Harmoko dan “Anak-anak”

>> Sunday, March 16, 2008




Di Indonesia, kata Harmoko suatu kali, tidak pernah terjadi pembredelan pers. Yang terjadi, menurutnya, adalah “pelaksanaan peraturan”.

Ia juga mengatakan bahwa pelarangan terbit beberapa pers di Indonesia harus dilihat dalam kerangka “pembinaan”. Pembatalan SIUPP, kata dia, dilakukan ketika lembaga pers yang bersangkutan sudah melakukan kesalahan fatal.

Barangkali, Menteri Penerangan dalam Kabinet Pembangunan IV dan V itu ingin mengatakan soal “kebablasan”-nya beberapa lembaga pers kita. Ia pernah mengatakan bahwa ada insan-insan media kita yang masih beranggapan sistem pers di Indonesia adalah sistem liberal. Padahal, menurutnya, sistem pers kita adalah “Sistem Pers Pancasila”.

Harmoko pernah mengibaratkan pers yang dilarang terbit sebagai anak-anak yang dikeluarkan dari sekolah karena tidak menuruti peraturan yang ada. Saya tersenyum kecut membaca pernyataan itu.

Sebab, tentu saja, kata-kata Harmoko adalah “kata-kata bersayap”. Ia tak serta merta bisa dianggap sebagai sebuah usaha manusia menggambarkan fenomena atau pemikiran yang dirasakannya. Kata-kata, dalam kasus Harmoko tadi, adalah sebuah alat membentuk realitas.

Bagaimanapun, ukuran “kebablasan” dalam menilai sebuah pemberitaan di masa orde baru adalah ukuran yang sepenuhnya berdasar nafsu pemerintah. Dan, mirip dengan metafora Harmoko sendiri, pers saat itu memang hanya ditempatkan sebagai “anak-anak”: sebuah sosok yang mesti dibimbing, dikasih petuah, diingatkan dengan galak kalau salah, atau disingkirkan kalau sudah berani melawan.

Pemerintah—sekali lagi memakai metafora Harmoko—adalah si pemilik sekolah yang punya kewajiban membimbing “anak-anak” itu agar berkelakuan baik, agar bisa menjadi pribadi yang sesuai dengan “harapan umum”.

Semua itu memang terlihat indah, setidaknya dulu ketika orde baru masih tegak. Tapi begitulah politik kata-kata.

Di jaman orde baru, politik kata-kata bukan hal baru. Dalam persoalan pembredelan pers, Harmoko memang mesti berkelit karena sesuangguhnya ia juga ada dalam posisi yang “sulit”: Harmoko pada dasarnya juga seorang wartawan. Ia mendirikan surat kabar Pos Kota pada 1970 dan sempat menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia.

Sejak kecil, bahkan Harmoko hanya punya satu cita-cita: mendirikan surat kabar. Berdasar pengakuannya sendiri, keinginan itu mulai muncul sejak ia duduk di bangku kelas dua Sekolah Rakyat. Ketika itu, Harmoko sering membacakan berita-berita dari surat kabar yang dibawa para Tentara Pelajar untuk para pengungsi perang yang sebagian besar buta huruf.

“Waktu itu saya hanya bercita-cita membuat koran. Mungkin karena melihat orang-orang yang mendengar berita yang saya baca semuanya manthuk-manthuk (mengangguk-angguk). Saya lantas berpikir, wah barang ini fungsinya besar sekali. Hebat benar, dari selembar kertas saja orang jadi tahu,” begitu kira-kira pengakuan Harmoko.

Karenanya, tak heran kalau dalam sebuah wawancara ia pernah mengatakan bahwa “darah daging saya wartawan”. Itu pula yang konon membuatnya bercita-cita akan kembali menekuni kerja sebagai wartawan setelah lepas dari posisi menteri. Tapi, sebagai wartawan, Harmoko sesungguhnya punya kekurangan.

Ia, misalnya, menganggap bahwa penonjolan kriminalitas di Pos Kota yang dipimpinnya bukan merupakan masalah. Menurutnya, yang penting bukan penonjolan sebuah informasi, tapi keseluruhan dari informasi yang ada.

Artinya, meski Pos Kota memang menonjolkan kriminalitas, tapi secara keseluruhan kriminalitas tak menjadi dominan dalam seluruh isi surat kabar itu. Makanya, bagi Harmoko, penonjolan itu tak masalah. Toh masyarakat masih bisa menikmati perihal lainnya di Pos Kota.

Pernyataan ini dikeluarkan tahun 1989. Saya tak tahu apakah saat itu ilmu komunikasi di Indonesia masih sangat terbelakang atau tidak. Cuma, pernyataan Harmoko itu, dilihat dari ilmu analisis media saat ini, tentu saja amat menggelikan.

Dalam sebuah surat kabar—dan juga media massa lainnya—yang terpenting justru bukan keseluruhan informasi yang ada, melainkan informasi apa yang hendak ditonjolkan. Sebab, pembaca surat kabar tak akan mungkin—atau minimal sangat jarang—membaca keseluruhan isi di sebuah surat kabar. Ia, kemungkinan besar, hanya akan membaca beberapa berita saja.

Pilihannya untuk membaca sebuah berita dan meninggalkan yang lain, bisa dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain oleh ketertarikannya pada hal-hal tertentu. Tapi, selain itu, faktor yang determinan dalam pemilihan berita untuk dibaca oleh seseorang adalah penonjolan sebuah berita oleh media yang bersangkutan.

Artinya, berita-berita yang ditonjolkan oleh sebuah surat kabar—dengan cara ditaruh sebagai headline, misalnya—kemungkinan besar akan selalu dibaca oleh pembaca. Pada titik inilah, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa seorang pembaca akan lebih terpengaruh oleh berita-berita yang ditonjolkan ketimbang keseluruhan berita yang ada dalam surat kabar.

Dalam konteks Pos Kota, yang terpenting justru berita-berita kriminal yang ditonjolkan, bukan keseluruhan berita yang ada. Di sini, Harmoko menampakkan kecenderungan untuk kurang teliti dalam melakukan sebuah analisis. Atau, ia memang sengaja mengeluarkan “analisis dangkal” guna menutupi kelemahan koran yang dipimpinnya.

Di sini pula terlihat paradoks Harmoko sebagai seorang yang mengaku “berdarah daging” wartawan. Di satu sisi, ia berusaha membela penerbitan yang ia dirikan, tapi di sisi lain ia juga tak segan membatalkan SIUPP milik media lainnya. Ia memang mengaku sedih ketika sebuah lembaga pers dilarang terbit.

Tapi, sedih saja tidak cukup, Bung!

Sukoharjo, 16 Maret 2008
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP