Panggil Aku Mulan Jameela Saja!
>> Wednesday, January 16, 2008
Tak ada yang benar-benar berubah dari Mulan Kwok sebenarnya, meski namanya kini telah berganti menjadi Mulan Jameela. Ya, meski pergantian nama itu mesti juga dirayakan dalam sebuah acara semacam “perkenalan” yang disiarkan langsung di sebuah stasiun televisi, pada hakekatnya Mulan tak berubah. Mantan vokalis Ratu itu masih saja seorang perempuan centil dengan suara agak bindeng, suka melenggak-lenggokkan pinggulnya, sambil menggoyang-goyangkan kakinya membentuk huru x, dan senang mendesah-desah.
Kalaupun kemudian namanya mesti diganti, barangkali itu hanya semacam penegasan sebuah identitas. Agaknya Mulan ingin melepaskan diri dari citra Ratu yang selama ini disandangnya. Ia ingin membentuk sebuah identitas dan juga citra baru di benak khalayaknya. Nama “Jameela” yang agak berbau desa dan dangdut itu—dan sedikit mengandung timur tengah—barangkali adalah kontras dari kata “Kwok” yang berbau tionghoa. Maka, kita dapati juga bahwa corak lagu pertama si Jameela ini—yang berjudul “Makhluk Tuhan Paling Seksi”—juga berbau timur tengah, malah ada kata-kata senandung dalam Bahasa Arab sebagai bakcsound dalam lagu itu. Dan lihatlah video klipnya: akan kita dapati Mulan berpakaian ala penari Mesir yang penuh gemerlap.
Pilihan untuk menegaskan identitas baru dan meninggalkan yang lama, adalah sebuah pilihan yang didasarkan atas keyakinan bahwa identitas adalah barang penting bagi manusia dewasa ini. Bukan hanya bagi para artis yang kelangsungan hidupnya antara lain bergantung pada bagaimana mereka menciptakan memori di benak khalayak—yang otomatis akan lebih mudah terwujud apabila seorang artis dipersepsikan berbeda dengan artis lainnya oleh khalayak—tapi juga bagi orang-orang yang merasa terancam dengan kondisi dunia yang penuh teknologi ini.
Globalisasi, penyeragaman kultur, masuknya budaya dan modal asing, membuat sebagian manusia takut kehilangan identitas mereka di tengah semarak masuknya berbagai ragam identitas baru. Ketika kita tak mudah lagi membedakan diri kita dengan orang lain dilihat dari unsur-unsur budaya yang paling umum dan paling tampak secara fisik—seperti pakaian, potongan rambut, cara bicara, atau bahkan nama—sebenarnya kita sedang mengalami ancaman eksistensi diri. Pada titik itulah, kita mesti mencari sebuah “pembeda”, semacam karakter unik yang akan mengingatkan bahwa diri kita berbeda dengan orang lain di sekitar kita.
Lalu kita lihat orang-orang lari pada fundamentalisme agama, atau gaya hidup sok heroik yang sebenarnya palsu. Maka, kita dapati orang-orang seperti Imam Samudra yang merasa perlu memberi batas antara diri dan kelompoknya dengan orang-orang di luar mereka. Juga, kita dapati orang-orang yang mau dibujuk rayu buat memasuki aliran-aliran seperti Al Qiyadah yang lucu itu. Kita dapati pula anak-anak muda yang bergabung dengan geng-geng jalanan yang berpakain aneh, berambut mohawk, atau memakai rantai-rantai di sekujur pakaian mereka. Semua itu—baik ritual-ritual tertentu pada aliran-aliran keagamaan, atau gaya pakaian anak geng jalanan—barangkali mencerminkan perasaan untuk melarikan diri pada hal-hal yang secara ekstrem berbeda dengan lingkungannya, guna mencapai keinginan bawah sadar menjadi orang yang “berbeda”. Sekali pembedaan ditemukan, dan batas dengan orang lain didirikan, orang-orang itu akan merasa aman, merasa sudah menemukan “jati diri”, atau menemukan sebuah ideologi yang diandaikan akan dianutnya sehidup semati.
Pada Mulan, hal yang sama tampaknya juga terjadi, meski penegasan identitas itu adalah, tentu saja, demi motif ekonomi. Di dunia bisnis hiburan hal itu wajar. Dalam bisnis, sudah lama memang ada sebuah kesadaran untuk membangun sebuah identitas tertentu, agar mudah diingat konsumen. Tapi keberanian Mulan untuk mengganti brand identity yang selama ini disandangnya, dan kemudian menggelar acara untuk mengenalkan identitas baru itu, adalah sebuah “terobosan”.
Sebab, selama ini kita hanya mengenal acara-acara perkenalan identitas baru yang diselenggarakan oleh sebuah perusahaan. Dalam dunia keartisan, perombakan identitas secara terus terang dan kemudian menggelar acara guna melaunching identitas itu—seperti yang dilakukan Mulan—jarang sekali terjadi.
Perubahan identitas dan peluncuran identitas baru di televisi yang dilakukan Mulan juga seolah menegaskan bahwa artis merupakan “produk” dan bukan subjek yang melakukan produksi dalam dunia hiburan.. Dalam “Peluncuran Mulan Jameela” seolah hendak ditegaskan bahwa Mulan hanyalah sebuah produk yang mudah saja diganti identitasnya demi meraih keuntungan lebih banyak. Sebagaimana layaknya sebuah produk, Mulan perlu diluncurkan, perlu mendapat endorsement, dan ucap basa-basi dari artis yang satu atap manajemennya dengan dia. Adegan wawancara antara pembawa acara dalam “Peluncuran Mulan Jameela” dengan Ahmad Dhani sebagai “produsen”—bukan produser lho—dari Mulan Jameela, juga menegaskan bahwa Mulan memang hanya produk. Ia harus tunduk pada Dhani yang menjadi “produsennya”.
Begitulah agaknya gambaran dunia hiburan kita yang makin “kejam”. Untuk bertahan agar tetap bisa tampil di panggung dan mendapat uang, seorang artis akhirnya rela dijadikan sebagai sebuah “barang” yang kehilangan otonominya karena sebagian besar tindak-tanduknya adalah selamanya demi kepentingan bisnis. Barangkali akan tiba suatu masa di mana sebagian besar tingkah laku seorang artis—bahkan dalam lingkupnya yang pribadi—akan menjadi sebuah komiditi yang mesti memperhitungkan kalkulasi permintaan-penawaran.
Mulan Jameela adalah salah satu korban yang cukup mencolok tentang fenomena itu. Ia rela mengganti namanya dengan sebuah nama baru demi mendapat perhatian yang layak dari khalayak. Cuma, bisakah kita melupakan Mulan Kwok dan sepenuhnya menerima Mulan Jameela? Selama Mulan tak mengubah gaya panggungnya, saya kira orang akan tetap mengasosiasikan dirinya dengan Ratu. Dan, parahnya, asosiasi ini tak berakibat baik baginya karena sembari mengasosiasikan dengan Ratu, orang juga akan tetap ingat bahwa Mulan adalah vokalis yang “keluar” dari sebuah grup karena masalah tertentu. Asosiasi pada Ratu, akan lebih banyak memunculkan citra “negatif” ketimbang positif.
Maka, meski pergantian identitas itu bisa saja memunculkan sebuah penanda baru yang khas di benak khalayak, pergantian itu juga sekaligus bisa dicurigai khalayak sebagai sekadar ekspresi “ketakutan” Mulan—dan manajemennya?—kalau terus-menerus diasosiasikan dengan Ratu. Masalahnya, orang belum sepenuhnya lupa kalau Mulan adalah bekas vokalis Ratu dan barangkali masih terus mengaitkan citra diri keduanya. Jadi, sebuah perubahan yang tak frontal tentu saja tak cukup. Barangkali, diperlukan sebuah “revolusi” untuk benar-benar menjadi Mulan Jameela.
Sukoharjo, 15 Januari 2008
Haris Firdaus
0 comments:
Post a Comment