Cepat Cembuhhh, Ya!
>> Saturday, October 6, 2007
Ketika sakit, selalu ada sebersit kebahagiaan ketika HP berbunyi dan kita mendapati sebuah sms yang mengucapkan, “Cepat cembuhhh, ya!” Ya, selalu ada senyum simpul yang otomatis keluar saat momen seperti itu terjadi. Mungkin saja kita merasa diperhatikan oleh seseorang. Mungkin pula, di saat kita menerima cobaan itu, kita merasa kok ya ada orang yang mau-maunya berbagi doa dengan kita. Pada saat itulah, kita mungkin saja sadar: bahwa kita adalah manusia yang juga punya arti bagi orang lain.
Dan, apa yang lebih membahagiakan daripada menyadari bahwa diri kita punya arti tertentu bagi orang lain? Bukankah ketika kita menyadari itu, kita kemudian menjadi tahu bahwa hidup ternyata bukan proses individu yang menyakitkan saja? Memang sih, kita sakit dan itu artinya ada bagian dari hidup yang memang menyakitkan, juga menyedihkan. Tapi, dari momen yang negatif macam itu, kita pun sadar: dalam sesuatu yang negatif, mungkin saja tersembul kebahagiaan dan rasa lega.
Ya, selalu saja ada kebahagiaan yang menyeruak ketika seorang kawan mengucapkan sebuah doa agar kita segera sembuh, meski doa itu diucapkan dengan nada yang bercanda. Mungkin diimbuhi dengan taklimat: “Dosa-dosamu sudah kumaafkan kok”, atau “Kau sakit ya? Wah, pasti kau kualat dengan aku!”. Tapi setelah pertanyaan ejekan yang tentu saja diucapkan dengan tidak sungguh-sungguh itu, selalu tersembul doa supaya kita cepat sembuh. Itu mungkin berarti kawan kita ingin segera berkumpul kembali dengan kita, bercanda lagi, saling ejek lagi.
Kadang kita pun ke-geer-an dengan sms-sms macam itu. Tapi perasaan demikian sah saja hadir. Yang juga perlu diingat sebenarnya adalah bahwa ketika kita merasa punya arti bagi orang lain, maka saat itu pula sebenarnya kita sedang mengambil kesimpulan bahwa orang lain pun punya arti buat kita. Saya percaya, ada proses timbal-balik macam itu. Tiap seorang kawan memberi perhatiannya pada kita dan kita merasa punya arti bagi dia, maka sebenarnya kita juga sedang mengatakan bahwa dia juga berarti bagi kita.
Proses demikianlah yang sebenarnya terjadi. Sebab, pada dasarnya, perhatian dari orang yang “tak punya tempat” di hati kita pun, mungkin juga tak terlalu kita hiraukan. Meski sebaliknya pun bisa saja terjadi: kita jadi sadar bahwa dia “yang tak punya tempat” itu sebenarnya diam-diam sedang membangun tempatnya di hati kita. Ya, semuanya mungkin saja, bukan?
Saya menulis semua ini karena suatu pagi ketika saya benar-benar bosan berdiam di rumah (karena sakit), saya menerima beberapa sms yang mendoakan kesembuhan saya. Di pagi yang membosankan itu, di tengah serakan buku-buku yang menghiasi kamar saya (dan selalu disebut sebagai “berantakan seperti sampah” oleh ibu saya), saya membuka sms-sms itu dengan senyum yang bahagia. Betapa baiknya kawan-kawan saya itu.
Meski sebagian besar sms itu (mungkin) dikirim dengan nada yang agak bercanda, tapi niatan tulus tetap saja kelihatan. Dan semuanya menandakan bahwa persahabatan, dan perhatian, adalah sesuatu yang indah. Juga, menguatkan. Membaca sms-sms itu, saya seperti diingatkan bahwa kesakitan dan kebosanan saya pagi itu sebenarnya hanya proses yang amat singkat, jika dibanding masa sehat saya. Seorang kawan malah dengan tegas menyarankan saya untuk “mensyukuri sakit yang saya rasakan itu” karena dengannya kita merasakan nikmatnya sehat.
Kita pernah mendengar petuah itu dilantunkan dari khutbah-khutbah agama, mungkin. Tapi membaca sms dari kawan, bagaimanapun miripnya, terasa sangat berbeda dengan mendengar khutbah seorang ustadz. Kalau saat mendengar khutbah kita mungkin merasa bahwa imbauan itu adalah imbauan yang “datang dari jauh”, maka saat membaca sms kita merasa sedang mengintimi sesuatu. Bahkan, kita agaknya sedang merasa bahwa bagian tertentu dari diri kita lah yang sedang kita baca.
HP memang sudah jadi sesuatu yang begitu dekat. Ia menemani tidur dan terkadang hadir dalam mimpi. Dan sms pun bukan lagi sesuatu yang tak akrab dengan kita. Teknologi macam itu sudah jadi bagian yang intim dari tubuh dan perasaan. Tapi, saya toh tak sedang bicara soal ekspansi teknologi terhadap manusia sekarang. Saya sedang berbicara tentang teknologi yang jadi dekat karena ia disentuh oleh kawan yang dekat dengan kita.
Maka, sambil tersenyum-senyum sendirian di kamar dengan udara yang penat, saya membaca sms-sms itu satu per satu. Saya hikmati nada-nadanya yang ceria dan bersahabat. Saya rasai nuansa persahabatan dari deret huruf yang saya baca di layar HP saya yang bahkan belum sepenuhnya berwarna itu. Saya tahu, kebosanan jadi terasa tak terlalu menyakitkan. Rasa sakit di kepala dan sekujur badan yang sebelumnya membuat saya merintih, juga sejenak mereda. Saya pada akhirnya percaya: rasa bahagia bisa sedikit meredakan sakit.
Tentu, saya mesti mengucap terima kasih pada kawan-kawan saya yang rela mengorbankan pulsanya untuk mendoakan saya. Bersama mereka, saya jadi paham: selalu ada bahagia di tengah kebosanan dan rasa sakit.
Sukoharjo, 5 Oktober 2007
Haris Firdaus
0 comments:
Post a Comment