DKS Oh DKS...

>> Wednesday, January 9, 2008




Seorang kawan mengirim surat elektronik ke saya. Isinya, sedikit di luar dugaan: meminta info soal Dewan Kesenian Surakarta (DKS). Saya agak kaget, karena bagaimanapun sebenarnya saya bukan orang yang tepat untuk dimintai info itu. Selang beberapa hari kemudian, seorang kawan lain bertanya di “buku tamu” blog saya: mana tulisan saya tentang DKS? Saya jawab pertanyaan itu: DKS itu isu yang agak tegang sehingga malas saja menulis tentang itu.

Tapi setelah saya pikir-pikir, mengingat juga bahwa saya harus menjawab pertanyaan kawan lewat email tadi, saya putuskan untuk menulis juga tentang DKS. Tapi Anda yang membaca harap maklum: info tentang DKS di tulisan ini barangkali tidak up date lagi karena saya sudah lama tak mendengar soal itu. Juga, pengetahuan saya tentang DKS sebenarnya hanya bersumber dari pertemuan dengan beberapa kawan di Buletin Sastra Pawon dan saat menghadiri sarasehan di Balaikota pada 23 Desember 2007 lalu, serta membaca beberapa berita seputar isu itu.

Perkenalan saya dengan isu pendirian DKS diawali dengan membaca beberapa berita di harian yang terbit di Solo. Wacana tentang berdirinya sebuah lembaga yang mengoordinasi kesenian dalam lingkup kotamadya itu memang telah cukup lama menggelinding sejak tahun 2007 mendekati masa akhir. Meski begitu, isu itu sempat berputar-putar, simpang siur, dan tak mengalami kejelasan. Dalam sebuah pertemuan di Rumah Sastra, saya sempat mendengar kawan-kawan Buletin Sastra Pawon membicarakan isu itu. Pembicaraan yang berlangsung dengan tegangan-tegangan dan sekaligus humor-humor panjang itu agaknya tak menghasilkan “apa-apa”. Beberapa kawan secara bulat mendukung pendirian DKS, meski beberapa lainnya menolak.

Beberapa hari kemudian, saya hadir di Sarasehan “Menggagas Dewan Kesenian Surakarta” di Balai Tawangarum, Balaikota Solo. Sejumlah kawan dari Buletin Sastra Pawon hadir di sana untuk “memantau situasi”. Dalam sarasehan itulah segala spekulasi dan prasangka yng beredar di kalangan seniman Solo mulai mendapat jawaban. Walikota Solo Joko Widodo hadir langsung dalam acara itu dan memberi sebuah penjelasan yang cukup mengenai kenapa DKS mesti ada.

Intinya, walikota ingin agar kelompok-kelompok kesenian yang kecil-kecil di Solo bisa berkembang dan mendapat wadah untuk mendorong kemajuan mereka. Adapun proses pendirian DKS sendiri diserahkan sepenuhnya pada para seniman dan walikota tak ingin ikut campur. Jokowi juga menegaskan bahwa pendirian DKS saat ini tak ada sangkut pautnya dengan DKS pada tahun-tahun sebelumnya yang bermasalah. Keinginan mendirikan DKS adalah sebuah keinginan untuk memajukan kesenian di Solo. Itu saja. Titik.

Setelah Jokowi selesai berbicara, sejumlah penanya membanjir. Penanya pertama adalah Murtijono, mantan Pemimpin Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), yang mengusulkan perlunya “fit and proper test” untuk calon pengurus DKS. Hal itu untuk menghindari masuknya orang-orang yang komitmennya terhadap kesenian diragukan. Usulan Murtijono ini, barangkali, terkait dengan profil orang-orang DKS pada tahun sebelumnya yang secara umum diragukan. Jokowi menanggapi usulan itu dengan bertanya balik: “Pak Murti, bagaimana cara melakukan ‘fit and proper test’ itu?” Murtijono menjawab bahwa test itu cukup diwujudkan dengan “sebuah obrolan antara walikota dengan calon pengurus DKS”.

Penanya selanjutnya adalah Suprapto Suryodarmo, seniman tari senior asal Solo, yang menanyakan “terburu-burunya” pendirian DKS. Memang sempat beredar isu bahwa DKS harus terbentuk pada Desember 2007. Tapi isu itu dibantah Jokowi: sekali lagi ia menyerahkan pada para seniman di Solo yang hadir dalam acara itu kapan DKS akan terwujud.

Setelah Mbah Prapto, giliran Joko Bibit, seniman teater yang masih muda dan terlihat “galak”. Bibit maju ke depan, sambil membawa kertas. Sebelum mulai bertanya, ia sudah menyanggah peringatan Kastoyo Ramlan—yang pagi itu jadi moderator—untuk bicara hanya sebentar: “Mohon maaf, tapi saya tidak mungkin bicara hanya sebentar!” Lalu Bibit mulai “beraksi” dengan mengeluarkan kritik-kritik keras pada orang yang mengurusi DKS lama yang nama-namanya tak perlulah disebut dalam tulisan ini—karena kritik Bibit sangat keras dan rawan menimbulkan perselisihan lebih jauh. Bibit bahkan secara blak-blakan mengritik Dr. Dharsono (kalau tidak salah, dia seorang dosen seni rupa) yang pagi itu didaulat sebagai pembicara. Dharsono dianggap Bibit tidak mewakili para pelaku seniman karena ia seorang akademisi yang bahkan “sudah lama tidak di Solo”. Perkataan Bibit yang menyerang beberapa pribadi secara langsung sempat diprotes oleh seorang peserta lainnya. Bibit menuruti protes itu dan terus bicara dengan nada tinggi yang saya lupa isinya.

Setelah Bibit, ada beberapa penanya lain yang tak saya ingat. Ketika sesi tanya jawab itu selesai, Jokowi pamit dan pembicaraan dilanjutkan dengan Dr. Dharsono yang memaparkan arahan DKS lengkap dengan bagan struktur kepengurusan. Bagian ini terasa membosankan sampai kemudian akhirnya dipending untuk makan siang. Setelah makan siang, acara berlanjut.

Suasana mulai seru lagi karena “hujan usul dan sanggahan” saat sesi pemilihan formatur DKS. Dalam sesi yang dipandu Bambang Murtiyoso ini, sedianya akan disepakati struktur kepengurusan DKS sebelum pilihan formatur digelar. Tapi pembahasan bagan struktur akhirnya ditunda, dan pemilihan anggota formatur yang berjumlah sembilan orang (kalau saya tak salah ingat) didahulukan. Pemilihan anggota formatur melalui kertas kuesioner ini terlihat tak kondusif karena hampir tak ada pengawasan yang ketat dari panitia. Seorang peserta bisa saja dengan leluasa mengisi dua kuesioner tanpa ketahuan.

Ketika penghitungan suara selesai, akhirnya beberapa nama muncul sebagai anggota tim formatur DKS. Mereka antara lain: Murtijono, Joko Bibit, Hanindawan, Suprapto Suryodarmo, Ardus M Sawega, dan nama lain yang tak saya ingat. Secara normatif, tim itu harusnya segera berkumpul untuk melaksanakan tugasnya memilih pengurus DKS.

Pengetahuan saya tentang DKS sebenarnya hanya berhenti di situ sampai kemudian saya membaca Kompas (8/1). Di sana, dalam sebuah berita yang ditulis sendiri oleh Ardus M Sawega itu, diterangjelaskan tentang rencana pemilihan pengurus DKS yang akan diadakan dengan sistem terbuka dan langsung. Siapapun berhak mencalonkan diri dan penentuannya akan dilakukan melalui uji kelayakan dan kepatutan. Hal tersebut dilakukan demi teruwujudnya DKS sebagai lembaga kesenian yang kepengurusannya ditentukan secara demokratis dan organisasinya dijalankan secara terbuka, transparan, dan akuntabel.

Poin-poin yang dijabarkan dalam berita di Kompas itu merupakan hasil diskusi pada Sabtu (5/1) di Wisma Seni TBJT dengan tema yang sama dengan sarasehan di Balaikota dulu. Diskusi tersebut diadakan tim formatur DKS dengan tujuan memperluas aspirasi yang masuk tentang DKS. Dalam forum itu, meski keberadaan DKS jelas sudah di depan mata, tetap saja ada yang berpendapat bahwa lembaga itu tak perlu sama sekali atau tak akan berpengaruh dalam kehidupan kesenian di Solo. Yah, bagaimanapun, mengatur seniman itu memang sulit. Apalagi, menyatukan seluruh pendapat mereka. Barangkali, itu hal yang mustahil.

Sukoharjo, 8 Januari 2008
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP