“Sajak Itu Sudah Bisa Disuruh Bicara Sendiri”
>> Tuesday, October 16, 2007
(Sebuah “Wawancara Imajiner” dengan Toto Sudarto Bachtiar)
Penyair Toto Sudarto Bachtiar meninggal dunia pada Selasa, 9 Oktober 2007 lalu. Penyair kelahiran Cirebon itu meninggal tiga hari sebelum ia berulang tahun yang ke-78. Publik sastra Indonesia mengenal Toto terutama dari puisi-puisi yang ia buat di tahun 1950-an. Setelah menerbitkan dua kumpulan puisi pada 1956 dan 1958, Toto sempat “menghilang” dari perpuisian Indonesia. Namanya muncul kembali tahun 2001 ketika ia menerbitkan kumpulan sajaknya yang lengkap berjudul “Suara, Etsa, Desah”. Buku terbitan Grasindo itu memuat sajak Toto dalam kurun waktu 1950-2001.
Ketika mendengar berita kematian Toto, saya berhasrat membuat sebuah tulisan tentang penyair itu. Kebetulan bulan September 2007 saya baru merampungkan tulisan tentang Toto yang arahan pembahasannya terutama ditujukan untuk mencari kecenderungan tematik dari puisi-puisinya dari tiga kurun waktu yang berbeda. Kali ini saya ingin menulis dalam tema dan bentuk yang lain. Dengan sepenuh hati, saya beranikan membuat sebuah “wawancara imajiner” dengan Toto mengenai proses kreatif dan beberapa hal lain seputar puisinya. Hampir semua bahan dari “wawancara” ini saya ambil dari Kumpulan Puisi “Suara, Etsa, Desah”. Selamat menikmati!
Haris Firdaus (HF): Puisi-puisi Anda, terutama di awal masa kepenyairan Anda, banyak berbicara tentang realitas sehari-hari dengan gamblang. Bagaimana sebenarnya proses kreatif dalam penciptaan puisi-puisi Anda?
Toto Sudarto Bachtiar (TSB): Seorang penyair yang baik adalah seorang penyair yang ingin menghidupkan sebuah dunia. Dunia baru itu adalah dunia yang memiliki ufuk yang lebih luas, dan mempu memaknakan dunia lain di luar dirinya sendiri. Saya kira, proses kreatif saya tak jauh dari hal-hal itu: menghayati sebuah dunia, lalu merubahnya dalam momen puitik yang menyentuh sehingga bisa melahirkan penghayatan yang lebih luas.
HF: Kalau begitu, bisakah puisi-puisi Anda dimasukkan dalam kategori sebagai puisi yang “realis”? Maksudnya, puisi-puisi yang berangkat dari penggal pengalaman sehari-hari yang nyata, bukan imajinasi?
TSB: Mungkin saja begitu. Tapi pengalaman yang sehari-hari itu pun harus diberi tenaga agar menjadi lebih hidup dan lebih indah. Sebuah dunia dalam puisi yang berbahan baku realitas pun tetap saja berbeda dengan dunia realitas itu sendiri.
HF: Di mana letak perbedaannya?
TSB: Dunia puisi seorang penyair, bagi saya, adalah dunia yang ditemukan setelah si penyair menempuh perjalanan yang begitu jauh dan tiada terputus-putus, dunia itu adalah dunia yang ia temukan setelah ia menjelajahi berbagai wilayah yang ia kenal maupun tak ia kenal.
HF: Kalaupun penjelajahan yang seperti itu harus dilakukan seorang penyair, apa yang mesti diingat oleh si penyair ketika ia melakukan penjelajahan itu?
TSB: Yang terpenting adalah bahwa penjelajahan itu bermakna dalam dua hal sekaligus: lahir, maupun batin. Penjelajahan itu harus mampu melahirkan pergulatan yang intens antara si penyair dengan dunia yang dijelajahinya itu. Kalau dalam penjelajahan itu penyair tak mampu menemukan apa-apa, maka penjelajahan macam itu tak akan memiliki arti apa-apa bagi dunia kepenyairannya.
HF: Dalam sebuah wawancara, Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan bahwa bahan baku puisinya yang utama adalah imajinasi. Dalam hal ini, saya melihat perbedaan yang mencolok antara Anda dengan Sapardi. Bagaimana menurut Anda?
TSB: Barangkali begitu. Tapi, hampir tiap penyair memiliki proses kreatifnya sendiri. Yang utama, mungkin, bagaimana seorang penyair memberi semacam sentuhan pada obyek yang ingin ia garap dalam puisinya. Tak peduli itu imajinasi atau realitas. Keduanya perlu disentuh.
HF: Apakah Anda ingin mengatakan bahwa sentuhan dari sosok personal penyair itu penting dalam pergulatan kreatifnya?
TSB: Ya. Keindahan puisi bukanlah keindahan lahiriah. Maka, seorang penyair tak bisa hanya menunggu sebuah obyek yang indah yang bisa ia garap jadi puisi. Obyek puitis, apapun bentuknya: suasana alam, peristiwa, masalah pribadi seorang penyair, adalah sebuah obyek yang sebenarnya netral, bebas, dan terapung.
HF: Lalu, kalau obyek-obyek itu benar-benar netral, apa yang harus dilakukan seorang penyair?
TSB: Yang harus dilakukannya kan sudah jelas: menyentuh obyek-obyek yang netral itu dengan sesuatu yang bertenaga agar permenungan dan penanggapan tentang obyek-obyek itu bisa menjadi lebih indah.
HF: Anda bisa memberi contoh yang aplikatif tentang “teori” penciptaan sajak tadi pada contoh yang real? Mungkin, Anda bisa memberi contoh sebuah proses kreatif dalam penciptaan salah satu sajak Anda?
TSB: Baik, saya akan beri contoh. Tapi ada yang perlu diingatkan dulu: proses penulisan sajak dengan proses penciptaan sajak adalah dua proses yang berbeda.
HF: Maksud Anda?
TSB: Secara ringkas, bisa disebut bahwa proses penciptaan sajak adalah proses kreatif sedangkan proses penulisan sajak hanyalah proses teknis belaka. Proses penulisan sebuah sajak, yang panjang sekalipun, tetap saja sebuah proses yang tak terlalu lama asalkan si penyair telah menguasai bahasanya sendiri. Di sisi lain, proses penciptaan sajak adalah pergulatan panjang seorang penyair. Pergulatan itu biasanya melibatkan dua proses: pertama, proses di mana penyair melahirkan gagasan atau khayalan. Kedua, proses di mana si penyair menilai gagasan dan khayalan-khayalan itu. Meski dua proses itu bisa dibedakan sebenarnya, namun ia berkelindan antara satu dengan yang lain.
HF: Sebuah “teori” yang bagus. Lalu contoh yang saya minta di muka tadi?
TSB: Saya akan memberi contoh proses pembuatan sajak saya yang paling panjang, yaitu “Ibu Kota Senja”. Sajak yang terdiri dari 7 bait dan 32 baris ini saya tulis dalam waktu kurang lebih 3 menit tanpa adanya kata yang salah tulis. Saya menulisnya tahun 1951, setelah terjaga dari sebuah tidur sore menjelang maghrib.
HF: Proses penulisan yang singkat, ya?
TSB: Ya. Tapi proses penciptaan sajak itu sendiri dimulai sekitar tahun 1950 ketika saya mulai memasuki Jakarta dan terjun dalam kehidupan dengan berbagai himpitan dan pergolakan sebagai suka dan duka bersama rakyat kecil yang sengsara.
Sajak “Ibu Kota Senja” adalah sajak tentang kehidupan rakyat kecil di sebuah kota yang sibuk. Ada banyak “aktor” yang hadir sebagai paradoks sebuah kota besar dalam sajak itu: kuli-kuli, perempuan miskin yang mandi di sungai, oto dan angkutan umum yang sibuk dengan klakson, juga gedung-gedung tinggi yang hendak menggapai langit. Sajak itu dimulai dengan bait pembuka yang seperti ini:
Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari / Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telanjang mandi / Di sungai kesayangan, o, kota kekasih / Klakson oto dan lonceng trem saing-menyaingi / Udara menekan berat di atas jalan panjang berkelokan //
HF: Contoh yang Anda beri tadi sungguh menerangkan. Pertanyaan terakhir: banyak penyair bicara tentang kematian. Sapardi, Goenawan, sampai Jokpin. Anda juga begitu kan? Saya mengenali sajak Anda yang berjudul “Tertunda” sebagai sajak yang bicara tentang kematian. Benarkah?
TSB: Sajak itu sudah bisa disuruh bicara sendiri, tanpa harus ada penjelasan dari penyairnya.
HF: Ha ha ha. Begitu ya? Baiklah, saya akan tafsirkan sajak itu sebagai sebuah pertanda akan datangnya kematian sekaligus perlawanan Anda terhadap kematian.
TSB: Silakan.
Sajak “Tertunda” dibuat tahun 1997, terdiri dari 4 bait dengan 16 baris. Sajak itu mungkin saja bicara tentang kematian yang dekat tapi tetap saja “tertunda”. Bait pertamanya berbunyi seperti ini:
Senja telah menunda perkabungan / Di pelabuhan terakhir. Belum ada / Bendera setengah tiang dan pertanda suram / Sungkawa bercadar hitam //
Ketika tahu Toto Sudarto Bachtiar meninggal, sajak itu saya baca sebagai sebuah pertanda awal tentang kematiannya. Dalam bait selanjutnya, ia menulis bahwa “ajal, betapa lembutnya, telah teraba oleh setiap jemari “ dan “dia telah begitu dekat menerpa lubuk sanubari”. Sebuah pertanda yang melengkapi semacam kehilangan, hingga akhirnya saya pun menulis sebuah sajak berjudul “Sajak Setengah Tiang”:
Senja tak lagi bisa menunda perkabungan / bahkan di pelabuhan paling awal sekalipun // Kami kabarkan sajak setengah tiang / untuk seorang pahlawan tak dikenal / dan seorang penyair yang meramalkan / ajalnya sendiri // “Sajak, adakah kematian, seperti katanya, / telah merayapi jemari, dan menusuk / sanubari paling lubuk?” // “Penyairku, kenapa selalu ada penghabisan / dalam sajakmu tentang kematian?” // Selamat jalan senja, / Semoga puisimu diterima di sisi-Nya. //
Sukoharjo, 13 Oktober 2007
Haris Firdaus
0 comments:
Post a Comment