki-laki tiba dengan pertolongan. Perempuan pada akhirnya menjadi amat tak berarti bila ia dilepaskan dari laki-laki.

Pentas “Tompel” adalah suara yang lain. Ia mencoba mengembangkan gugatan terhadap subjektivitas yang mendominasi kehidupan kita sehari-hari meski gugatan itu hanya berwujud sedu sedan di depan cermin dan pertengkaran rumah tangga. Gugatan-gugatan yang privat itu, bisa saja menjadi cermin bahwa dalam konteks yang lebih luas gugatan macam itu mungkin saja timbul.

Meski bukan sebuah pentas yang luar biasa, “Tompel” dengan baik telah menunjukkan bahwa seksualitas dan tubuh pada akhirnya bisa jadi beban dan perempuan yang terbebani tubuh bahkan bisa menderita kegilaan.

Sukoharjo, 15 Mei 2008
Haris Firdaus

3 comments:

Kritik Sastra May 19, 2008 at 11:34:00 AM GMT+8  

Bagi saya, dengan kacamata dekosntruksi, Ning malah memliki hegemoni kuat terhadap suaminya. Jdi, bukan sebatas penerimaan 'pemerkosaan' atas dirinya. Tidak lain, hal ini disebabkan karena NIng telah berhasil membagun pandangan tentang seksualitas perempuan. Bahwa perempuan yang baik, ialah tidak bertompel. Kemampuan membangun paradigma seksual kepada suaminya itulah yang menajdi kekuatan Ning atas patriakal.

Haris Firdaus May 19, 2008 at 9:10:00 PM GMT+8  

pada akhirnya, ning memang melawan. tapi perlawanan itu bagaimanapun diawali dari posisi sebagai korban.

infogue July 25, 2008 at 11:33:00 AM GMT+8  

Artikel di blog Anda sangat menarik dan berguna sekali. Anda bisa lebih mempopulerkannya lagi di infoGue.com dan promosikan Artikel Anda menjadi topik yang terbaik bagi semua pembaca di seluruh Indonesia. Telah tersedia plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
http://18-thn.infogue.com/seksualitas_dan_tubuh_yang_membebani

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP