Ahmad Wahib yang Berlari

>> Wednesday, January 23, 2008




Malam ini beberapa kali aku terjaga. Kali ini tidurku gelisah dan haus tak terkatakan. Tidak ada air di meja makan, sedang aku ingin sekali minum, malah kepengin es. Ah, aku teringat pada Ayah, Ibu, dan adik-adikku di rumah. Tugas-tugas yang kuhadapi di Yogya dan seribu satu masalah sebagai human being yang tak selesai-selesai. Entah sampai kapan? (Ahmad Wahib, 20 Maret 1969).

Seandainya Ahmad Wahib masih hidup sampai hari ini, tentu ia sudah berada di jajaran paling depan dari pemikir pembaruan Islam di Indonesia. Dalam bayangan saya, ia tentu akan lebih terkenal ketimbang, misalnya—sekedar menyebut beberapa kawan Wahib yang sampai hari ini dianggap sebagai pembaharu Islam Indonesia—Nurcholish Majid (alm), Djohan Effendi, atau Dawam Rahardjo.

Dari catatan harian Wahib, saya tahu: ketika Nurcholish masih bercuriga pada ide-ide liberal, dan Dawam Rahardjo masih takut-takut mengadopsi pemikiran baru dalam menafsir Islam, Wahib—dan Djohan Effendi—sudah melangkah jauh. Wahib sudah menerima kemutlakan akan sekularisasi ketika Nurcholish masih mencurigai modernisasi akan dirasuki juga oleh westernisasi.

Padahal, hari ini kita mengenal Dawam sebagai pemikir liberal yang banyak ditentang kalangan Islam sendiri. Dan Nurcholish? Ah, saya kira kita semua tahu kalau dia adalah orang yang dianggap sebagai salah satu lokomotif modernisasi Islam di Indonesia. Dua orang yang sangat “hebat” inipun, ternyata ketika muda masih tertinggal dengan Wahib. Jadi, bisa bayangkan bagaimana cepatnya Ahmad Wahib “berlari”?

Sejak awal keterlibatannya di Himpunan Mahasiswa Islam di Yogyakarta dan Jawa Tengah, Wahib memang sudah menggelisahi banyak hal dalam persoalan umat Islam. Ia misalnya, sudah sejak awal tak bersepakat dengan beberapa pemikir Islam lainnya yang berkampanye tentang kesatuan umat Islam. Bagi Wahib, probelm utama dalam umat bukan masalah persatuan, tapi masalah kebodohan dan tak mampunya pemikir Islam di Indonesia saat itu mempertemukan ajaran Islam dengan pengetahuan modern macam sosiologi, antropologi, dan lain-lain.

Ide-ide liberal Wahib dan Djohan yang kemudian disebarkan lewat HMI Yogyakarta, sempat mengalami tantangan dari internal HMI sendiri dan juga dari beberapa pihak Islam lainnya. Lain dengan sekarang—di mana HMI adalah sebuah organisasi yang jauh lebih liberal—HMI di masa-masa Wahib masih aktif, sekitar tahun 1960-an, adalah organisasi yang masih cenderung “ortodoks”. Saya kira, kondisi HMI sekarang tentu tak bisa dilepaskan dari peran Wahib yang banyak mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang “menantang”.

Tapi, Wahib bukan hanya seorang pemikir: sebuah kualitas yang jarang kita dapatkan dari aktivis organisasi mahasiswa di manapun saat ini. Ia juga seorang pemuda biasa yang seringkali gelisah dalam persoalan cinta. Dalam buku hariannya yang kemudian diterbitkan dengan judul “Pergolakan Pemikiran Islam”, Wahib banyak bercerita pula tentang hal-hal pribadinya, selain tentang Islam, politik dan kebudayaan, serta dunia kemahasiswaan.

Dalam persoalan cinta, Wahib adalah pemuda yang tak terlalu berhasil. Ia banyak menderita pesimisme dalam hubungan asmara yang coba ia bangun. Banyak narasi-narasi tentang kerinduan yang tak sampai, dan bayangan-bayangan kekasih yang berkelabatan di benaknya, tapi tak menemukan obat mujarab guna menghilangkan semua itu. Wahib, yang memutuskan melakukan banyak pencarian diri, dan kemudian memutuskan mencoba mandiri secara ekonomi, banyak hidup dalam kegelisahan-kegelisahan akut. Ia sering dihantui perasaan akan ketidakpastian dalam hidupnya yang kebanyakan terus ingin mencari.

Pada tanggal 25 Nopember 1971, Wahib menulis sebuah catatan pendek tentang apa yang ingin lakukan dalam beberapa tahun ke depan. Antara lain ia menulis: “Apakah karier yang ingin saya jalani? Mengembangkan pemikiran-pemikiran di bidang politik, sosial, agama, dan kebudayaan umumnya. Oleh karena itu saya butuh studi formal lagi. Studi filsafat cukup dua tahun; antropologi dua tahun, sosiologi perlu lebih lama yaitu tiga tahun; sejarah dan psikologi masing-masing cukup setahun saja; studi ilmu politik dua tahun. Saya perlu menjalani itu agar punya asar yang kuat sebagai pemikir. Tapi untuk semua itu harus ada tempat tinggal yang memadai dan... uang tentu saja.”

Catatan singkat di atas kemudian ditutup dengan sebuah pertanyaan pada diri sendiri: “Saya kuatir rencana di atas tinggal rencana. Terlalu ambisiuskah saya?” Tak sampai genap dua tahun setelah Wahib menulis catatan yang berisi pilihan “karier”-nya itu, kita kemudian tahu bahwa ia telah meninggal. Pada 30 Maret 1973, saat malam sudah beranjak, Wahib ditabrak sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi di persimpangan Jalan Senen Raya-Kalilio, Jakarta. Saat itu ia baru saja keluar dari kantor Majalah Tempo, tempat di mana Wahib bekerja menjadi calon reporter.

Djohan Effendi melukiskan beberapa ironi yang terjadi mengiringi kematian Wahib: “Tragisnya, pengemudi motor tersebut adalah seorang pemuda, justeru bagian dari masyarakat yang begitu dicintai Wahib, pada siapa ia menaruh simpati dan harapan demi masa depannya. Lebih dari itu, dalam keadaan luka parah, ia ditolong dan dibawa ke Rumah Sakit Gatot Subroto justeru oleh beberapa orang gelandangan, bagian dari masyarakat yang beroleh simpati dan perhatian Wahib karena penderitaan mereka.”

Kematian Wahib memang sebuah kesedihan tersendiri. Wahib seolah melengkapi daftar manusia-manusia besar yang umurnya singkat. Dalam bahasa Goenawan Mohammad, manusia-manusia besar itu, mengalami kematian tubuh terlebih dulu ketimbang kematian nama. Wahib ada di barisan itu bersama dengan Soe Hok Gie dan Chairil Anwar.

Untunglah, Wahib—dan juga Hok Gie—menulis catatan harian. Dari tulisan mereka yang terserak dalam buku harian itulah kita bisa mendapat manfaat baru. Konon ketika buku catatan harian Wahib diterbitkan, muncul protes dari beberapa kalangan yang tak sepakat dengan pemikiran Wahib di buku itu. Saya tersenyum kecut mendengar riwayat macam itu: kenapa mesti takut dengan gumam-gumam seorang pemuda gelisah yang miskin dan putus cinta?

Sukoharjo, 21 Januari 2008
Haris Firdaus

1 comments:

Anonymous June 17, 2008 at 6:18:00 PM GMT+8  

Nampaknya Anda suka mimpi-mimpi. Mimpi itu sangat karena setiap innovasi baru awalnya dari mimpi. Bahkan berasal juga dari pikiran-pikiran yang "nyleneh".
Salam buat Anda yang suka mimpi. Sesekali bila Anda punya waktu, mampir ke blog saya untuk saling bermimpi
Thanks

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP