Teror, Kematian, dan Perempuan di Sekeliling Poe

>> Monday, January 7, 2008




Selesai membaca Buku “Biografi Edgar Allan Poe dan Sepilihan Karyanya”, saya tahu ada tiga hal yang tak pernah bisa dilepaskan dari karya sastrawan itu: teror, kematian, dan perempuan. Dalam buku yang diterjemahkan dan disusun oleh Tia Setiadi dan diterbitkan Penerbit Interlude Yogyakarta itu, diceritakan bahwa Poe adalah seorang pengarang yang terobsesi pada cerita-cerita bertema tiga hal di atas.

Tentang perempuan, ah, kita semua tahu: Poe seorang lelaki normal yang sejak kecil memang mengagumi kecantikan perempuan. Tampaknya penyair dan cerpenis plus kritikus sastra ini adalah seorang yang sangat terobsesi pada kecantikan Kaum Hawa. Hampir dalam seluruh hidupnya Poe seperti terobsesi mencari kejelitaan yang paripurna. Dalam puisi-puisinya, ia banyak bercerita dengan amat romantis perihal kecantikan perempuan-perempuan yang ditemuinya.

Cinta pertama Poe adalah Nyonya Stanard, seorang ibu dari temannya. Ketika Poe bertemu dengannya, ia langsung jatuh hati dan mengatakan bahwa perempuan yang lebih tua sekitar 16 tahun darinya itu merupakan “cinta murni pertama bagi jiwanya”. Saya agak susah memahami bagaimana seorang remaja seperti Poe—yang baru berumur 15 tahun—bisa mengalami jatuh cinta pada seorang perempuan usia 31 tahun. Tapi begitulah, kejelitaan Nyonya Stanard bahkan kemudian mendorong Poe membandingkan perempuan itu dengan Helen dalam kisah “Helen of Troy”, seorang perempuan yang karena kecantikannya mampu menyebabkan terjadinya Perang Troya. Poe pun kemudian menulis puisi berjudul “Kepada Helen” yang ia persembahkan pada Nyonya Stanard yang mati karena gangguan kejiwaan.

Kematian Nyonya Stanard membawa guncangan besar pada Poe. Bagaimanapun, kematian itu berarti patah hati yang pertama bagi sastrawan kelahiran Amerika Serikat itu. Meski lama-kelamaan ia mampu melupakan gambaran “Helennya” itu dan menjalin cinta dengan gadis seumurannya bernama Elmira, tapi kenangan tentang kecantikan Nyonya Stanard barangkali tak akan hilang. Kisah Poe dengan Elmira juga berakhir tragis ketika secara paksa orang tua Elmira memisahkan keduanya. Saat Poe kuliah di Universitas Virginia, Elmira dinikahkan secara paksa oleh orang tuanya dengan seorang lelaki berumur yang mapan. Peo sama sekali tak mengetahui kejadian itu dan baru beberapa tahun kemudian ia sadari bahwa ia telah mengalami patah hati yang kedua.

Periode kuliah Poe di Universitas Virginia adalah periode perkenalannya dengan kematian dan teror. Poe yang terpengaruh kawan-kawannya mulai mendekati minuman keras, dan mulai sering mabuk. Pada saat mabuk itulah imajinasi Poe melayang jauh, menembus batas-batas pikiran waras, dan kemudian berkelabatanlah cerita-cerita horor yang di kemudian hari menjadi ciri khas karyanya. Pada waktu itu ia sering bercerita tentang kisah-kisah horor itu pada kawan-kawannya dan kawan-kawannya merasa senang mendengar cerita-cerita itu. Meski periode itu adalah periode di mana imajinasi Poe mulai mengalami perkembangan yang menukik, namun pada saat kuliah itulah Poe juga mulai mengenal benda yang tak akan pernah bisa ia tinggalkan meski ia sadar benda itu berakibat buruk padanya: minuman keras.

Dalam peluncuran dan bedah Buku “Biografi Edgar Allan Poe dan Sepilihan Karyanya” di Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, beberapa waktu lalu, seorang dosen Sastra Inggris UNS berkata bahwa interaksi Poe dengan minuman keras yang intim—terutama di saat-saat ia ada masalah—membuat kehidupan penulis itu menjadi terpuruk. Dengan sedikit kontroversial, si dosen juga menuduh Poe sebagai “pengecut” karena ia tidak berani menanggungkan kenyataan hidup dan memilih lari pada minuman keras. Jelas sekali ada judgement moral dari si dosen terhadap Poe. Meski begitu, kedekatan Poe dengan minuman keras barangkali yang kemudian membuat kesehatannya terus menurun dan pada akhir hidupnya mulai mengalami gangguan kejiawaan.

Tapi kedekatan Poe dengan minuman keras—dan bahkan ia juga disangka memakai opium—bisa jadi juga disebabkan karena kehidupannya yang hampir seluruhnya berisi tragedi. Saat-saat riang Poe hanyalah saat ia kecil di mana saat itu ia adalah seorang remaja yang pintar berolahraga dan mulai menampakkan bakat seninya. Poe saat itu menjadi “idola” kawan-kawannya dan diterima secara baik dalam hubungan sosial di dekatnya. Selepas periode itu—dimulai dari periode kuliahnya—Poe mulai mengalami serangkaian tragedi: kemiskinan, putus cinta, pertengkaran dengan keluarganya, kesepian, dan beberapa tragedi lain.

Meski bakat menulisnya terus berkembang dan karya-karyanya sedikit demi sedikit mulai mendapat pengakuan, Poe hampir-hampir tak pernah lepas dari jerat kemiskinan. Ia hampir selalu kekurangan uang dan terkadang bahkan harus “mengemis” pada ayah angkatnya yang membenci dirinya. Menumpang hidup di keluarga dari orang tuanya yang asli juga terpaksa dilakukan Poe karena nasibnya memang benar-benar memprihatinkan. Walau buku-buku berisi karyanya mulai dicetak dan dipublikasikan, Poe tetap saja bernasib sama: miskin, suka mabuk, dan hampir selalu kesepian.

Barangkali akumulasi dari seluruh kisah hidupnya itu yang kemudian membuat dia menulis kisah-kisah teror dan kematian. Dalam sebagian besar cerita pendeknya, Poe memang berkisah perihal dua hal tersebut. Imajinasi-imajinasi yang ganjil tentang hantu, tragedi, dan perempuan jelita berkelabatan dalam cerpen-cerpen yang dihasilkannya. Namun puisi-puisi karyanya tetap saja hadir dengan romantis terutama puisi yang memang ia persembahkan buat perempuan-perempuan yang ia kagumi.

Poe meninggal pada 7 Oktober 1849 pada usia 40 tahun setelah beberapa hari sebelumnya ia mabuk-mabukan. Meski kematiannya juga sebuah tragedi, nama Poe tetap dikenang sebagai salah satu sastrawan Amerika Serikat yang besar. Sampai hari ini, orang masih terus menyebut namanya meski bagi Poe sendiri hal itu mungkin tak berarti.

Sukoharjo, 7 Januari 2008
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP