Malam, Leher Pegal, dan Kasih Sayang
>> Friday, February 15, 2008
Malam ketika saya akhirnya memutuskan menghidupkan komputer saya yang sering eror untuk kemudian menggarap tulisan ini, kondisi tubuh saya sebenarnya tak fit. Leher saya, seperti yang sudah-sudah, diserang pegal yang sungguh terasa menjengkelkan. Dan akibatnya, kepala saya menderita sakit yang membuat saya tak bisa melakukan banyak hal.
Beberapa tugas dan kewajiban masih tersisa di pundak saya. Esai panjang yang saya rencanakan untuk dilanjutkan malam ini, urung saya sentuh. Kepala saya terlampau pusing untuk memeriksa kembali tulisan itu dan saya merasa tak sanggup menuangkan pikiran-pikiran guna melanjutkan esai tersebut. Biarlah, barangkali besok malam, ketika kondisi saya jauh lebih baik, saya akan lanjutkan esai itu.
Saya juga sedang dirundungi gelisah karena mesti juga berpikir tentang penelitian akhir sebagai syarat bagi sarjana saya. Saya tahu, penelitian itu sebenarnya tak akan membuat saya gentar. Cuma, beberapa hal yang sifatnya di luar penelitian itu—seperti birokrasi kampus—justru yang membuat saya gelisah. Saya takut, hal-hal seperti itu yang justru akan berpengaruh pada penelitian saya. Sampai saat ini, sambil menyebut asma Tuhan, saya terus berdoa supaya hal-hal itu tak akan mengganggu.
Relasi saya dengan organisasi kampus yang sudah saya gauli selama lebih dari tiga tahun sebenarnya dalam kondisi yang baik-baik saja. Mesti beberapa tugas di sana ada di depan mata, saya toh sama sekali tak menemui ketakutan apa-apa secara teknis. Saya cuma khawatir waktu saya yang makin banyak tersita untuk kepentingan pribadi—demi mencapai obsesi tertentu—tak akan cukup untuk menggarap tugas di sana secara maksimal. Saya hanya berharap, pengalaman saya di sana akan mampu memberi saya pengetahuan bagaimana menyelesaikan tugas-tugas itu di saat konsentrasi dan waktu saya di sana tak banyak.
Siang tadi, di Rumah Sakit Dr. Moewardi, Solo, saya menjenguk seorang kawan. Ketika saya dan rombongan tiba di sana, kawan saya itu belum tersadar dari bius yang dimasukkan ke tubuhnya untuk menghilangkan rasa sakit saat ia dioperasi beberapa jam lalu. Kawan saya itu memang mesti dioperasi guna memulihkan kondisi tulang tangannya yang patah karena terjatuh dari tangga.
Saya pandangi wajah kawan saya yang cuma bisa memejamkan mata dan sesekali bereaksi dengan mengangguk atau menggeleng ketika diajak bicara. Saya diam saja, tak berusaha mengajak bicara dia. Saya cuma mengamati dia sekilas-sekilas dari jarak yang tak terlampau dekat.
Kawan saya itu, dulu, sempat jadi sahabat yang amat dekat dengan saya. Ia sudah saya anggap sebagai saudara saya, dan barangkali ia juga menganggap saya sebagai saudaranya. Tapi, sebuah masalah yang tak terlampau saya pahami akhirnya membuat kami berjarak. Iya, kami tetap berteman, tetap saling berhubungan baik, tapi tak sedekat dulu. Pada awalnya, barangkali ada kesedihan dan tanda tanya (Saya pernah menuangkan kesedihan dan tanda tanya itu dalam beberapa tulisan di blog ini). Tapi kemudian, saya tahu: hidup adalah laku menerima kemestian yang kadang tak bisa kita ketemukan alasannya.
Belakangan, saya sempat sering bertemu dengan dia dalam beberapa acara yang sama-sama kami minati. Pada suatu waktu, mungkin beberapa bulan yang lampau, ia pernah meminta puisi pada saya. Sebagai semacam kenangan, barangkali. Saya menyanggupinya, sambil sedikit gemetar. Bukan karena perasaan emosional saya, tapi lebih karena saya harus mencipta puisi atas dasar “pesanan”.
Dalam model puisi pesanan, kadang saya tak mungkin mengelakkan diri secara emosional dengan objek puitis yang hendak saya garap. Hubungan yang terlampau dekat antara saya dengan objek yang ingin saya gubah jadi puisi itu kadang menakutkan saya. Sebab, hubungan itu seringkali “menyempitkan” imajinasi saya dan membuat saya tak jadi “kreatif”.
Saya takut, ketika mencipta puisi pesanan, ekspresi yang keluar adalah ekspresi yang terlampau “murni”, terlampau “alami”. Ketakutan itu, barangkali karena saya termakan omongan Oscar Wilde yang mengatakan bahwa, “semua puisi yang buruk bangkit dari perasaan yang asli apa adanya.” Baginya, menulis yang alami adalah menulis yang jelas nyata. Dan yang jelas nyata itu tidak artistik.
Tapi saya tak mau menulis banyak-banyak soal debat artistik dan estetik macam ini. Lebih baik, saya kutipkan puisi pesanan kawan saya itu yang bulan ini dimuat di edisi perdananya buletin sastra terbitan Taman Budaya Jawa Tengah. Puisi yang berjudul “Dalam Pigura Bekas di Toko Loak, Aku Menemukan Kita dan Masa Lalu” itu versi lengkapnya begini:
Aku menemukan kita dan masa lalu
dalam pigura bekas di sebuah
toko loak tengah kota
saat anak-anak sibuk bermimpi
menyusuri masa lalu dengan mesin
yang dikeluarkan Doraemon
dari kantong ajaibnya.
Mereka melewati lorong yang
setengah terang warna-warni
dan setengah gelap,
sambil bercanda tentang apakah
yang dilakukan ibu mereka
kala mereka menangis saat dulu
masih bayi.
“Kalau kau jadi Doraemon,
akankah kau juga mengeluarkan
mesin waktu itu demi masa lalu kita
yang penuh bau asam, tapi juga
semacam bahagia?”
Kau diam, dan anak-anak itu
masih sibuk berdebat tentang
jawaban dari khayalan mereka.
“Ibu mungkin mengayun-ayunkan
kita dalam ayunan dari kain lusuh
yang biasa ia gunakan buat
menggendong kita,” kata salah
seorang anak, sok tahu.
“Kalau kau jadi anak-anak,
akankah kau berdebat tentang
seandainya kita masih bersama
menyusuri pohon cemara dan
memetik daun-daun hijau, sambil
sesekali saling pandang
dan malu-malu?”
Puisi itu, barangkali, tak bisa sangat lepas dari ekspresi yang terlampau “murni”. Tapi biar saja, biar orang lain dan kawan saya itu yang menilai apakah puisi itu layak dibaca dan kemudian direnungkan atau tidak.
***
Saya sangat terkesan dengan persahabatan. Barangkali karena biografi saya yang berasal dari keluarga yang “tak terlampau hangat” membuat saya mesti menemukan kompensasi-kompensai psikologis di luar institusi yang kita sebut sebagai “keluarga”. Dan, saya menemukan hal yang demikian pada persahabatan dengan banyak kawan, dalam kurun waktu yang berbeda.
Merasakan sebuah persahabatan, bagi saya, barangkali merupakan hal “baru”. Selama beberapa waktu, saya sempat jadi manusia kesepian yang sering minum teh hangat di teras rumah demi menghilangkan kesepian. Sambil kadang melihat bintang di langit, saya meresapi udara malam yang dingin sembari melamun. Ketika sudah bosan dengan aktivitas itu, saya masuk rumah: tidur atau nonton televisi atau baca buku.
Saya tak terlampau ingat, apa yang bisa membuat saya bertahan beberapa lama dalam kondisi yang “sepi” macam begitu. Bagi saya, memiliki sahabat, teman dekat, atau apapun namanya, membuat kita lebih sehat, paling tidak secara mental. Paling tidak, kita punya saluran psikologis untuk mengeluarkan uneg-uneg dan kesedihan serta buat merayakan bahagia.
Meski persahabatan dan juga cinta kini telah, sedang, dan masih terus akan mengalami “inflasi” karena banyak sinteron tak bermutu yang mengupas dua soal itu, tapi dalam kehidupan saya yang wajar-wajar dan tak “sinetron-sentris”, keduanya tetap jadi barang yang memesona. Seperti malam ini, ketika saya menulis lebih banyak tanpa persiapan dan hanya ingin melantur menghabiskan malam. Yang keluar dalam tulisan saya ternyata lebih banyak soal persahabatan: sesuatu yang sudah banyak saya renungi dan tuliskan.
Ketika di hari-hari ini banyak orang sedang merayakan Hari Valentine yang lucu itu, saya akhirnya ingat bahwa kosakata “kasih sayang” bagi saya hampir jadi sinonim dari kata “persahabatan”. Barangkali kalau saya jadi presiden atau menteri yang berwenang mengubah hari-hari besar, saya akan mengganti Hari Valentine dengan Hari Persahabatan!
Sukoharjo, 13 Februari 2008
Haris Firdaus
5 comments:
bagaimana kalau "hari valentine" diganti menjadi "hari sepakbola nasional"?
saya gak setuju, mas. sepakbola kita amburadul kan? gak perlu diperingati. ha2..
tgl 14 feb tdk ke rumsas ris? aku tdk bsa dtg... lama bgt aku nggak buka blogmu, banyak ketinggalan aku. kalo buka email pasti sdh malam gini, ..aku sibuk bgt, 4 hari di wisma inri ada acra kantor kedinginan...
ni mbak puitri ya? tidak, mbak. sy gak ke rumsas. lagi hujan ato apa gt. met kerja yg sibuk, mbak!
entah kenapa mata saya berair membaca tulisan yg satu ini.you must know why...andai saja waktu milik kita...love you always,dik...(btw,puisimu bagus kok...)
Post a Comment