Melepaskan Diri dari Mama Laurent

>> Friday, January 11, 2008




Semua yang saya lihat dengan mata batin hanya gambaran untuk peringatan saja. Semuanya bergantung pada manusianya. Kalau mereka mawas diri, berhati-hati, dan rajin berdoa pada Sang Pencipta, ramalan saya bisa meleset. (Mama Laurent)

Kalau setiap bulan diadakan pemilihan “Tokoh Paling Populer Bulan Ini” di Indonesia, bulan Januari ini barangkali yang terpilih—atau minimal masuk nominasi sepuluh besar— adalah Mama Laurent. Bagaimana tidak, perempuan yang sudah cukup berumur dan berprofesi sebagai peramal ini adalah figur yang rajin sekali muncul di media massa baik televisi maupun media cetak bulan ini.

Seperti awal-awal tahun yang lalu, Mama Laurent memang banyak diwawancarai tentang apa yang akan terjadi di sepanjang tahun 2008. Meski harus bersaing dengan banyak paranormal lain—seperti Ki Joko Bodo—yang juga kerap muncul di televisi, popularitas Mama Laurent agaknya tak terkalahkan.

Tabloid Cempaka Edisi 3-9 Januari 2008 menyebut popularitas Mama Laurent tak bisa ditandingi paranormal lain dalam hal urusan meramal. Hal ini, mungkin karena apa yang dikatakan Mama Laurent seringkali menemukan “pembenar”. Tahun lalu, “Si Mama” pernah meramal akan ada selebritis muda yang mati mengenaskan. Lalu, publik dikejutkan dengan kematian Alda Risma yang memang mengenaskan itu. Sebagian pihak yang percaya pada urusan ramal-meramal, seperti merasakan “keampuhan” Mama Laurent.

Maka, di awal tahun ini, figur Mama Laurent adalah figur peramal yang dicari untuk melakukan prediksi terhadap kejadian-kejadian di sepanjang tahun. Tabloid Cempaka adalah salah satu tabloid yang dengan berlebihan memuat wawancara dengan Mama Laurent tentang berbagai prediksi persitiwa yang akan terjadi. Dengan mengintrodusir “kelebihan” Mama Laurent terlebih dulu, tabloid yang “nggak banget” ini kemudian membahas secara panjang dan lebar tentang berbagai prediksi “gejolak sosial-ekonomi di tahun 2008”. Duh, ternyata tabloid yang agaknya cuma disukai “ibu-ibu dan mbak-mbak kurang kerjaan” ini perlu juga menggunakan frasa keren yang kedengaran ilmiah seperti “gejolak sosial-ekonomi” di dalam sajiannya tentang ramal-meramal yang sebenarnya sangat “katro” itu.

Selain masalah penggunaan frasa sok keren untuk masalah yang sama sekali tidak keren itu, yang juga membuat saya geleng-geleng kepala sambil tertawa kecut adalah tulisan hasil wawancara dengan Mama Laurent itu diberi judul begitu dramatisnya: “2008, Tahun Duka Cita”. Ya ya saya tahu bahwa tabloid macam Cempaka itu memang hanya mengandalkan judul yang bombastis saja untuk menarik minat orang untuk membeli dan membaca tulisan-tulisan di sana. Tapi judul seperti “2008, Tahun Duka Cita” itu bagi saya adalah sebuah judul yang manipulatif. Juga, di tengah bencana banjir dan tanah longsor yang baru saja terjadi di Indonesia, judul itu hanya akan menakut-nakuti dan membikin masyarakat tambah frustasi. Ah, media “katro” macam Cempaka pasti tak ambil pusing dengan itu.

Atau, dengan naifnya, para awak Cempaka barangkali berniat ingin memberi “peringatan” pada masyarakatnya tentang “kemungkinan” terjadinya bencana melalui tulisan itu. Kalau benar ini yang ada dalam benak para redaktur Cempaka, saya hanya bisa menarik nafas panjang untuk mengulur kesabaran. Ya, bagaimana mungkin tulisan buruk yang hiperbolis—yang hanya berdasar sebuah ramalan—itu bisa ditujukan sebagai sebuah peringatan?

Melalui tulisan tentang ramalan Mama Laurent terhadap berbagai bencana yang akan terjadi di tahun 2008 itu, Cempaka sebenarnya sedang menyumbang pada kemunduran masyarakatnya. Secara tak sadar, para pembaca sedang disuguhi sebuah atraksi tentang pola pikir jadul yang seharusnya sudah lama dicampakkan jauh-jauh. Ya, ramalan, atau apapun yang sejenis dengan itu, sebenarnya tak diterima baik oleh agama yang paling fundamentalis sekalipun, atau oleh pikiran filsafati yang paling liberal dan keranjingan, apalagi oleh pikiran waras! Yang bisa menerima hal-hal seperti ramalan hanya sikap naif dari manusia yang merasa perlu mencari pegangan dari sebuah “kekuatan yang tampak wah”.

Ya tapi mau bagaimana lagi. Media massa sekeliling kita ternyata masih dipenuhi mitos-mitos “gaib” yang dijadikan komoditi. Para peramal pun kini jadi jajaran selebritis yang rajin masuk layar infotainment. Orang-orang infotainment tak peduli apakah akurasi para peramal itu bisa dipertanggungjawabkan. Lebih dari itu, para peramal memang biasanya memasang “alasan” kalau-kalau ramalannya tidak tepat. Seperti yang dilakukan Mama Laurent dengan mengatakan: “Semua yang saya lihat dengan mata batin hanya gambaran untuk peringatan saja. Semuanya bergantung pada manusianya. Kalau mereka mawas diri, berhati-hati, dan rajin berdoa pada Sang Pencipta, ramalan saya bisa meleset.”

“Alasan-alasan” seperti itu dibutuhkan selain agar si peramal tidak malu kalau ramalannya tak terbukti, juga agar si peramal kelihatan sebagai si bijaksana yang sedang diberi mandat memberi peringatan pada manusia yang lemah seperti kita.

Duh, kalau pola pikir seperti ini yang masih saja mengepung masyarakat kita, barangkali kita tak akan pernah benar-benar beranjak jadi manusia-manusia mandiri yang tak tergantung pada hal-hal spekulatif yang naif. Kalau kita mau maju dan mandiri, agaknya sudah saatnya melepaskan diri dari Mama Laurent dan mengucap selamat tinggal padanya.

Sukoharjo, 10 Januari 2008
Haris Firdaus

4 comments:

Sang Lintang Lanang January 12, 2008 at 4:47:00 PM GMT+8  

setuju. memang sudah saatnya kita mulai sadar dengan ancaman penyakit masyarakat semacam ini....
ramal meramal, setan, dedemit, dan segala cerita tentang hal2 mistis lainnya., semuanya adalah nonsens! yang menggerogoti kinerja otak manusia...
ingat, karena berpikir, maka kita ada. kalo ada yang ngga mau berpikir??? berarti sebenarnya dia adalah tidak ada. hanya gumpalan daging yang kebetulan bernama.

Anonymous January 13, 2008 at 6:00:00 PM GMT+8  

mas lintang baca 5 cm ya? hehehehe
he Ris tunggulah blog ku yang bakal aku garap segera setelah ada mood...
tdy

Haris Firdaus January 14, 2008 at 5:42:00 PM GMT+8  

ramalan adl cermin betapa masyrakat kt tak berani menghadapi sesuatu yang belum pasti. sy suka tulisan samuel mulia di kompas minggu kemaren. menyentil kita semua!!!!

Anonymous February 10, 2009 at 2:40:00 PM GMT+8  

hahaha.. emang masyarakat kita mayoritas kayak gitu, mas. liat aja berita di TV baru2 ini tentang dukun cilik (namanya saya lupa) yang kayaknya bukan dukun. dia dikatakan dukun, mungkin dari sebutan orang2 di sekitarnya. kok ya masih banyak yg percaya ma kayak gituan?? hari gini??? kayak orang musyrik aja. mending kalo ada doa2/segala macem ritual buat penyembuhan. ini cuma dengan nyemplungin batu (tapi prakteknya ga cuma batu yg dicemlungin, tangan si dukun cilik juga ikut nyemplung) aja.. katanya, batu nya bukan sembarang batu. tapi batu yg turun dari langit. dooh.. ga logis banget deeh :P



btw, met kenal ya mas :)

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP