Tak Mudah Menjadi Muda

>> Sunday, December 2, 2007



Pagi sampai siang tadi saya duduk di atas sebuah karpet yang digelar di pojok kampus yang sepi. Di atas karpet dan pemandangan fakultas ekonomi kampus saya, saya bicara secara bergantian dengan beberapa mahasiswa tingkat awal. Tak terlampau banyak yang kami obrolkan, tapi obrolan-obrolan selama beberapa jam tadi seolah mengingatkan saya: menjadi pemuda saat ini adalah sesuatu yang sebenarnya tak mudah.

Kebanyakan mahasiswa yang saya temui adalah mahasiswa tahun pertama dan kedua. Mereka, saya kira, adalah pribadi-pribadi dengan ketertarikan belajar yang besar, sekaligus diberi anugerah sekian kebimbangan. Saya baca data diri mereka, dan saya temui realitas macam-macam: ada yang cita-cita terbesarnya adalah menyuarakan kebenaran, tapi ada pula yang gemar baca komik Doraemon. Ada dari mereka fasih bicara beberapa persoalan sosial, tapi ada pula yang tak bisa menyebut dengan benar apa itu “pers”.

Bagaimanapun, di zaman ini, tak mudah jadi seorang pemuda, apalagi yang mesti menyandang beban sebagai “mahasiswa”. Dari literatur sejarah, ada atribusi-atribusi gagah yang senantiasa dilekatkan pada mahasiswa: agent of change, penerus kepemimpinan, tonggak masa depan, dan lain-lain.

Faktanya, bagi saya, predikat-predikat itu tak senantiasa bisa dilekatkan pada sekian mahasiswa yang sering saya temui. Di kampus, saya lebih banyak melihat mahasiswi berpakaian ketat yang mengumbar celana dalam mereka, atau mahasiswa yang gemar merokok, dengan rambut gondrong, celana ketat, dan cara berjalan yang seolah mengatakan, “Saya adalah seorang yang paling hebat!”

Pemandangan ini adalah pemandangan jamak yang hampir bisa ditemukan di barisan perguruan tinggi manapun. Kalau dulu Universitas Indonesia menghasilkan mahasiswa macam Soe Hok Gie yang catatan hariannya meruapkan banyak pikiran brilian, sekarang universitas itu adalah milik mahasiswa putra pejabat yang kuliah naik mobil dan pergi keluyuran sehabis kuliah. Realitas sudah berganti, dan saatnya mungkin menyambut genenrasi baru mahasiswa.

Saya tak tahu apakah predikat “agent of change” sudah saatnya digusur dari perbendaharaan kita. Saya juga tak tahu apakah sebaiknya seluruh organisasi gerakan mahasiswa dibubarkan saja dan diganti dengan kelompok senang-senang tanpa ideologi. Bagi saya, realitas pemuda Indonesia saat ini adalah realitas dengan sekian paradoks dan kebingungan.

Di satu sisi, Oktober lalu, kita lihat barisan pemuda berkumpul dan mencanangkan ikrar yang “aneh-aneh” untuk memerbaiki bangsa. “Sudah saatnya generasi tua undur diri dan yang muda diberi kesempatan unjuk diri,” demikian kira-kira kata mereka. Bagi para pemuda dari sekian profesi itu, kepercayaan bahwa pemuda adalah tiang perubahan bagi sebuah bangsa masih merupakan sebuah kebenaran. Saya tak tahu, apakah para pemuda yang senantiasa optimis terhadap “kepemudaan” mereka itu mau mengakui realitas lain dari “kepemudaan”: jalan-jalan, perkelahian, minuman keras, apatisme.

Realitas lain itu adalah sisi kedua. Sumpah Pemuda Oktober lalu adalah sejarah yang sudah lewat bagi para pemuda yang berada pada sisi ini. Upacara tentu saja tidak diperlukan. Refleksi tentu saja akan mengundang cemoohan. Sebab, “kepemudaan” barangkali semacam fase transisi saja dari remaja menuju dewasa. Dan dewasa berarti hidup mapan dalam sebuah keluarga hangat yang terbatas. Saya selalu melihat banyak mahasiswa sekitar saya yang akhirnya jatuh para rutinitas hidup. Bagi mereka, “kepemudaan” adalah semacam omong kosong karena hal itu buat mereka hanya semacam fase, semacam penggal yang mau tidak mau mesti dijalani.

Saya tahu, barangkali saya masuk pada sisi kedua. Saya toh mahasiswa yang lebih banyak menghabiskan hidup dalam rutin. Maka, saya pun tak hendak memberi penilaian moral apa-apa terhadap para mahasiswa seperti ini. Toh, keinginan untuk senang-senang sama sekali tak berkebalikan dengan hasrat untuk melakukan perubahan. Mahasiswa yang hedonis sekalipun akan mampu ikut demonstrasi jika syarat-syarat tertentu terjadi. Realitas reformasi membuktikan itu. Beberapa kajian budaya menunjukkan mahasiswa-mahasiswa yang ikut demonstrasi pada Mei 1998 adalah mereka yang gemar pergi ke klab malam, sambil memakai sepatu hak tinggi, dan pakaian terbuka.

Pada Mei 1998, realitas “kepemudaan” memang campur aduk. Identitas menjadi sesuatu yang kabur sebab pemuda dihadapkan pada semacam musuh bersama. Aktivis-aktivis gerakan mahasiswa saat itu bisa berkolaborasi dengan aktivis masjid kampus dan pemuda-pemuda penggemar minuman keras. Identitas, dalam sebuah kermunan yang berhadapan dengan pihak bersama yang dimusuhi, menjadi terpinggirkan. Mahasiswa dan pemuda jadi penanda paling penting. Penanda lain dimasukkan ke kantong celana dan dikeluarkan kelak ketika zaman sudah berganti.

Zaman yang berganti itu adalah saat ini. Ketika identitas dari masing-masing kelompok pemuda menjadi tajam, dan ikut dipajang beramai-ramai. Kampus adalah sebuah etalase dari identitas itu. Ada pluralisme nilai yang terbentuk karena pameran orientasi nilai yang menghadirkan sekian peminat. Ideologi disebar ke manapun, sekaligus dipahami sedikit-sedikit, dan barangkali hanya sebagai pembeda. Tapi ada pula mahasiswa yang tak peduli pada ideologi, dan menjalani hidup dengan rutin yang tak terefleksi. Mereka pun akhirnya menemukan identitas tersendiri.

Saya temukan identitas-identitas itu pada mahasiswa-mahasiswa tingkat awal yang saya ajak berbincang pada pagi sampai siang tadi. Mereka, saya kira, adalah pribadi-pribadi dengan sekian tegangan dan tarik-menarik pengaruh dari begitu banyak sumber informasi yang mengepung mereka.

Sukoharjo, 1 Desember 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP