Lebaran dan Imajinasi yang Berbau Film India
>> Tuesday, October 16, 2007
Lebaran bisa berarti banyak hal. Yang paling klise tentu sebagai sebuah hari di mana "kita akan jadi suci kembali, tanpa dosa". Perlambang demikian sebenarnya memiliki kesulitan tersendiri untuk diterima. Tapi mungkin ia hadir sebagai semacam "hasrat yang optimis" dari masyarakat kita, atau mungkin sebuah doa. Tapi kita juga tahu bahwa lebaran adalah hari yang sibuk bagi kaum muslim yang datang dari kelas menengah ke atas. Ia bisa berarti baju baru, kue-kue kering yang ditata dalam toples, silaturahmi penuh formalisme yang membosankan, atau bisa juga diartikan sebagai duit yang datang tiba-tiba dari nenek atau kakek.
Lebaran, bisa pula sama dengan capek. Ya, capek karena tiap lebaran hampir pula berarti kita naik kendaraan, bepergian jauh, mampir ke banyak tempat, lalu pulang larut malam. Di tempat-tempat itu, kita datang dengan senyum yang sebenarnya dipaksakan karena sebenarnya kita telah kecapekan dan malas untuk tersenyum, kemudian dengan malu-malu mencicipi makanan ringan yang dihidangkan dalam wadah-wadah kecil yang berbaris rapi di meja, sambil meminum sirup dengan takaran yang tidak pas. Sambil mengunyah makanan yang mungkin aneh itu, kita mengobrol terbata-bata, penuh rasa sungkan, dan basa-basi seolah kita adalah kelompoik saudara yang punya ikatan yang amat kuat meski masing-masing mengalami rantau yang beda.
Dan demikianlah. Kita kemudian pamit, diiringi dengan ungkapan sayang dari tuan rumah yang berkata "Kok, buru-buru, sih," selalu dengan nada sama, lalu duduk sesuai dengan formasi awal di kendaraan. Di kendaraan yang berjalan cepat karena harus mengejar waktu itu, tubuh kita berguncang-guncang karena jalan yang rusak. Sebagian kita mabuk dan memuntahkan isi perut yang telah kita makan baik-baik. Perjalanan dilanjutkan kembali, dengan rutin yang hampir sebangun. Dan kita semua tahu, kita membingkai semua itu dengan kata yang indah: silaturahmi.
Di halaman opini Harian Kompas, menjelang lebaran tiba, ada banyak artikel yang bicara soal lebaran. Sayangnya, artikel-artikel itu bicara dengan nada yang membosankan. Ia bicara dengan telaah-telaah ilmiah yang mengawang, dan penuh bombasme-bombasme yang tak perlu. Saya yang melihat artikel-artikel yang semuanya ditulis oleh orang "ahli" itu, akhirnya meletakkan kembali koran itu, dan memilih membaca opini di Kompas Jawa Tengah. Entahlah, sudah lama agaknya saya merasa bosan dengan artikel-artikel macam itu.
Mungkin, lagi-lagi harus ditandaskan, lebaran sebenarnya sebuah rutin yang membikin kita capek. Dan bombasme yang lahir dari pemikiran konteplatif macam artikel-artikel di Kompas beberapa hari menjelang lebaran itu, sebenarnya tak pernah kita temukan, setidaknya saya belum menemukannya.
Maka, lebaran adalah sebuah kisah heroik tentang dua orang yang mudik ke kampung halaman dengan sepeda motor dan kemudian kecapekan di tengah jalan dan terpaksa menginap di dekat sebuah mushola di sebuah POM Bensin. Saya temukan realitas itu di sebuah POM Bensin di daerah Sragen (sebuah kabupaten kecil dekat Solo), ketika saya dan keluarga--yang sedang melakukan "perjalanan silaturahmi"--berjenti sejenak untuk istirahat di sana.
Saya yang kemudian menuju mushola untuk sholat kemudian menemukan sebuah fakta yang agak ganjil: di dekat pintu mushola yang terbuat dari kayu dan selalu mengeluarkan bunyi yang berisik bila dibuka-tutup itu, saya lihat seorang perempuan dengan pakaian khas mudik--sebuah jaket hitam, sepasang kaos kaki, sebuah slayer yang melilit di leher--sedang berbaring di paha seorang laki-laki dengan pakaian yang hampir sama. Umur mereka jelas belum tua. Mungkin saja, baru beberapa tahun di atas saya. Dan prasangka lain saya: mereka tentulah belum menikah.
Tapi, apa urusan saya? Tentu saja tidak ada kecuali realitas yang demikian membuat saya menarik kesimpulan yang agak ganjil: bahwa lebaran adalah juga sebuah momen dengan serakan peristiwa yang beragam, tak punya arti besar secara sosial, dan bisa jadi sangat personal. Bagi dua pasangan yang saya lihat di dekat mushola POM Bensin itu, lebaran mungkin berarti kecapekan yang akut, atau hasrat cinta yang tak terbendung.
Maka, imajinasi saya bergerak liar. Saya bayangkan dua orang itu adalah dua makhluk yang saling mencintai, tapi--seperti dalam film-film India yang kita benci itu--tak mendapat restu dari orang tua si gadis. Tentu saja orang tua si gadis berharap mendapat menantu yang lebih baik: lebih kaya dan lebih bisa diandalkan. Namun, mengikuti skenario sinetron-sinetron kita yang membosankan itu, cinta keduanya tak bisa dibendung.
Saya bayangkan keduanya berencana melarikan diri ke sebuah kota yang mungkin saja belum mereka kenal dengan baik. Di sana, mereka merencanakan hidup bersama dengan cara membuka toko kelontong di depan rumah kontrakan mereka. Seiring waktu, si pria kemudian merencanakan akan melamar pekerjaan dengan ijazah SMA-nya.
Lalu mereka memilih momen lebaran untuk melarikan diri. Mungkin dengan memilih lebaran, orang tua si gadis akan kesulitan mencari mereka karena kendaraan begitu banyak bertebaran di jalan. Perjalanan pun direncanakan. Dan pada sebuah Subuh setelah malam harinya orang-orang melakukan takbiran, keduanya melarikan diri dengan sepeda motor dan pakaian khas mudik beserta bekal yang amat mereka yakini keampuhannya: cinta.
Di tengah jalan, mereka kecapekan lalu tidur di dekat sebuah mushola dengan pintu yang berisik. Sekitar jam sembilan malam, ketika mereka belum sempat tidur nyenyak, mereka bertemu dengan pemuda seumuran mereka yang membuka pintu mushola dengan berisik, sholat sebentar, lalu melewati mereka dengan pandangan penuh selidik. Di luar perkiraan mereka, pemuda penuh selidik tadi kemudian menulis di blognya bahwa ia bertemua dua pasangan heroik yang ia bumbui dengan cerita dari film India paling klise yang pernah ia dan mereka tonton.
Sukoharjo, 16 Oktober 2007
Haris Firdaus
0 comments:
Post a Comment