Warna yang Lain

>> Friday, September 28, 2007




Kalau benar apa yang kau katakan bahwa “curhat adalah semacam zat aditif yang membikin kecanduan”, maka barangkali kita adalah korbannya. Tentu saja, kau mungkin sedang bercanda ketika mengatakan kalimat itu pada saya, dalam sebuah sms. Tapi bukankah, sebuah guyon tak selalu menjadi anonim dari “kebenaran”?

Saya tertawa ketika mendapat sms darimu soal “zat aditif” itu. Tapi saya juga tahu bahwa pernyataan tadi tak serta merta salah, hanya karena ia lucu. Ia toh mengandung kebenaran. Iya, curhat (apa ya padanan yang tepat untuk kata ini?) barangkali memang membuat seseorang memiliki peluang untuk “kecanduan”: semacam kondisi tergantung pada sesuatu. Dan sesuatu yang membikin tergantung itu tentu saja adalah si teman curhat.

Saya tak perlu mengurai lebih jauh soal bagaimana sebuah curhat bisa jadi “zat aditif”. Agaknya, lebih menarik membicarakan soal kau (atau kita?) dalam tulisan ini. Sebelum mengenal saya (secara baik), katamu, kau bukan orang yang suka mengeluh dan curhat pada orang lain. Saat itu, kau seperti “tak punya masalah” yang pantas dirisaukan. Kondisi ini, katamu, telah berubah sekarang. Kita jadi dua manusia yang bersahabat dan otomatis menjalankan laku yang lazim dalam proses itu: curhat. Dan ada sebuah pergeseran dalam dirimu, katamu. “Sekarang, aku lebih gampang mengeluh,” ujarmu kemudian.

Barangkali itu memang sebuah fakta. Barangkali, hanya perasaanmu saja. Tapi, soalnya bukan pada “ada masalah atau tidak”, saya kira. Sebab tiap orang tentu punya masalah. Yang beda, barangkali, adalah penyikapannya. Dulu, ketika kau dalam kondisi “tanpa teman yang benar-benar dekat”, mungkin kau merasa tak perlu membagi apapun. Kau, mungkin sudah memiliki mekanisme “penyelesaian masalah secara internal”, sebab kondisimu memang membentuk karakter yang demikian. Tapi ketika kondisi itu kemudian berubah, karakter pun barangkali ikut bergeser. Selalu ada sebuah proses dialektika antara manusia secara pribadi dan kondisi sosialnya bukan?

Dan pergeseran itu, cukup untuk dipahami saja tanpa harus diberi penilaian moral yang ketat. Manusia berkembang dan karakter yang berubah adalah sebuah kewajaran. Maka, ketika kemudian kau (merasa) sering mengeluh pada saya, sebenarnya tak ada yang perlu dirisaukan. Sebab, kondisi sebaliknya juga terjadi: saya pun sebenarnya juga amat rewel, bukan? Dan proses macam itu adalah proses yang wajar dalam sebuah laku yang disebut “persahabatan”. Tak ada yang aneh, dan oleh karenanya pantas dipikir dalam kening yang berkerut.

Kalaupun kita kemudian adalah korban dari kecanduan itu, maka rayakanlah posisi itu. Seperti kemudian kau bilang bahwa “zat aditif” itu hanya akan menimbulkan kecanduan yang “positif”. Saya tak tahu, apakah benar ada kecanduan yang “positif”. Tapi, sudahlah. Tak perlu berpikir ke arah sana. Toh kita bukan ahli filsafat yang sedang menguliti kehidupan. Kita adalah pelaku kehidupan yang bisa saja berbuat salah, bisa takut, dan bisa saja bodoh. Dan, rayakanlah posisi yang demikian!

Memang, kadangkala kita berbicara soal kehidupan. Berbicara tentang masa depan, prinsip hidup, dan hal “berat” lainnya. Tapi sebenarnya yang paling saya suka dari kau adalah ketika kau tersenyum dan memuji keindahan sebuah taman, melonjak kegirangan karena bagusnya sebuah pertunjukan, atau mensyukuri sebuah panorama yang begitu mengaggumkan. Pada saat itu, kita mungkin saja berhenti “berpikir” dan lebih banyak merasakan.

Saya masih ingat fragmen ini: kita menyusuri jalanan Yogya di sore hari, dengan latar matahari yang hampir tenggelam, dan kendaraan yang satu-dua berkejaran. Kita ngobrol tentang esakalator Pasar Beringharjo (yang kau sebuat sebagai “lift” dan saya tak henti mengejekmu karena itu), kondisi Malioboro yang dipenuhi penjaja makanan, atau tentang acara nanti malam yang hendak kita tonton.

Terkadang, kita saling menatap, dengan senyum yang menghiasi bibir masing-masing. Saya cuma berfirasat: saat itu kita sama bahagia. Lalu, sambil terus menyusuri jalan yang mulai sepi itu, kita melihat penjual jeruk, semangka, dan ragam buah yang lain. Sesekali mereka menawarkan dagangannya pada kita, dan dengan cara paling halus kita menolaknya. Sambil tetap ngobrol, kita barangkali merasakan angin sore yang sejuk, atau melihat senja yang hari itu tak sempat kita perhatikan benar.

Dalam fragmen yang demikian, saya tahu, ada selalu yang lebih indah dari kehidupan yang dipikirkan. Warna lain dari hidup yang diringkus dalam teori, perbendaharaan bahasa, dan tetek bengek yang melelahkan itu.

Kau tahu, warna lain dari hidup seringkali ditemukan dalam sebuah persahabatan.

Sukoharjo, 23 September 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP