STA
>> Wednesday, February 13, 2008
Senin siang (11/2), saya tiba di kampus dengan rasa serak di tenggorokan dan badan yang terasa sedikit meriang. Seperti biasa, saya masuk sekretariat organisasi, langsung mencari koran hari ini dan kemarin. Keduanya saya temukan tergeletak nganggur, di tengah orang-orang yang sedang bicara dan tertawa dengan suara keras disertai gemuruh lagu dari winamp komputer tua.
Saya balik-balik Kompas edisi hari itu. Dan oh la la! Di halaman utama koran itu, saya temukan sebuah tulisan, dengan judul agak panjang, dengan nama pengarang yang membikin saya benar-benar terkejut: Sutan Takdir Alisjahbana. Pemuatan tulisan STA itu adalah demi memperingati 100 tahun kelahiran STA yang jatuh pada 11 Februari 1908.
Saya kira, hampir semua orang waras sepakat: STA adalah salah satu nama pengarang yang abadi bagi murid-murid SD dan SLTP. Romannya “Layar Terkembang” adalah salah satu contoh yang paling sering disebut dalam pelajaran sastra di sekolah. Itulah kenapa, nama STA adalah nama yang “abadi”.
Tapi, seperti juga dinyatakan oleh redaksi Kompas yang memberi pengantar untuk tulisan STA di koran itu, STA bukan hanya seorang sastrawan. Ia juga pemikir besar yang dipunyai Indonesia dalam bidang budaya dan ilmu sosial serta humaniora. Saya kira, kemampuan analitis STA tetap saja sulit ditandingi pemikir kebudayaan kita yang kontemporer.
Oleh Kompas, STA bahkan disebut lebih berhasil sebagai pemikir budaya dan bahasa ketimbang sebagai sastrawan. Saya tak tahu apakah klaim macam ini sahih atau tidak. Tapi STA memang telah membuktikan bahwa ia seorang pemikir kebudayaan yang besar sejak Indonesia masih berupa angan-angan. Tahun 1930-an, ketika umurnya masih sekitar 20 lebih sedikit, ia telah memulai sebuah debat panjang dalam dunia kebudayaan di Hindia Belanda. Debat panjang, melelahkan, tapi sekaligus penuh etika intelektual yang mengaggumkan itulah yang kemudian kita kenal sebagai “Polemik Kebudayaan”.
Saya pernah membaca sejumlah tulisan yang menjadi bahan utama Polemik Kebudayaan. Dalam sebuah buku tipis yang disunting Achdiat Kartamihardja, tulisan-tulisan STA dan lawan-lawannya dikumpulkan dan kemudian dikekalkan agar bisa dibaca generasi peminat studi kebudayaan yang selanjutnya. Saya dapati buku itu di perpus kampus saya dalam kondisi yang memprihatinkan: dekil, cuma berupa fotokopian, dan beberapa halamannya hilang.
Meski demikian, saya tetap tersihir oleh tulisan-tulisan di dalamnya. Meski ketika saya membacanya, tulisan tadi sudah berselang lebih dari 70 tahun, aroma intelektualnya tetap terasa dan pikiran-pikiran yang dikandungnya tetap terasa sebagai binar-binar yang tak kampungan. Banyak orang mengakui bahwa debat dalam Polemik Kebudayaan adalah debat dengan bobot intelektualnya sangat sulit ditandingi oleh pemikir Indonesia sekarang meski saat ini teori filsafat, kebudayaan, dan ilmu sosial sudah bagai kacang goreng.
Saut Situmorang pernah dengan sangat jitu membuat sebuah kesimpulan bahwa debat dalam Polemik Kebudayaan masih jauh lebih berbobot ketimbang, misalnya, perdebatan tentang sastra kontekstual pada tahun 1980-an yang bahkan melibatkan orang sekelas Arief Budiman dan Ariel Haryanto. Tentu saja, saya tak akan ragu-ragu bilang bahwa perdebatan dalam Polemik Kebudayaan juga jauh lebih analitis dan mencerahkan ketimbang debat kusir orang-orang Lekra dan Manifes Kebudayaan di tahun 1950-an sampai 1960-an. Apalagi, dengan debat dalam dunia sastra yang terjadi akhir-akhir ini antara orang-orang Jurnal Boemipoetra dengan Teater Utan Kayu.
Polemik Kebudayaan, dengan STA sebagai salah satu tokohnya, adalah sebuah debat yang demokratis. STA bukan hanya memberi tempat pada pikiran-pikiran pihak yang sama dengan dia tapi juga bagi lawan-lawannya yang paling gigih. Meski terkenal dengan sikap blak-blakan dan bagi saya terdengar agak sinis, STA tetap seorang demokrat yang menghargai lawan debat.
***
Di Kompas yang saya ceritakan tadi, dimuat tulisan STA yang berjudul “Suatu Filosofi untuk Masa Depan Menuju Kebudayaan yang Inklusif”. Itu merupakan abstrak dari tulisan STA untuk sebuah konferensi di Kanada saat ia dinobatkan sebagai “Honorary President of Conference in Absentia” karena kondisi kesehatannya yang tak memungkinkan ia datang pada acara yang dilakukan pada 6-9 Mei 1993 itu. Menurut Kompas, tulisan tadi kemungkinan merupakan karya terakhir STA.
Tulisan abstrak yang dimuat Kompas sangat pendek. Saya harap, di lain kesempatan, tulisan lengkap STA harus dimuat demi menghargai tokoh itu. Tapi dari abstrak singkat itu, kalimat terakhir STA adalah kalimat yang paling berkesan sekaligus “khas dia” yang bukan hanya tipe “intelektual pengamat” saja tapi sekaligus “pendorong” terhadap terciptanya perubahan.
Kalimat terakhir yang juga menjadi kesimpulan dari konferensi di Kanada itu akan saya kutip seluruhnya:
Kita sekarang masih jauh dari keadaan seperti itu sehingga suatu sikap solidaritas universal harus dibangkitkan agar retorika eksklusivisme dapat terhapus dan digantikan oleh komunikasi kebersamaan dan solidaritas universal, yang berarti membentuk sebuah kebudayaan dunia yang inklusif.
“Keadaan seperti itu” yang dimaksud STA adalah keadaan di mana bangsa-bangsa di dunia bisa membentuk sebuah “federasi” di mana kepentingan masing-masing bangsa tidak diletakkan dalam posisi yang diamteral. Ketika kondisi yang demikian terjadi, kita dapat mengatasi bahaya yang mengancam manusia karena “negara-negara dunia tidak perlu mempersenjatai diri lagi”.
Kalimat terakhir yang cukup panjang—khas pemikir-pemikir dulu—itu merupakan inti dari abstrak yang dimuat di Kompas. Pada masa di mana pertemuan antar bangsa tak dapat dielakkan karena kemajuan transportasi dan teknologi komunikasi, maka pemikiran-pemikiran sempit yang eksklusif mesti dielakkan. Penghargaan sebagai manusia harus mengalahkan rasa bangga pada bangsa atau komunitas sendiri karena toh pada dasarnya masuknya seorang manusia pada sebuah bangsa tertentu adalah sesuatu yang tak dapat kita pilih.
Tersekatnya manusia pada ikatan-ikatan primordial yang pada dasarnya hanya berdasar pada sebuah “kebetulan”, seharusnya tak boleh menghilangkan hakekat manusia sebagai makhluk yang menghargai sesama jenisnya. Membandingkan perkembangan pada abad ke-5 Sebelum Masehi, di mana terjadinya “peningkatan kreativitas sosial dan budaya” disebabkan oleh penemuan—yang sekarang tentu saja dianggap sepele—kuda sebagai alat transportasi, STA kemudian memberi penyimpulan: pencapaian teknologi saat ini yang jauh melebihi di abad ke-5 SM akan berakibat “kreativitas sosial dan budaya” itu juga makin jauh meningkat. Cuma, peningkatan itu sekaligus diwarnai pertemuan-pertemuan antarbangsa yang juga rawan konflik.
Kondisi yang demikian membuat pilihan manusia harus ditujukan pada satu hal: penciptaan budaya inklusif.
***
Di Kompas edisi sama, ada tulisan Sapardi Djoko Damono berjudul “Ke Barat Bersama STA”. Ini tulisan pendek dari mahaguru sastra Universitas Indonesia itu. Akan lebih baik sebenarnya kalau Sapardi mau lebih berpanjang-panjang dalam soal STA.
Dalam tulisan itu, Sapardi—seperti bisa dilihat dari judulnya—lebih menyoroti keberpihakan STA terhadap dunia barat sebagai sumber kemajuan yang mesti “ditiru”. Sumber bacaan utama Sapardi adalah Kata Pengantar STA dalam buku antologi puisi “Puisi Baru”. Saya belum membaca buku itu. Tapi keberpihakan STA terhadap dunia barat yang berasosiasi pada Eropa, bisa kita temukan pada banyak tulisannya. Yang paling dahsyat dan menggebu tentu saja tulisan-tulisan dalam buku “Polemik Kebudyaan”.
Dalam buku itu, nyata benar bahwa STA berlain jalan dengan Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara, misalnya. STA yang jelas probarat dan hendak membawa modernisasi barat ke Indonesia menolak dengan tegas pandangan “tradisionalis” Ki Hajar dan keinginan Sanusi Pane mengandopsi pemikiran dari India. Melalui debat yang panjang, STA hendak membuktikan bahwa kemajuan Eropa yang sudah terjadi haruslah diikuti oleh masyarakat Indonesia.
Bagi STA perubahan pola masyarat agraris ke industri jelas akan diikuti perubahan di level kebudayaan, filsfat, sastra, dan lainnya. Eropa yang telah mengawali perubahan itu mesti dianggap sebagai model yang seharusnya juga ditiru masyarakat di belahan dunia lainnya. Munculnya “puisi baru” yang disponsorinya adalah semacam “bukti” bahwa kaum terdidik Hindia Belanda saat itu juga sudah terpengaruh kebudayaan barat.
Pada tulisan yang sebagian dimuat di Kompas tadi, kita bisa membaca perkembangan pemikiran STA lebih lanjut. Dalam tulisan yang dibuat sekitar tahun 1993 itu, di mana globalisasi sudah jadi peristiwa sahih yang tak mampu ditolak, STA tak lagi menyuruh kita membebek pada Eropa. Pada tulisannya yang memang ditujukan buat “publik dunia” itu, STA mengajak agar kita sedikit mengesampingkan perbedaan bangsa dan etnis demi kepentingan yang jauh lebih besar: kemanusiaan.
Meski sekarang saran demikian sudah jamak, tapi yang begituan pada tahun 1993 belum lagi marak. Istilah “kebudayaan yang inklusif” sendiri konon digunakan STA ketika belum banyak orang lain menggunakannya. Sumbangan yang demikian itulah yang membikin pemikir ini adalah manusia penting dalam khazanah pemikiran Indonesia.
Jadi, bagi saya, seratus tahun kelahiran STA jauh lebih pantas diperingati dan dirayakan ketimbang perayaan dan huru-hara dalam pemberitaan mengenai kematian Soeharto.
Sukoharjo, 11 Februari 2008
Haris Firdaus
0 comments:
Post a Comment