Sebuah Fiksi Ilmiah yang Bangun dalam Diskusi

>> Thursday, November 29, 2007



Saya duduk dalam sebuah diskusi tentang pemanasan global sebagai moderator. Pembicaranya ada tiga: seorang perempuan berambut pendek yang bekerja untuk sebuah LSM lingkungan, seorang pria dengan baju sederhana dan tampang agak kusut yang bekerja sebagai dosen ilmu tanah, dan seorang birokrat berseragam yang berkantor di sebuah lembaga yang terkait dengan pengelolaan sungai.

Saya bukan seorang yang terlalu paham dengan apa yang sering disebut sebagai “pemanasan global” oleh para aktivis lingkungan itu. Sebagai mahasiswa, saya lebih sibuk berurusan dengan hal-hal lain di luar isu lingkungan dan kelestarian alam. Makanya, ketika ditawari teman untuk menjadi moderator dalam diskusi itu, saya iyakan saja karena saya ingin lebih tahu banyak soal isu lingkungan itu. Tentu saja, saya telah mewanti-wanti pada teman saya: tolong beri saya bahan bacaan.

Teman saya memang menyodori saya beberapa buku dan selembar TOR sehari sebelum diskusi dilakukan. Tapi buku-buku itu tak sempat saya baca lebih jauh kecuali saya tahu bahwa isinya secara global saja. Dari bekal yang sedikit itulah akhirnya saya harus menghadapi tiga pembicara dengan pengalaman masing-masing yang cukup lama di bidang lingkungan.

Maka, saya dibuat bengong saja ketika para pembicara bicara soal pencairan es, abrasi, pengurangan air tanah, serta tetek bengek lainnya. Saya hanya takjub ketika seorang pembicara menggeber banyak data soal perubahan iklim dan dampaknya. Konon dalam 50 tahun ke depan akan terjadi pencairan es besar-besaran di kutub sehingga banyak pulau yang akan tenggelam dan daerah pesisir pantai di Indonesia akan terkena dampaknya pula. Konon pula, pemanasan global membuat banyak nyamuk berbahaya berkeliaran terutama di daerah dekat sungai. Nyamuk yang menyebar demam berdarah dan malaria adalah dua spesies yang akan berkembang pesat dalam iklim yang seperti ini.

Saya seperti tak percaya mendengar semua itu. Rasa-rasanya saya baru mendengar sebuah kisah fiksi ilmiah saja. Ketika seorang pembicara mengeluarkan pendapat tentang kemungkinan daerah-daerah pesisir pantai di Indonesia akan tenggelam dalam 50 tahun lagi, saya bayangkan sebuah desa yang penuh manusia tiba-tiba ambles ke laut. Dalam bayangan saya itu, ada banyak anak yang menangis, ada banyak ibu yang kehilangan, dan ada banyak ayah yang tiba-tiba jadi tak perkasa lagi. Saya bayangkan laut pesisir Indonesia penuh manusia, dengan barang-barang seperti almari, meja makan, kursi, serta peralatan dapur, di sekelilingnya.

Saya bayangkan semua itu dan tiba-tiba saya tahu: bayangan macam itu adalah bayangan tentang sebuah cerita yang menggoda sekaligus tentang bencana manusia yang mengerikan. Barangkali, jika 50 tahun lagi hal itu akan terjadi, maka manusia akan mirip ikan-ikan kecil yang dihela arus deras sebuah ombak. Mereka sempoyongan, tubuhnya bergerak tak tentu, dan akhirnya mati karena kembung kehabisan napas. Dalam kondisi seperti itulah manusia hanya semacam barang yang tak berguna.

Ketika si pembicara itu bicara lagi soal nyamuk yang menyerang pemukiman dekat sungai, saya bayangkan serangga-serangga raksasa dengan sayap hitam yang menjijikkan, dan tubuh yang berlendir tiba-toba datang dari sebuah tempat. Mereka terbang berkelompok dengan racun di mulut mereka, dan alat hisap yang siap membuat manusia terinfeksi. Saya bayangkan, ketika mereka memasuki sebuah desa, para penduduk akan kalang kabut. Para penduduk akan berlari kocar-kacir, tak karuan, karena coba menghindar dari serbuan serangga raksasa yang bisa terbang dengan tubuh yang menjijikkan.

Manusia berteriak minta dan tolong, tapi semua seakan paham: riwayat manusia melawan serangga terbang raksasa adalah riwayat dengan banyak korban di pihak manusia. Maka, tak ada yang bisa dilakukan kecuali lari.

Untunglah, fiksi ilmiah yang saya angankan tadi cepat selesai. Para pembicara menyentak lamunan saya dengan sebuah harapan. Meski, kita tahu, harapan dalam keadaan itu hadir sebagai sesuatu yang rewel: ia membutuhkan banyak kata, dengan sekian langkah yang tak selesai dalam sekali gebrak, dan yang penting adalah mengingat bawa harapan harus dipelihara dengan diam-diam, di manapun masih mungkin ia hidup.

Ya, para pembicara dalam diskusi yang saya moderatori itu mengingatkan bahwa manusia bisa melakukan banyak hal untuk mencegah kerusakan lingkungan yang kini telah mulai. Perang melawan bencana di masa depan mesti disusun dari sekarang, dengan strategi yang jelas tak mudah, dan biaya serta konsentrasi yang tentu tak sedikit. Tapi langkah-langkah besar bisa dimulai dari sekian langkah yang kecil yang menyatu pada satu titik. Ketika langkah-langkah cebol itu bertemu, langkah lebih besar akan muncul, dan harapan bukan lagi mimpi di siang bolong.

Itulah kenapa seorang perempuan dari LSM lingkungan yang jadi pembicara tadi mengingatkan bahwa efektivitas perang melawan bencana masa depan akan ditentukan oleh langkah-langkah di level individu. Mulailah menyadari bahwa ada yang bisa kita lakukan buat mencegah kerusakan lingkungan, demikian kira-kira katanya.

Saya percaya pada kata-katanya. Saya percaya bahwa tekad individu adalah sebuah hal minimal yang bisa kita sumbangkan apabila hendak ikut dalam gerbong perang itu. Jadi, kalau Anda suatu kali melihat saya membuang sampah sembarangan, tolong ingatkan saya bahwa saya pernah menulis tulisan ini. Dijamin, kalau Anda berhasil mengingatkan saya, sampah yang hendak saya buang tadi pasti saya akan masukkan ke tempatnya. Dan Anda, sebagai orang yang telah berjasa dalam hidup saya, besar kemungkinan akan diabadikan melalui sebuah kisah di blog ini. Nah, ada yang hendak mencoba?

Sukoharjo, 26 Nopember 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP