Perempuan dan Dunia yang Tak Ajeg

>> Wednesday, March 12, 2008





Sardono W Kusumo, dalam sebuah wawancara dengan Majalah Matra, pernah menyebut bahwa “obsesi feminisme itu nggak tepat”.

Apakah dia seorang pembela semangat usang patriarki kalau begitu?

Saya tak tahu secara pasti. Tapi saya kira tidak. Sebelum melontarkan pernyataan itu, Sardono menyebut bahwa wanita dan laki-laki mesti dilihat sebagai totalitas: keduanya tak boleh disekat berdasar kategori yang membedakan mereka secara tajam dan muka lawan muka. Meski keduanya jelas berbeda, tapi ketika memandang wanita tak melulu harus dibedakan secara dikotomis dengan si makhluk berpenis yang menjadi “lawannya” itu.


Sardono juga mengatakan bahwa baginya wanita itu “sakti”. Hubungannya dengan laki-laki selalu ada dalam hubungan yang lebih dari sekadar relasi manusiawi, psikologis, atau fungsional belaka. Pergumulan keduanya juga mengandung dimensi “kelembutan”. Dan di situlah letak yang disebut “sakti” itu.

Sulit memang memahami jalan pikiran Sardono soal wanita ini. Cuma, kalau kemudian kita menilik latar belakangnya sebagai penari—yang sangat dipengaruhi oleh penghayatannya yang intens terhadap alam, juga hal-hal “meditatif” yang seringkali tak terjelaskan, semacam sesuatu yang di luar nalar—kita akan tahu bahwa penghayatan Sardono atas perempuan adalah penghayatan yang memang sedikit “mengatasi nalar”.

Totalitas yang dimaksud Sardono, supaya kita bisa memahami wanita dan laki-laki tidak secara dikotomis, pada penafsiran saya mirip dengan konsep dan pandangan dari masyarakat Jawa yang melihat dunia sebagai harmoni, sebagai semacam tata yang sudah lengkap dengan masing-masing perangkat.

Maka, wanita dan laki-laki, sebagai sebuah perangkat dalam harmoni itu, tentu tak bisa dilawankan secara dikotomis: keduanya memang berbeda, tapi beda itu memang “disengaja” guna mencapai harmoni. Dilihat dari sudut totalitas, beda kedua makhluk itu menjadi “tak berarti” lagi, terutama karena masing-masing mengemban misi atau fungsi tertentu.

Justru di situlah Sardono bersimpang jalan dengan feminisme—betapapun istilah ini masih terlampau luas dan umum. Sardono memandang bahwa wanita adalah sebuah “partikel yang aktif” dari sononya, dan barangkali ia juga menganggap tak akan ada apapun di dunia ini yang bisa mencegah wanita mewujudkan “kodratnya” itu.

Feminisme—sekali lagi istilah ini memang saya pakai dengan sedikit grambayang—justru memandang wanita baru sekadar “berpotensi” menjadi “partikel yang aktif” tapi keburu dihambat oleh banyak hal di sekitarnya ketika ia hendak mewujudkan “kodratnya” itu.

Pandangan feminisme, yang melihat begitu banyak hambatan yang menghalangi keaktifan wanita, oleh Sardono disebut sebagai semacam “kesempitan pandangan”. Para feminis selalu memperhadapkan perempuan dengan laki-laki, sehingga muncullah banyak problematik dalam hubungan keduanya. Kalau saja mereka bisa melihat perempuan dalam sudut pandang yang lebih luas, yaitu sebagai bagian dari kehidupan yang menyeluruh, tentu soal pelik tentang perempuan dan laki-laki bisa diselesaikan.

Sardono memang tak selamanya tepat, sebagaimana kaum feminis juga banyak yang luput. Tapi, terlepas dari soal benar-salah, ada yang lebih mendasar buat dikemukakan lebih dulu, yaitu kenyataan bahwa “pandangan dunia” Sardono dengan “pandangan dunia” yang melandasi feminisme memang berbeda.

Sardono seorang Jawa yang menghayati dunia berdasar totalitas: manusia beserta alam fisik hanyalah bagian kecil dari totalitas hidup yang kompleks. Dilandasi cara pandang yang demikian, maka orang Jawa yang “baik” adalah orang yang mampu memandang secara luas kehidupan ini, sekaligus mampu melakukan adaptasi dirinya sebagai bagian dari “alam kehidupan yang maha luas”.

Feminisme, yang muncul di sebuah kultur yang jauh beda dengan Jawa, justru berlandaskan pada pandangan tentang manusia sebagai subyek dalam kehidupan. Kehidupan, diartikan, dipahami, dan disikapi, semata-mata demi manusia itu sendiri. Barangkali, mereka tak akan peduli soal totalitas, soal harmoni, dan lain-lain yang menyangkut kehidupan yang oleh budaya Jawa dianggap “luas” itu. Kehidupan, oleh karena dinilai dan ditafsir sebagai “hanya” bagian dari manusia, akhirnya memang diterima sebagai sesuatu yang “sempit”.

Manusia dinilai berdasar relasi mereka dengan manusia lain, bukan dalam “totalitas kehidupan”, sebab pada hakekatnya “totalitas kehidupan” tersebut memang tak pernah bisa mereka bayangkan.

Kalau Sardono memandang manusia sebagai serpih kecil dari hidup yang serba gigantis ini, feminisme dilandasi cara pandang bahwa kehidupan memang mesti ditafsirkan oleh dan demi kepentingan manusia. Maka, beda dengan Sardono, feminisme menilai peran dan kedudukan perempuan semata-mata dalam perhubungannya—dan juga dikotominya—dengan laki-laki. Mereka, memang tak mungkin melihat perempuan sebagai bagian dari “keseluruhan hidup”.

Baik Sardono maupun feminisme memang kadang punya celah dalam pandangan mereka. Feminisme bisa menjadi semacam kecurigaan terus-menerus terhadap hubungan laki-laki dan perempuan: sebuah kecenderungan yang juga ditolak oleh banyak perempuan yang tetap percaya bahwa laki-laki memang sesosok makhluk beradab yang masih layak dijadikan mitra.

Sebaliknya, anggapan Sardono tadi bisa dianggap sebagai sekadar “pelestari” dari kondisi dominatif laki-laki pada perempuan. Bagaimanapun, kehidupan bukanlah sesuatu yang ajeg “utuh”, terkadang dalam totalitasnya yang rutin bisa juga muncul riak-riak yang menghentak dan menimbulkan suara gaduh, atau retakan yang riuh-rendah.

Sukoharjo, 10 Maret 2008
Haris Firdaus

4 comments:

zen March 13, 2008 at 10:24:00 AM GMT+8  

bro, aku kagum pada energi mu menulis. selalu serius dan bertenaga. selalu begitu tiap posting. aku wes rak duwe tenogo saiki. hiks hiks....

richiereez March 13, 2008 at 11:44:00 AM GMT+8  

wah aku baru buka2 blognya rumah mimpi neh...menarik...oiya salam kenal...

boleh dijadiin link di blog saya...
lagi belajar nulis nih

richiereez March 13, 2008 at 11:44:00 AM GMT+8  

wah aku baru buka2 blognya rumah mimpi neh...menarik...oiya salam kenal...

boleh dijadiin link di blog saya...
lagi belajar nulis nih

Haris Firdaus March 16, 2008 at 2:20:00 PM GMT+8  

Bung zen, yg bener aja, kenapa kau kehabisan tenaga menulis?

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP