Bermain Tebak-tebakan dengan Aan Mansyur

>> Tuesday, October 2, 2007




Saya bayangkan seorang penyair (yang laki-laki) mengintip dari balik jendela. Di luar, hujan sedang turun dengan derasnya. Hujan membasahi kolam ikan, rerumputan, dan pucuk-pucuk daun. Si penyair tadi masih mengintip dari balik jendela, seperti menunggu sesuatu. Dan memang ia menunggu sesuatu dan berharap sesuatu segera datang. Yang ditunggu—tentu saja, seperti dalam kisah percintaan yang “klasik”—adalah seorang perempuan. Saya bayangkan perempuan itu cantik, dengan baju dan rok yang berwarna putih atau biru. Perempuan itu memakai payung, tapi hujan masih mampu menyentuh ujung roknya.

Lalu, sudah. Tirai diturunkan. Pertunjukan selesai. Sebuah pertunjukan yang sederhana, bukan? Ya, pertunjukan sederhana itulah yang dimainkan oleh Aan Mansyur (seorang penyair muda yang telah menerbitkan beberapa buku) lewat puisinya yang berjudul “dari balik jendela”. Sebuah puisi yang—bersama dengan beberapa puisinya—saya temukan di blognya dan merupakan puisi yang cukup baru (kalau tidak salah, dibuat pada September 2007). Membacanya, saya tahu bahwa puisi itu adalah puisi cinta yang sudah jamak: sederhana, dibuat (mungkin) berdasar momen tertentu dari penggal hidup seorang penyair, tapi tetap saja menyentuh. Dan, kebetulan atau tidak, beberapa puisi Aan yang terbaru di blognya, memang berbicara soal cinta meski dalam ekspresi yang berlainan.

Simak misalnya “kwatrin tentang matamu”:

setiap kali memandang sepasang matamu
aku adalah seorang bocah kecil yang buta
datang dari rerimbun gelap hutan dan hujan
tiba-tiba bisa melihat matahari terbit dari lautan

Ada dua hal yang jamak dari puisi di atas. Pertama, puisi itu berbicara tentang relasi “subjek aku” dengan “subjek kamu” yang mudah kita temui dalam puisi cinta yang umum: si aku adalah orang yang bermasalah, tidak punya harapan, lemah, atau dan kerap digambarkan dalam kondisi yang inferior, sedangkan si kamu adalah orang yang dianggap bisa menghilangkan kelemahan, keburukan, dan menimbulkan harapan bagi si aku. Tentu, ini adalah sebuah puisi cinta yang memuji atau merayu, meski pujian atau rayuan itu bisa saja berangkat dari lubuk hati terdalam penyair.

Kontras antara si aku dan kamu itu bisa dilihat dari keseluruhan sajak itu, terutama baris dua sampai empat. Bagaimana si aku yang digambarkan sebagai “bocah kecil yang buta” yang “datang dari rerimbun gelap hutan dan hujan” bisa menjadi seorang yang mampu “melihat matahari terbit dari lautan” hanya karena “memandang sepasang matamu”.

Pemakaian kata “bocah kecil” menandaskan bahwa si aku adalah orang yang lemah, belum punya banyak pengalaman, lugu, dan punya banyak keterbatasan lain yang biasa terdapat dalam anak kecil. Sedangkan kata “buta” menyiratkan bahwa si aku yang sudah lemah tadi ternyata dibikin oleh penyair menjadi tambah lemah: ia tak bisa melihat, ia tak bisa menemukan harapan, atau ia tak punya petunjuk.

Dan agaknya, kontras yang dibangun tadi belum dianggap cukup oleh Aan sehingga masih harus ditambah lagi: si aku tadi datang dari suatu tempat yang gelap, penuh binatang buas, dan berair oleh hujan yang membikin tempat gelap dan penuh binatang buas tadi menjadi licin sehingga si aku jadi gampang terpeleset. Sungguh, melihat bagaimana “subjek aku” digambar dalam puisi itu, kita akan menemukan gambaran seorang pecinta yang begitu tergantung dan tidak mandiri, sehingga untuk “melihat matahari” saja ia mesti tergantung pada orang lain. Sebuah roman klasikkah ini?

Kontras makin kuat terasa ketika Aan memakai kata “matahari” dan “lautan”. Matahari adalah metafor yang jamak untuk segala sumber energi yang baik: harapan, kehangatan, semangat, dan lain sebagainya. Dan lautan? Mungkin metafora tentang tempat yang indah, dengan deburan ombak yang memesona. Atau, bukankah laut adalah tempat yang paling indah untuk melihat matahari terbit? Artinya, harapan, semangat, dan kehangatan tadi, menjadi sesuatu yang makin kuat dan makin membikin kokoh si aku.

Hal umum kedua yang kita temui dalam puisi ini adalah hiperbola. Hiperbola atau pelebih-lebihan, tentu wajar kita temui dalam puisi, apalagi puisi cinta. Hiperbola, dalam puisi Aan ini, adalah hiperbola tentang “mata” si “subjek kamu”. Mata, yang memang seringkali menjadi metafora tentang kecantikan, keindahan, atau pesona yang dipancarkan seseorang, dalam puisi ini menjadi terlampau berlebihan karena ia dianggap bisa membuat “bocah kecil yang buta” yang “datang dari rerimbun gelap hutan dan hujan” mampu “melihat matahari terbit dari lautan”. Lagipula, bagaimana seorang bocah buta bisa dengan tepat dan yakin memandang mata si “subjek kamu”? Bukankah seorang yang buta tak pernah benar-benar tahu apa yang sebenarnya ia tatap?
***

Mari membaca puisi Aan lainnya: “di sebuah pagi yang lain”:

hari datang
menemukan tubuhku sendiri
telentang di tempat tidur

“Hari datang” mungkin berarti pagi yang sudah tiba. Dan “hari” yang “datang” tadi kemudian menemukan tubuh si penyair sendirian: telentang di tempat tidur. Sebuah bait tentang kesendirian? Tentang seorang kekasih yang ditinggalkan kekasihnya? Mungkin saja.

dan pecahlah gelas
yang menampung tidurku

Bait yang pendek lagi. Bait ini mungkin secara sederhana bisa diartikan bahwa si aku telah terbangun dari tidurnya. Saya menyukai metafora tentang “gelas yang menampung tidur” yang kemudian “pecah” tadi.

dan mimpiku
tentang tangan kecilmu
memegang buku puisi
dan bibirmu pelan-pelan
membuka dan menutup
membaca kata-kataku
tentang bulan meleleh

Ini bait terpanjang dalam keseluruhan puisi Aan tadi. Saya paling suka dengan bait ini karena ia menawarkan lebih banyak cerita yang kompleks dan diisi dengan pilihan kata dan pemenggalan yang pas. Karena “gelas yang menampung tidur” si aku sudah “pecah”, maka mimpi si aku pun ikut pecah. Mimpi si aku itu tentang tangan kecil (yang mungkin milik) kekasihnya yang memegang buku puisi. Mungkin ini cerita tentang si kekasih yang masih memegang jejak dari si aku. Bukankah buku puisi adalah semacam “jejak yang paling berarti” dari seorang penyair? Pendeknya, ini sebuah episode tentang si aku yang masih bersama dengan kekasihnya.

Lalu kekasihnya itu membaca kata-kata dalam buku puisi itu. Kata-kata yang dibaca itu adalah kata-kata tentang “bulan yang meleleh”. Apa artinya? Apakah ini semacam harapan yang luntur? Atau sebuah kebahagiaan yang habis? Semacam pertanda perpisahan kah? Mungkin saja begitu.

dan malam lelah
sia-sia menunggu

Bait yang pendek, dan hanya berfungsi menguatkan kesan yang kita tangkap dalam bait sebelumnya. Kini, kesan perpisahan itu makin kuat. Perpisahan yang diisyaratkan dalam bait pertama dan bait ketiga menemukan penguat: si aku tadi memang berpisah dengan kekasihnya. Begitukah?

hari datang
menemukan tubuh kita sepasang
telanjang di tempat tidur

Bait terakhir yang membingungkan. Jelas ini merupakan lawan dari bait pertama. Perpisahan dan kesendirian si aku yang coba dibangun lewat bait-bait sebelumnya menemukan perlawanan dari bait terakhir ini. Apa sebenarnya fungsi bait ini? Sebagai penegas? Apakah si aku dan kekasihnya tidak jadi berpisah? Atau ini adalah gambaran tentang masa lalu ketika si aku dan kekasihnya belum berpisah dan masih memiliki relasi yang begitu intim?

Ah, kok seperti permainan tebak-tebakan saja.

Sukoharjo, 1 Oktober 2007
Haris Firdaus

Catatan: keterangan lebih lanjut tentang Aan Mansyur (termasuk tentang puisi-puisinya) bisa dilihat di http://pecandubuku.blogspot.com

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP