Marquez, Kafka, Bung Pram, Maafkan Saya!
>> Thursday, October 18, 2007
Kalau Anda pernah membaca sebuah buku tapi merasa bahwa tak semua bagian dari buku itu menarik sehingga kemudian mengambil kesimpulan bahwa hanya ada bagian kecil dari buku itu yang menarik, maka Anda sama seperti saya. Saya baru saja selesai membaca sebuah buku dan mengambil kesimpulan yang demikian. Untunglah, buku itu adalah buku yang saya beli di sebuah bazar buku dengan harga 10 ribu rupiah.
Ketika saya mengambil kesimpulan yang demikian itu, sebenarnya ada yang terasa agak ganjil. Sebab tema buku itu menarik sebenarnya, terutama buat saya yang menyukai sastra. Judul buku itu: "Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis". Kita tahu, buku itu terbit pertama tahun 1999 dan ditulis Eka Kurniawan, seorang novelis dan cerpenis. Di luar dugaan saya, telaah-telaah Eka tentang Pramoedya dan realisme sosialisnya ternyata agak membosankan dan membuat saya bingung. Penjelasan-penjelasan yang ia berikan agak berputar-putar, terutama di awal ketika ia mencoba merentang apa itu realisme sosialis.
Pembahasan realisme sosialis sendiri diawali dari akar filsafat yang melandasinya: marxisme. Tapi telaah awal tentang apa sebenarnya marxisme itu pun saya kira tak cukup bagus. Memasuki bab selanjutnya, ketika Eka mencoba membentangkan sejarah realisme sosialis di Rusia, kebingungan saya bertambah. Eka berputar-putar terus, sampai akhirnya saya sendiri tak mampu mendapat gambaran yang utuh tentang sejarah realisme sosialis. Dan parahnya, saya pun tak mampu mendapat penjelasan yang memadai tentang bagaimana sebenarnya doktrin realisme sosialis di Rusia. Agaknya, Eka terlampau "text book" dan tak mampu memberi penilaian-penilaian dan penegasan-penegasan yang akhirnya membuat deretan kutipan yang bertebaran di buku itu menjadi lebih bermakna.
Ya, kutipan-kutipan yang disodorkan Eka justru malah membikin saya sebagai pembaca bingung karena kutipan itu disusun tak secara runtut saya kira. Bahkan ketika Eka berbicara sejarah sekalipun, ia tak mencoba membuat kurun waktu yang jelas. Gagasan-gagasan yang keluar dari para tokoh realisme sosialis berkelindan ke sana ke mari tanpa penjelasan kapan gagasan tersebut dikeluarkan dan rentang gagasan--yang runtut--yang berkembang dalam pemikiran realisme sosialis itu juga tak diberi penjelasan maksimal .
Tapi sudahlah. Kembali ke kesimpulan awal: masih ada bagian kecil dari buku itu yang menarik saya kira. Dan bagian buku yang saya kira menarik itu --ironisnya--adalah bagian penutup. Dan makin ironis saja karena ternyata penutup dari buku itu tak bersangkut paut dengan realisme sosialisnya Pramoedya! Bagian penutup itu justru mencoba memandang Pram dari sudut lainnya. Ia mencoba mengkritisi bagaimana proses "meroketnya" Pram setelah orde baru tumbang. Bagian penutup yang ditulis dengan gaya bertutur yang lebih ringan dan agak sinis ini, dengan cerdik justru mencoba membongkar sesuatu yang agak jarang dibicarakan dalam sebuah buku tentang penulis: bagaimana seorang penulis (dan orang di sekitarnya) membangun mitos-mitos di sekitar diri dan karyanya sehingga ia bisa terkenal dan karyanya dibaca orang bukan (hanya) karena kualitas karyanya tapi juga karena mitos-mitos tadi.
Mitos-mitos tadi, dalam kasus Pram, adalah cerita tentang bagaimana ia mengalami penahanan, penyiksaan, ketidakadilan, dan bagaimana karya-karyanya dirampas tentara. Mitos tadi kemudian dikembangkan terus-menerus hingga Pram akhirnya bisa terkenal sampai ke luar negeri dan buku "Tetralogi Buru"-nya kemudian diterbitkan penerbit multinasional. Dan Eka akhirnya berteriak tentang paradoks paling menggelikan itu: karya seorang sosialis yang tentu saja--dan memang seharusnya--anti kapitalis itu akhirnya diterbitkan oleh orang-orang kapitalis. Lebih menggelikan lagi: penerbit kapitalis itu menjual karya Pram dengan cara menonjolkan mitos bahwa Pram adalah seorang pejuang kebenaran yang didzolimi dan bahwa Pram adalah seorang sosialis--yang seharusnya (?)--anti kapitalis. Menggelikan,bukan?
Kembali ke Eka, ia melalui penutup bukunya justru berhasil dengan gemilang--dan amat sinis saya kira--menunjukkan bahwa keberhasilan seorang penulis sama halnya dengan cara berhasilnya sebuah coca-cola. Ia harus dipoles sampai penuh cahaya dan tampak seksi hingga akhirnya diidolakan dan karyanya jadi mahal. Memang tak semua harus seperti itu. Tapi begitulah yang terjadi di sekitar kita: Ayu Utami dan Dewi Lestari adalah dua makhluk yang memanfaatkan pencitraan untuk menjual karyanya. Ketika saya membaca dwiloginya Ayu misalnya, saya tahu akan ada sesuatu di luar teks dwiloginya tersebut yang akan memengaruhi penilaian dan resepsi atasnya. Entah itu perkataan Sapardi Djoko Damono yang bombastis, atau deretan puja-puji di media massa, atau kenyataan bahwa buku itu telah dicetak berulang kali. Kita memang hidup di lingkungan penuh mitos dan membaca karya pun akhirnya dipenuhi mitos itu.
Tapi Eka juga menunjukkan bahwa mitos-mitos tadi bukan hanya milik Indonesia. Dari Borges sampai Kafka dan Hemingway pun ternyata memiliki mitos-mitos yang entah dibangun dengan tujuan apa. Saya tak terlalu mengenal pengarang-pengarang barat itu (tak seperti Eka yang agaknya akrab dengan mereka) sehingga tak tahu mitos apa di seputar mereka. Tapi satu hal menggelikan pernah terjadi: saya pernah mencoba membaca terjemahan dari "Seratus Tahun Kesunyian"-nya Gabriel Garcia Marquez dan "Metamorfosis"-nya Franz Kafka dan saya akhirnya memutuskan menutup keduanya. Sebab, keduanya terlalu menjemukan, bertele-tele, dan bahasanya tidak "gue banget". Setelah saya memutuskan untuk menyudahi membaca karya-karya pengarang besar sebelum selesai, saya selalu bertanya: siapa sih yang sebenarnya salah? Apakah saya yang memang belum bisa sampai pada tingkat tertentu sehingga belum mampu menikmati karya-karya mereka? Atau, karya-karya mereka memang sebenarnya tak bagus-bagus amat? Atau, ini salah dalam proses penerjemahan saja?
Saya tak tahu. Tapi, saya berprasangka baik saja: saya lah yang bodoh sehingga belum mampu menikmati karya mereka. Jadi, Marquez, Kafka, dan Bung Pram, maafkanlah saya!
Sukoharjo, 17 Oktober 2007
Haris Firdaus
0 comments:
Post a Comment