Segepok Obrolan Setelah Buka Puasa
>> Monday, October 8, 2007
Memasuki halaman luas dengan sumur di depannya itu, saya melihat sudah banyak motor yang diparkir. Lalu, menengok ke sebuah ruangan di samping halaman itu, saya tahu kalau saya telat: sudah banyak wajah yang hadir di sana. Ada sederet penulis Solo yang nampak: Joko Sumantri, Yudhi Herwibowo, Indah Darmastuti, Wijang Wharek AM, Nur Latifa, Bandung Mawardi, Ridho Al Qodri, dan beberapa lainnya.
Segera setelah memarkir motor, saya masuk. Duduk di dekat pintu masuk, tak jauh dengan Bandung yang sedang membaca persyaratan mendapatkan program hibah di Yayasan Kelola. Di dekatnya, Joko Sumantri. Saya tersenyum pada Puitri, si tuan rumah yang mengundang saya tanpa memberitahu jam berapa mesti hadir. Lalu obrolan-obrolan terjadi. Ngalor-ngidul karena memang tak ada acara resmi. Ada yang membaca majalah, ada yang diam saja, ada yang tiduran, ada pula yang asyik bercanda.
Selepas buka bersama, obrolan menjadi lebih intensif. Mulailah terbentuk dua “kubu” obrolan. Satu “kubu” beranggotakan para penulis cerpen dan novelis: Yudhi, Nur Latifa, Indah, Abednego, Joksum, Mujadi, dan Puitri. “Kubu” kedua beranggotakan orang-orang yang lebih dekat pada puisi: Bandung, Ridho, dan saya. Belakangan, Pak Wijang juga bergabung ke “kubu” kedua. Saya tahu, “kubu-kubuan” ini terjadi secara tak sengaja. Entah kenapa para penulis prosa bisa tiba-tiba mengelompok, dan entah kenapa para penulis puisi juga tiba-tiba membentuk kelompok. Tentu saja, tak ada masalah dalam “kubu-kubuan” ini, karena “teori pembentukan kubu” inipun sebenarnya saya yang mengarang (ha3).
“Kubu” pertama bicara dengan tema yang beragam. Dari masalah Nurdin Halid, soundtrack Film Si Buta dari Goa Hantu, Seno Gumira, dan tetek yang bengek lainnya. “Kubu” kedua bicara hal yang lebih homogen dan tak jauh-jauh dari sastra: polemik Saut dan TUK, polemik atas Sajak Saut di Republika, rencana Bandung mengikuti lomba Kritik Sastra DKJ, sampai rencana pernikahan Bandung yang sebentar lagi.
Pokoknya, obrolan sesama penulis itu menjadi gayeng dan menarik. Saya sendiri lebih banyak mendengar Bandung, Ridho, dan Pak Wijang bicara soal sastra dan polemik-polemiknya. Saya suka ketika Bandung menyinggung bahwa penyair dahulu selalu punya kebiasaan menulis esei. Tengok saja: Chairil, Sapardi, Subagio, Goenawan, Sutradji, Afrizal. Tapi konon kebiasaan itu mulai hilang sekarang. Joko Pinurbo, misalnya, penyair yang mungkin dianggap sedang memimpin perkembangan literer puisi Indonesia mutakhir (setelah Afrizal), adalah orang yang jarang mempublikasikan esei. Penyair-penyair muda pun berlaku demikian. Apalagi penyair-penyair dan calon penyair di Solo yang niat menyairnya mungkin masih timbul-tenggelam.
Setelah itu, obrolan bergulir ke arah lain ketika Ridho menyinggung kuatnya peranan “kredo” bagi penyair dulu. Goenawan, Sapardi, Sutardji, Afrizal, misalnya. Hampir semuanya memiliki “kredo” penciptaan puisinya sendiri. Mereka mempublikasikan “kredo” itu—atau dalam istilah Pak Wijang disebut sebagai “proposal”—lewat esei atau bahkan dalam bentuk puisi itu sendiri. Sekarang, apakah penyair masih melakukan itu? Mungkin saja iya. Jokpin masih melakukannya, lewat bentuk puisi yang bisa dianggap sebagai “kredo” penciptaan puisinya. Namun, segelintir penyair lain agaknya tak menggubrisnya. Mungkin saja mereka belum merasa butuh, tidak tahu kalau itu dibutuhkan, atau justru sedang menuju ke arah penciptaan “kredo” itu.
Obrolan bergerak ke arah lain. Kini yang jadi sasaran adalah Radhar Panca Dahana, penyair dan eseis yang jadi redaktur “Humaniora” di Kompas. Pak Wijang bercerita bahwa dulunya Radhar hampir sama dengan kondisi para penulis muda Solo yang berkumpul di tempat itu: bohemian, kadang stres, tak punya uang, tapi punya nafsu belajar yang meluap. Pak Wijang mengenang bagaimana ketika ia di Bengkulu, Radhar datang dan kemudian diinapkan di hotel ecek-ecek seharga 25 ribu semalam.
Bandung menambahi pengetahuan tentang hidup Radhar dari pembacaannya atas sebuah tulisan tentang masa muda Radhar. Konon, penyair itu dulu adalah pemuda yang dihimpit kesulitan ekonomi, sering diejek kawan-kawannya, tapi tekun membaca buku. “Banyak sekali buku yang dibacanya,” kata Bandung. Lalu Bandung menambahi: “Mungkin mirip Afrizal Malna yang dalam kurun waktu tertentu dalam hidupnya pernah mengurung diri dan menghabiskan sebanyak mungkin buku.”
Saya selalu merasa takjub dengan riwayat para penyair itu. Pada awalnya, mereka adalah pemuda dengan sekian permasalahan dan sekian kegelisahan. Tapi nafsu belajar membuat mereka mampu berubah drastis: menjadi penyair dan intelektual yang mumpuni di Indonesia. Mungkin terdengar seperti kisah yang heroik. Tapi sebenarnya, tidak pula. Sebab setiap kisah jadi kedengaran heroik karena kita tak pernah mengalaminya dan tak akrab dengannya. Kisah heroik memang sebuah kisah yang datang “dari jauh”.
Sukoharjo, 8 Oktober 2007
Haris Firdaus
0 comments:
Post a Comment