Tragedi dari Sebuah Dunia Absurd

>> Friday, January 4, 2008




Buat sementara, tujuan saya terbatas pada hanya ingin sampai di tempat itu dulu. Bila sudah sampai, saya serahkan pada keadaan di situ apa tujuan saya selanjutnya. Pun, apabila tujuan saya itu nanti adalah tak bertujuan apa-apa sama sekali. (Iwan Simatupang)

Ketika di malam pergantian tahu baru lalu saya membaca novel Iwan Simatupang yang berjudul “Kering”, saya merasa ada kaitan kuat antara apa yang sedang saya baca dengan apa yang sedang terjadi di sekitar saya. Hari-hari itu, di daerah sekitar saya, air sungai meluap dan membenamkan ribuan rumah, membuat banyak orang mengungsi, dan mengakibatkan sebuah tragedi. Dan di dalam “Kering”-nya Iwan Simatupang, saya juga membaca bagaimana manusia berhadapan dengan tragedi.

Bedanya, kalau di sekitar saya tragedi terjadi karena air meluap, di “Kering” tragedi justru terjadi karena manusia sedang menjalani musim kemarau. Di novel yang terbit pertama kali tahun 1972 itu, dikisahkan bagaimana manusia-manusia di sebuah teritori tertentu mesti berhadapan dengan cobaan kemarau panjang yang membuat mata air mengering, jalanan panas, dan impian tentang hujan adalah impian yang hampir jadi mustahil. Kemarau digambarkan sudah sedemikian parah tapi manusia tak henti-hentinya berusaha tetap hidup.

Novel dibuka dengan adegan kekeringan panjang di satu daerah transmigrasi di sebuah negeri. Di daerah itu, mata air terakhir milik kepala kampung yang mengalir akhirnya kering juga. Ketika itu terjadi, dimulailah sebuah debat di antara orang-orang di perkampungan itu tentang bagaimana mereka mesti hidup dalam musim kemarau yang panjang. Perdebatan yang mengalir akhirnya membuat hampir semua orang di sana memutuskan pergi meninggalkan kampung mereka, mencari tempat lain untuk bertahan hidup.

Hanya satu orang manusia yang akhirnya memutuskan tetap tinggal. Oleh Iwan Simatupang, manusia itu tak diberi nama dan hanya dipanggil “tokoh kita “ (dari penamaan ini saja kita sudah bisa melihat bahwa Iwan adalah novelis eksperimentalis yang tulen). Si “tokoh kita” yang tak mau dibujuk oleh kawan-kawannya untuk ikut serta meninggalkan kampung yang kekeringan itu, memutuskan tetap bertahan hidup sebisanya di dalam kampung. Maka, mulailah cerita-cerita absurd terjadi. “Tokoh kita” mulai mengerjakan sebuah proyek besar untuk bertahan hidup: menggali sumur sampai menemukan air dari tanah. Proyek itu berjalan berhari-hari, dalam waktu yang lama, sampai makanan dan minuman yang tersedia buat dia habis.

Meski makanan dan minuman terus menepis, tapi “tokoh kita” tidak mati. Ia tetap menggali sumur terus, sembari terus-menerus bicara dengan beda-benda di sekelilingnya, dan juga bicara dengan perasaan-perasaan yang ia alami. Ia mulai bicara dengan gubuk-gubuk reot, guci tua, bukit-bukit, juga langit yang berwarna biru. Bukan itu saja, ia juga bicara pada rasa laparnya, rasa ngantuknya, rasa hausnya, dan beberapa yang lain. Ia terus melakukan itu setiap hari, sambil terus menggali. Lalu pada suatu hari, ia pingsan dan ketika bangun telah ia dapati dirinya ada di rumah sakit dengan seorang dokter yang tak ia sukai. Dari doketer itu ia tahu: perkampungannya telah terbakar karena ulahnya sendiri.

Iwan kemudian mem-flash back cerita dengan menceritakan riwayat hidup si “tokoh kita”. Dalam curicullum viate “tokoh kita” yang dipaparkan Iwan, kita akan dapati bahwa tokoh ini memang benar-benar absurd. Sebelum revolusi, ia seorang mahasiswa hukum yang kemudian pindah ke jurusan ekonomi lalu beralih ke jurusan sejarah. Ketika revolusi pecah, ia ikut berperang, dan ketika revolusi berhenti dan ia seharusnya jadi perwira tentara, ia malah lari ke gunung dan memimpin gerombolan bersenjata. Ia tertangkap, dijatuhi hukuman mati, tapi kemudian hukumannya diringankan menjadi hanya dipenjara karena hakim yang mengurusi sidangnya adalah kawannya di masa lalu.

Setelah selesai masa penjaranya, ia kembali ke universitas untuk meneruskan belajar sejarah. Tapi segera saja, ia tak betah dengan kuliah dan memilih lebih banyak berdiam di kamar sambil membaca buku yang ia pinjam dari perpustakaan. Ia sering mendebat dosennya dan bahkan ia kemudian sering menggantikan dosen-dosennya itu “memberi kuliah” di depan teman-temannya. Dosen-dosennya resah, dan mengusulkan ia dikeluarkan, tapi sebelum keputusan itu benar-benar menimpanya, ia telah memutuskan untuk mengundurkan diri dari universitas. Secara tiba-tiba, ia mendaftar menjadi transmigran dan ketika seluruh rekannya sesama transmigran di kampungya memutuskan pergi karena kemarau yang panjang, ia memilih tetap tinggal.

Apa yang segera terbaca dari biografi “tokoh kita” adalah semacam kehendak bebas yang ia miliki. Ia begitu berdaulat atas tubuhnya, atas perasaanya, atas kehendaknya sendiri. Orang-orang, norma, adat istiadat, dan tetek bengek lain di luar dirinya tak kuasa mendorongnya cenderung untuk melakukan suatu hal. Apa yang “tokoh kita” kerjakan, pada dasarnya adalah kehendaknya yang tak mendapat intervensi dari pihak luar. Yang juga menarik adalah bahwa kehendak-kehendaknya itu terkadang tak mudah dijelaskan secara logis. Ia melakukan suatu kegiatan hanya karena ia merasa harus melakukannya. Demikian pula ketika ia meninggalkan suatu perbuatan: itu semata-mata hanya karena ia merasa tak perlu melakukannya.

Maka, tragedi kekeringan panjang yang menimpa ia dan orang-orang di sekitarnya tak ia hadapi dengan sebuah keberatan yang berlarut. Agaknya, kedaulatannya atas tubuh yang ia miliki, juga atas segala perasaan yang ia simpan, membuat “tokoh kita” mampu menghadapi tragedi dengan cara yang unik: ia tak menjauhi tragedi tapi justru merayakannya. Dalam perayaannya itu, ia tahu barangkali ia akan mati sia-sia karena memilih tak menjauh dari tragedi. Tapi bagaiamanapun, pilihan untuk berada dalam tragedi sambil sekaligus merayakan kondisi tragis itu adalah sebuah usaha untuk mengatasi tragedi itu sendiri. Dengan menerima tragedi sebagai bagian dari eksistensi manusia, “tokoh kita” sebenarnya sedang menempuh sebuah mekanisme tertentu—secara psikologis terutama—agar tragedi tak benar-benar dirasakannya.

Ya ya, sampai bagian ini, saya jadi berkesimpulan bahwa “Kering” ternyata hanya berkorelasi sedikit saja dengan tragedi-tragedi yang kita alami beserta penyikapan manusia atas tragedi itu. Cuma, saya maklum: Iwan Simatupang memang bukan Pramoedya yang hendak melukis detail realitas. Iwan, bagaimanapun, adalah seorang novelis yang menghadirkan suatu dunia surealis yang penuh simbol dan telaah filsafat yang sulit. Dalam cerita-cerita yang demikian, “ekstasi” saat membaca teks adalah suatu yang mesti kita kejar sembari berusaha mengambil “inspirasi” dari dunia yang kita temukan itu. Ya, tentu saja, kalau kita bisa.

Sukoharjo, 3 Januari 2008
Haris Firdaus

3 comments:

wonka October 27, 2008 at 12:53:00 AM GMT+8  

nice post,

saya juga suka menerka-nerka "sang tokoh kita" :)

Anonymous October 27, 2008 at 12:44:00 PM GMT+8  

agak susah menerka-nerka tokoh kita-nya iwan, mas. eksistensialisme dlm novel iwan harus dibaca dengan cara tertentu supaya bs "nyambung" dg realitas.

wonka October 28, 2008 at 6:33:00 PM GMT+8  

secara kognitif, tokoh kita berkata: inilah realitasnya...das ding an sich

konteksnya bisa dijejakkan dimana-mana. tubuhnya bisa ditimpakan pada siapa saja...mewakili fase hidup nyaris setiap orang.

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP