Benturan, Kecurigaan, dan Ras

>> Wednesday, January 2, 2008




Di jaman ketika apartheid sudah tak ada, dan orang semacam Nelson Mandela banyak dipuja, rasialisme ternyata tak serat merta hilang. Prasangka yang berdasar atas perbedaan suku, memang tak mudah hilang meski dunia makin jadi entitas yang terus terbuka. Bahkan di Amerika Serikat, yang merupakan “surganya kebebasan”, prasangka atas orang lain yang datang dari ras yang beda bisa berakibat fatal. Begitulah yang saya lihat di Film “Crash”: sebuah film yang mengisahkan benturan dari orang-orang dari berbagai ras yang beda.

Di Los Angels yang menjadi setting film itu, kita disuguhi sejak awal mula, bahwa warna kulit, bentuk muka, dan perbedaan fisikal lainnya yang menjadi dasar orang memutuskan sesuatu. Orang dengan mudahnya bisa menyangka dan begitu yakin bahwa Si A jahat hanya karena ia orang berkulit hitam. Yang menarik dalam “Crash” adalah bahwa masing-masing ras yang bertemu dan campur aduk di kota itu sebenarnya punya kecurigaan terhadap yang lain. Orang Persia dicurigai orang Amerika Serikat, orang kulit hitam merampok orang kulit putih, dan seterusnya.

Kecurigaan terus bertebaran dalam film itu. Maka, kita akan melihat orang-orang mengambil tindakan yang “terlalu preventif” dan bahkan tak perlu. Bukan itu saja, mereka cenderung bereaksi negatif satu sama lain. Ambil contoh sebuah adegan ketika satu keluarga kulit putih memakai jasa orang dari Amerika Latin untuk memperbaiki pintu rumah mereka. Si nyonya rumah, yang baru saja dirampok oleh orang kulit hitam, menaruh curiga yang besar pada si tukang kunci yang “berwarna” itu. Sampai-sampai, ia meminta suaminya untuk mengganti seluruh kunci rumah mereka esok harinya karena satu alasan: ia curiga bahwa si tukang kunci yang “berwarna” itu akan menduplikasi kunci mereka lalu mengirim duplikat itu ke gangster dari rasnya untuk mempermudah aksi perampokan gangster di rumah mereka.

Kecurigaan yang “aneh” ini tentu berawal dari asumsi bahwa “semua orang berwarna” adalah jahat. Si nyonya rumah—yang diperankan Sandra Bullock itu—juga hampir menaruh curiga pada setiap orang yang bukan kulit putih. Pada pembantunya yang juga dari ras yang beda dengan dia, hampir tiap hari ia marah-marah. Kecurigaan yang sedemikian besar telah membuat ia terus-menerus merasa terancam dan akhirnya tak pernah mengalami ketenangan.

Di kasus lainnya, seorang pria kepala keluarga keturunan Persia juga menaruh curiga pada si tukang kunci dari Amerika Latin yang sedang membetulkan pintu tokonya. Ketika si tukang kunci menyarankan agar pintu tokonya diganti, ia menolak, marah-marah, dan malah menuduh si tukang kunci telah berbohong. Ia menuduh si tukang hendak menipunya dengan menyuruhnya membeli pintu baru. Si Persia keras kepala, tak mau mengganti pintunya. Akibatnya, esok harinya ia temukan tokonya ludes dirampok. Ia menyesal karena petugas asuransi tak mau mengganti semua kerugiannya karena perampokan itu dianggap sebagai kelalaian si Persia.

Ia marah, kemudian mengambil pistol, dan hendak mencari si tukang kunci yang ia tuduh merampok tokonya itu. Berbekal nota perbaikan kuci tokonya, ia menuju rumah si tukang kunci dan menunggu hingga si tukang pulang. Ketika kemudian ia menemukan si tukang kunci telah pulang, ia pun keluar dari mobil, menenteng pistol, dan kemudian marah-marah. Si Persia minta uangnya dikembalikan. Prasangka rasial kembali muncul. Ia menuduh si tukang kunci telah merampok tokonya hanya karena si tukang itu berbeda ras dengan dia. Debat mulut terjadi, dan Si Persia terus marah-marah, tak percaya dengan semua penjelasan yang ia terima, sambil terus menodongkan pistol.

Lalu adegan paling dramatis dalam film ini terjadi: ketika si Persia hendak menembak si tukang kunci, putri kecil si tukang lari ke arah mereka. Tepat ketika si Persia menembak, anak kecil itu melompat ke pelukan ayahnya sehingga tembakan pun meletus di tubuh anak kecil itu. Adegan serasa berhenti saat itu juga. Si tukang kunci menangis, si Persia linglung: tak menyangka bahwa ia bakal menembak anak kecil.

Cuma, ternyata peluru si Persia adalah peluru kosong. Maka, tak terjadi apa-apa. Si anak kecil tak terluka, dan si Persia kemudian menyesali kebodohannya, kembali ke rumah, dan menyerahkan pistol itu ke anaknya yang dokter. Kemudian, adegan mengalir seperti film-film drama kebanyakan: kesalahan yang dilakukan orang-orang itu mulai disadari.

Film yang berlangsung dalam multiplot yang saling bersinggungan itu adalah sebuah kisah tentang persaingan hidup di sebuah kota sibuk yang melibatkan berbagai macam ras dengan banyak kecurigaan dan pandangan-pandangan negatif satu sama lain. Saya bayangkan, kehidupan di sana adalah sebuah tegangan yang terus-menerus. Hampir tak ada kata “damai” di kota macam itu, di keadaan curiga yang demikian.

Sebagai penonton yang dibesarkan dalam suasana yang tak rasialis, saya seringkali gregetan dan tak habis mengerti kenapa orang-orang di Film “Crash” bisa sangat mencurigai orang-orang di sekitar mereka hanya karena alasan konyol. Tapi barangkali kecurigaan itu tak serta merta terbentuk. Ada proses interaksi antar mereka yang mungkin tak mengenakkan dalam waktu yang lama. Banyak kejadian di dunia—seperti tragedi WTC—yang juga menyuburkan kecurigaan-kecurigaan tadi. Saya kira, itulah kenapa Samuel Hutington juga meramalkan adanya benturan peradaban.

Sukoharjo, 1 Januari 2008
Haris Firdaus

3 comments:

Anonymous January 3, 2008 at 5:55:00 PM GMT+8  

dari sisi filmnya ni RIs. Crash kan masuk film terbaik ,tapi filnya nurutku tdk menghibur, beraat, dan suram. spt mosaik-mosaik , btw tky tulisnnya, maaf nggak bisa lama ni, lagi sakit.

Haris Firdaus January 4, 2008 at 10:18:00 AM GMT+8  

iya, mngkn emang berat mbak. tapi menurutku bagus lho. ktjadi punya banyak referensi tambahan. km sakitapa mbak?

Anonymous January 4, 2008 at 7:09:00 PM GMT+8  

sakit masuk angin, kedinginan ..lagian masuk ke comment kdg susah, ya sih film terbaik Oscar, banyak film terbaik oscar yg kurang mghibur seperti english patient, out of africa , dll

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP