Pragmatisme dan Pilihan yang Tak Ada
>> Monday, January 14, 2008
Beberapa hari setelah membaca novel “Merahnya Merah” karangan Iwan Simatupang, akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan: membaca Iwan Simatupang adalah membaca dengan resiko dan tekad untuk bersabar. Resiko memang timbul karena dalam karya-karya pengarang kelahiran 1928 ini, cerita mengalir dengan sebuah logika yang tak biasa, jelas tidak realis, dan kadang membosankan. Menghadapi parade resiko seperti itulah, kita mesti membulatkan kesabaran, sembari menyadari bahwa penulis yang sedang berhadapan dengan kita itu bukan penulis “kacangan” yang populer karena pujian para seniornya.
Iwan yang belajar kedokteran, antropologi, dan filsafat barat adalah seorang penulis—yang barangkali mirip dengan Idrus—telah menimbulkan “kegoncangan” tersendiri dalam sejarah sastra kita. Novel-novelnya yang berciri utama muatan filsafat yang berat tentu saja menyimpang dengan kebanyakan novel Indonesia yang mengandalkan kekuatan karakter tokoh, kelogisan cerita, atau gelaran tata bahasa. Pada Iwan, karakter tokoh adalah sebuah personifikasi dari dalil filsafat tertentu. Tokoh-tokohnya sibuk dengan pikiran-pikiran, dan bukan tindakan-tindakan, sembari menjelma menjadi sosok-sosok “aneh” yang terlihat lebih “mengkilap” dari orang biasa. Meski penuh telaah filsafat, Iwan agaknya mampu berkelit dari sosok penceramah. Filsafat yang keluar di novel-novelnya, dengan teknik tertentu berhasil keluar dari jerat sebagai “nasehat”.
Mengenai kelogisan cerita, Iwan bukan penulis yang berusaha mengejarnya. Cerita-ceritanya berjumpalitan, jarang bisa bertemu dan cocok dengan logika awam kebanyakan, dan hampir mustahil benar-benar terjadi dalam dunia realitas kita sehari-hari. Terkadang, meski Iwan melukiskan ceritanya dalam sebuah dunia sehari-hari, saya menganggap bahwa cerita-cerita yang mengalir dalam novelnya adalah sebuah simbol, semacam perantara untuk sampai pada maksud tertentu.
Maka, membaca “Merahnya Merah”, saya tak ambil pusing dengan berbagai “ketidaklogisan” cerita di sekujur tubuh novel, karena ada hal lain yang harus diberi perhatian pada cerita-cerita macam begini. Detail pikiran tokoh, yang lebih banyak kita temukan ketimbang deskripsi latar cerita, adalah pokok utama dalam karya Iwan. Maka, gelaran tata bahasa indah juga otomatis tak terlalu masuk dalam “hitungan” Iwan. Novelnya adalah parade tata bahasa filsafat yang rumit, berat, tapi sebenarnya mengandung kelogisan yang bila berhasil kita temukan, akan menghasilkan tekstasi.
“Merahnya Merah” yang bercerita tentang dunia gelandangan di sebuah kota, adalah sebuah cerita tentang bagaimana manusia-manusia yang terhimpit dalam kehidupan yang keras ini harus bergulat dengan kondisi pragmatis untuk bertahan hidup. Pergulatan terhadap hidup yang otomatis membuat mereka menjadi orang-orang yang pragmatis telah mendorong mereka—pada titik tertentu—menjadi semacam “filsuf” yang berusaha melakukan penalaran tertentu agar hidup yang mereka jalani sekarang bisa mereka terima dalam batiniah yang terdalam, dan kalau perlu, mampu menimbulkan kebahagiaan tersendiri.
Beda dengan banyak cerita yang berlatar kemiskinan lainnya, “Merahnya Merah” adalah sebuah kabar yang memberi tahu kita betapa manusia-manusia dari strata ekonomi bawah—termasuk para gelandangan—adalah juga pribadi yang tak hanya berurusan dengan soal praktis sehari-hari, tapi juga berurusan dengan pertentangan-pertentangan dalam hati mereka yang terdalam. Cuma, pergulatan hidup sehari-hari memang tak memberi waktu banyak pada mereka untuk lama-lama merenung sebab perut harus diisi dan kelamin mesti dipuaskan. Maka, perenungan pada mereka bisa menjelma menjadi semacam “anti perenungan”: mereka sudah tiba pada satu kondisi di mana mereka beranggapan bahwa pikiran-pikiran yang tidak praktis sama sekali tidak berguna. Bagi mereka, tak ada gunanya mencoba bergulat dengan kontradiksi dan logika, meski kesimpulan itu mereka dapat justru setelah bergulat dengan kontradiksi, logika, dan barangkali semacam “filsafat”.
Bagi salah seorang tokoh dalam novel itu, yang bernama “pak centeng”, manusia, terutama yang terimpit kesulitan ekonomi, adalah makhluk yang seharusnya—tidak boleh tidak—harus pragmatis. Mereka hidup dalam sebuah logika di mana satu-satunya yang berarti adalah “tetap hidup” dan “tidak mati”. Segala upaya untuk menemukan kesejatian hidup dalam filsafat yang rumit, adalah kesia-siaan bagi mereka sebab pokok soal mereka bukanlah “apakah hidup mereka bermakna”, tapi “apakah besok saya masih bisa hidup”. Jadi, buat apa jika hari ini kita menemukan makna hidup namun perut kita kelaparan, dan esok hari kita pamit pada dunia?
Pergulatan hidup yang dialami pak centeng telah membuat ia menjadi orang yang praktis: hidup dengan hati yang digembirakan, bicara dengan kalimat-kalimat singkat yang menandakan kesederhanaan tata pikir dan bahasanya, serta berbuat serajin-rajinnya karena ia memang hendak menjadi “manusia yang berbuat”.
Apa yang dianut pak centeng kontras dengan apa yang dianut oleh tokoh utama “Merahnya Merah” yang diberi identitas oleh Iwan sebagai “tokoh kita”. Meski sama-sama penghuni sebuah perkampungan gelandangan—dan bahkan “tokoh kita” jauh lebih miskin daripada pak centeng—tapi penyikapan terhadap renungan jauh berbeda. “Tokoh kita” adalah orang yang hidup dengan perenungan-perenungan dalam. Ia bicara dengan kalimat-kalimat panjang, penuh bumbu filosofis, dan aturan logika yang ketat. Jangankan para gelandangan yang ada di sekitar “tokoh kita”, para pembaca novel ini—yang jelas bukan gelandangan saja—mungkin akan kesulitan mengikuti ketetatan logika serta dalil-dalil silogisme yang bertebaran dalam pembicaraan si “tokoh kita”.
Pergulatan dan ketegangan antara “tokoh kita” dan pak centeng, di bagian pertengahan novel, mencapai klimaksnya ketika pak centeng menjadi sangat terganggu dengan cara bicara “tokoh kita” yang menggunakan kalimat-kalimat panjang yang rumit. Ketegangan itu terjadi manakala pak centeng menemukan dirinya tak nyaman berhadapan dengan orang dengan gaya bahasa seperti itu. Bagi dia, gaya bahasa itu rumit, tapi terlebih lagi mengingatkan ia pada apa yang saya sebut sebagai “perenungan”.
Ketegangan yang bermula dari ketidakberhasilan pak centeng dan kawan-kawannya menemukan Fifi—gadis 14 tahun, gelandangan, jatuh cinta pada “tokoh kita”—yang tiba-tiba saja menghilang itu terus bertambah sampai akhir cerita. pak centeng yang memuja “kesuksesan” sebagai “moral dan filsafat hidupnya” menemukan dirinya kini mengidap suatu kegagalan. Tak ditemukannya Fifi olehnya dalam sebuah pencarian panjang telah mengakibatkan ia kebingungan untuk berbuat apa. Kebingungan itulah yang ia benci karena ia adalah “manusia berbuat”.
Dalam kekalapan akan kebingungan harus berbuat apa itulah ia melampiaskan kebenciannya pada “tokoh kita” yang ia anggap sebagai kontras yang pas dengan dia. pak centeng adalah jagoan yang disegani, sekaligus “manusia berbuat”, “manusia konkret”, yang seharusnya lebih tinggi kelasnya daripada “tokoh kita” yang hanya gelandangan, sekaligus “laki-laki yang suka bicara dalam langgam gagap dan kikuk dibikin-bikin” yang arti pembicaraannya hanya “langit biru yang tahu”. Tapi kebencian itu juga dilandasi oleh sesuatu sederhana: kecemburuan pak centeng karena “tokoh kita” ternyata mendapat perhatian dan dicintai oleh dua perempuan sekaligus, yaitu Fifi dan Maria—tokoh pelacur eksentrik yang mantan calon juru rawat.
Kisah “Merahnya Merah” yang menegang setelah hilangnya Fifi, kemudian Maria, lalu “tokoh kita”, berakhir dengan sebuah cerita yang menimbulkan perenungan tentang arti gelandangan dan kaum miskin. Para pejabat kota yang terbiasa dengan kematian dan hilangnya gelandangan tiba-tiba disibukkan oleh hilangnya tiga orang dari strata itu—Fifi, Maria, dan “tokoh kita”—karena para pejabat keamanan itu ternyata mantan rekan “tokoh kita” di masa revolusi dulu. Pencarian yang mereka lakukan demi menemukan tiga orang itu sia-sia sampai kemudian “tokoh kita” muncul dan menerangkan perihal kehilangan tiga orang tadi.
Cerita berakhir dengan matinya “tokoh kita” dan pak centeng yang diiringi oleh berlanjutnya kehidupan kaum gelandangan di perkampungan itu seperti biasa. Sebuah adegan penuh drama yang diakhiri dengan anti klimaks yang canggih. Bagaimanapun, meski keduanya adalah aktor utama dalam novel itu, kematian mereka sama sekali tak menimbulkan goncangan di perkampungan gelandangan tempat mereka tinggal sebab hidup toh harus tetap berjalan dan tak ada tempat buat sikap yang sentimentil.
Bagi saya, “Merahnya Merah” adalah novel yang—meski berukuran kecil dan hanya memiliki tebal 162 halaman—telah mengungkap begitu banyak hal. Filsafat yang berat, sikap hidup yang pragmatis, cinta yang aneh, dan kehidupan kaum gelandangan yang problematis, juga pandangan-pandangan para pejabat pemerintah tentang kaum gelandangan, bisa kita temukan dalam novel itu. Semuanya tadi diramu dalam sebuah kemampuan bercerita yang canggih dan pengetahuan filsafat yang baik. Maka, wajar kalau novel ini diklaim oleh penerbit yang menerbitkannya sebagai buku yang “kemunculannya telah ‘menggegerkan’ dunia Kesusastraan Indonesia”.
Sukoharjo, 13 Januari 2008
Haris Firdaus
0 comments:
Post a Comment