Belajar dari "Celana Dalam" Jokpin dan HAH

>> Sunday, September 23, 2007




Ketika mengunjungi blog Hasan Aspahani (HAH) beberapa waktu lampau, saya menemukan sebuah sajak milik Joko Pinurbo (Jokpin) untuk HAH. Guna keperluan tulisan ini, sajak itu akan saya kutip keseluruhan:

Puasa

(kepada penyair Haspahani)

Saya sedang mencuci celana dengan airmata
yang saya tabung setiap hari.

Saya sedang mencuci kata-kata dengan darah
yang mengucur dari ujung jari-jari.

Dari kamar mandi yang jauh dan sunyi
saya ucapkan selamat menunaikan ibadah puisi.

(2007)

Sajak itu menarik, dan seperti banyak sajak Jokpin lainnya, ia menyajikan sebuah kesegaran dalam berbahasa dan juga humor. Tapi perhatian saya terhadap sajak itu sejak mula tertuju pada hubungan intertekstualitas yang saya curigai terkandung dalam sajak itu. Sejak awal membacanya, saya langsung teringat pada sajak HAH yang dimuat di Majalah Gong Edisi 92/VIII/2007. Sajak yang ditujukan buat Jokpin itu begini bunyinya:

Celanadalam yang Kucuri dari Rumahmu

: Joko Pinurbo

/1/
Waktu singgah di rumahmu, engkau dengan bangga
memamerkan beberapa celanadalam istimewamu.

Saat kau lengah, kucuri salah satu celanadalam itu.

Di rumahku, aku langsung menjajal celanadalammu itu.

/2/
Harus kuakui celanadalammu memang istimewa. Enak
dipakai dan tidak membuat anuku nyelip ke mana-mana.

Saking enaknya, aku lupa menggantinya. Padahal, seenak
apapun celanadalam ‘kan harus dicuci, supaya tetap suci.

Itulah mungkin sebabnya, sekarang aku terserang gata-gatal.
Celanadalam yang enak jadi tidak enak. Anuku pun berontak.

“Bagaimana, Tuan? Anda sudah ketularan penyakit saya?”
tiba-tiba kuterima pesan pendekmu di telepon genggamku.

Kalau kemudian kita membandingkan dua sajak itu, keduanya tampak seperti sebuah “surat” yang dibuat untuk sahabat. Puisi “Celanadalam yang Kucuri dari Rumahmu” adalah surat pembuka, sedangkan “Puasa” adalah surat balasannya. Pandangan seperti ini segera bisa muncul karena dua sajak itu menggunakan dua metafora yang sama: celana dalam. Dan pandangan ini makin kuat karena kisah tentang celana dalam sajak pertama seolah menemukan lanjutannya pada sajak kedua. Maka, mau tak mau, dua sajak ini, menurut saya, harus dilihat sebagai dua sajak yang saling berkait.

Saya tentu saja tidak hendak memastikan bahwa Jokpin membuat “Puasa” guna membalas panggilan HAH dalam “Celanadalam yang Kucuri dari Rumahmu”. Tetap saja terbuka kemungkinan bahwa hubungan keduanya adalah sebuah hubungan yang tidak disengaja. Bukankah dalam puisi segala kemungkinan bisa saja terjadi?
***

Mari kita mulai membaca dua sajak itu dari sajak milik HAH. Pembacaan ini perlu dilakukan guna melihat sejauh mana kaitan dua sajak itu. Sajak ”Celanadalam yang Kucuri dari Rumahmu” merupakan salah satu sajak HAH yang bercerita atau mengambil inspirasi dari celana dalam. Di Gong edisi yang sama, kita bisa menemukan sembilan sajak lain yang bercerita tentang celana dalam. Tentu saya tidak tahu apakah “sajak celana dalam” HAH cuma sebatas sepuluh sajak yang dimuat di Majalah Gong itu. Tapi, dalam pembacaan ini, saya tidak akan mengkaitkan sajak tadi dengan “sajak celana dalam” milik HAH lainnya. Sebab, setelah melakukan pembacaan terhadap sepuluh “sajak celana dalam” HAH di Majalah Gong, celana dalam ternyata merupakan metafora yang digunakan untuk mewakili berbagai hal. Antara sajak satu dengan lainnya, celana dalam merepresentasikan hal yang berbeda.

Sajak “Celanadalam yang Kucuri dari Rumahmu” adalah sajak yang ada di urutan pertama dari sepuluh “sajak celana dalam” HAH lain di Majalah Gong. Kalau kita mengganti kata “mu” dengan Jokpin dan kata “aku” dengan HAH, maka akan terlihat bahwa sajak itu adalah sebuah sajak yang bercerita tentang proses bermain HAH ke rumah Jokpin. Tentu saja kata “bermain” dan “rumah” harus kita artikan dalam arti yang bukan denotatif. Saya menafsirkan kata “bermain” sebagai sebuah proses penjelajahan, pembelajaran, atau semacam pencarian. Sedangkan “rumah”, saya tafsirkan sebagai puisi (yang dibuat Jokpin). Artinya, dalam sajak itu, HAH sebenarnya sedang melakukan sebuah pembacaan—yang disertai dengan penjelajahan dan pembelajaran—terhadap puisi-puisi Jokpin. Proses pembelajaran itulah yang kita tangkap dalam bait pertama: Waktu singgah di rumahmu, engkau dengan bangga/ memamerkan beberapa celanadalam istimewamu.

Celana dalam, sebagai metafora utama dalam bait itu—dan juga dalam seluruh puisi—saya tafsirkan sebagai semacam “karakter, gaya, atau teori berpuisi” yang dimiliki Jokpin. Tapi bagaimana metafora “celana dalam” bisa terkait dengan sebuah “gaya berpuisi” seorang penyair? Begini rasionalisasinya: celana dalam, kita tahu, adalah benda yang meski tersembunyi tapi sebenarnya berperan penting bagi kita. Mau tidak mau, kita mesti mengakui bahwa ia (celana dalam) memiliki kedudukan yang sebenarnya penting dalam kehidupan kita. Bukankah kita akan merasa (sangat?) tidak nyaman ketika tidak memakai celana dalam saat beraktivitas? Jadi, (sekali lagi) meski keberdaannya tersembunyi (tentu asumsi tentang ketersembunyian celana dalam ini adalah asumsi yang ditopang oleh adat istiadat yang normatif di Indonesia), tapi celana dalam adalah salah satu benda yang, bisa dikatakan, amat menentukan dalam keseharian kita.

Kurang lebih seperti itu pula “gaya puisi” bagi seorang penyair. Kebanyakan penyair memang memilih “diam” dan tidak membuka ke publik secara luas bagaimana sebenarnya “gaya puisi” yang ia buat. Tugas untuk membongkar itu diserahkan pada kritikus dan pembaca sendiri. Meski begitu, “gaya puisi” tadi adalah sesuatu yang amat penting bagi si penyair.

Tiap penyair yang telah mapan tentu memiliki gaya yang khas dalam berpuisi. Dan Jokpin, hampir semua pembaca sastra sepakat, adalah seorang penyair yang punya karakter yang amat unik yang membedakan dia dengan penyair besar Indonesia lainnya. HAH, saya pikir, tahu benar tentang hal ini. Menyadari keistimewaan “celana dalam” Jokpin, ia kemudian segera “mencuri salah satu celanadalam itu”. Konsep “mencuri”, dalam dunia kepenyairan, barangkali bisa dikatakan sebagai proses “mengambil ilham dan pelajaran dari karya-karya penyair besar terdahulu”. Dalam konteks puisi ini, HAH pun melakukan hal serupa: ia mengambil ilham atau pelajaran dari puisi Jokpin.

Dalam kenyataannya, ketika membaca sebagian sajak HAH, saya merasa bahwa penyair itu terimbas oleh pengaruh Jokpin. Keterpengaruhan itu, bagi saya, terutama terlihat dari puisi-puisi HAH yang sifatnya “naratif”, dalam artian puisi itu bercerita dengan kalimat yang runtut dan cenderung “tidak puitis”. Namun, sebagaimana kita temukan pula dalam sajak Jokpin, sajak HAH yang “bercerita” itu pasti mengandung “sesuatu yang lain”, baik berupa humor, tragedi, penjungkirbalikan logika, atau kejutan kata. Kata-kata dalam (sebagian) sajak HAH hadir dengan lincah dan segar. Dan metafora-metafora yang dipakai HAH cenderung meninggalkan metafora lama yang telah banyak dieksploitasi penyair dahulu. Kelincahan kata, metafora yang banyak diambil dari bahasa keseharian, serta kecenderungan “tidak puitis” bagi saya juga menjadi ciri dari puisi-puisi Jokpin.

Untuk membuktikan secara benar-benar bahwa HAH menerima pengaruh dari Jokpin tentu perlu pembacaan yang lebih ketat lagi dan tidak hanya berdasar “kesan-kesan sepintas”. Tapi karena berbagai keterbatasan, saya hanya bisa menopang asumsi bahwa HAH menerima pengaruh dari Jokpin dengan argumentasi yang sedikit di atas.

Perosoalannya, bila asumsi tadi dianggap benar, apa yang kemudian dilakukan HAH? Adakah HAH “diam saja” ketika ia menerima pengaruh itu? Mungkin ada penyair lain yang tidak sadar ketika ia terpengaruh oleh penyair sebelumnya sehingga ia tidak bisa melakukan apa-apa selain terus menerima pengaruh itu. Tapi, HAH sadar, dan—seperti kemudian dinyatakannya sendiri dalam sajaknya—ia tidak “diam saja” menerima pengaruh itu. Ia berontak karena menyadari bahwa “seenak apapun celanadalam ‘kan harus tetap dicuci, supaya tetap suci”.

Ya, HAH telah menancapkan sebuah kesadaran (meski tidak baru) bagi dirinya sendiri dan penyair lain bahwa sebagus apapun “gaya puisi” seorang penyair besar, jika ia kita terima begitu saja tanpa diolah lagi secara kreatif, “gaya puisi” tadi toh akan jadi usang dan “membikin gatal-gatal”. Kalau kemudian kita merasa keenakan dengan apa yang telah kita terima dari penyair terdahulu, maka di situlah sebuah bahaya sedang mengancam: kita bisa jadi “gatal-gatal” dan “anu” kita bisa “berontak”! Parahnya, adalah kalau kemudian kita tidak merasa “gatal-gatal” dan “anu” kita tidak “berontak” ketika kita masih terus saja menggunakan “celana dalam” curian dari seorang penyair yang telah lama “tidak dicuci”. Dalam kondisi demikian, mungkin kulit kita yang terlalu tebal atau “anu” kita tidak normal.
***

Bagaimana dengan sajak kedua yang dibuat Jokpin sebagai “balasan” atas sajak pertama? Apakah sajak itu masih saja bercerita soal yang sama dan barangkali merupakan kelanjutan cerita di sajak HAH? Mari kita baca!

Sajak itu dimulai dengan bait seperti ini: Saya sedang mencuci celana dengan airmata/ yang saya tabung setiap hari. Permulaan sajak ini saja sudah menunjuk bahwa sajak ini memang benar-benar merupakan “kelanjutan” dari sajak HAH. Apa yang segera bisa kita tangkap dari bait pertama ini adalah bahwa “saya” yang merepresentasikan Jokpin ternyata masih saja “mencuci celana dalam” yang—dalam sajak HAH dikatakan sebagai—istimewa itu. Artinya, Jokpin sebagai penyair yang telah dianggap berhasil pun masih saja melakukan sebuah kegiatan olah kreatif terhadap “gaya puisinya”. Dan, proses olah kreatif itu tidak main-main karena menggunakan “air mata” yang “ditabung setiap hari”. Ya, Jokpin bisa dianggap masih “berdarah-darah” alias bekerja dengan amat keras dalam mengolah “gaya puisinya”.

Proses pengolahan ini juga kembali ditegaskan dalam bait selanjutnya: Saya sedang mencuci kata-kata dengan darah/ yang mengucur dari ujung jari-jari. Pada bait kedua ini, Jokpin malah menggunakan kata “darah” untuk menggambarkan bagaimana kerasnya ia “mencuci kata-kata”. Ya, kalau di bait pertama ia menggunakan “air mata”, kini Jokpin menggunakan “darah”: sebuah cairan yang mengisi tubuh manusia dan memiliki fungsi yang amat vital. Dan bukankah metafora “darah” dan “air mata” adalah dua metafora yang seringkali digunakan dalam menggambarkan sebuah proses yang diisi dengan kerja keras dan pengorbanan yang panjang?

Tentu kegiatan menyair tak melulu harus seperti itu. Kerja keras dan pengorbanan memang barangkali kita temui dalam proses membuat puisi. Namun bagi penyair yang telah sampai tahap “mencintai” puisi, maka kerja keras dan pengorbanan barangkali tidak akan terasa sebagai sesuatu yang “memberatkan” lagi. Pertanyaan selanjutnya, kalau Jokpin menggunakan “air mata” dan “darahnya” untuk menyair, apa yang hendak kita gunakan untuk menjadi penyair yang “benar-benar”?
***

Setelah memulai dengan sebuah “pernyataan” tentang bagaimana ia menyair, Jokpin menutup puisinya dengan sebuah bait yang kocak: Dari kamar mandi yang jauh dan sunyi/ saya ucapkan selamat menunaikan ibadah puisi. Kita tahu, kamar mandi adalah kata yang seringkali muncul dalam sajak Jokpin, meski konteksnya pun bisa jadi berbeda. Dalam sajak ini, kamar mandi barangkali hadir sebagai “tempat di mana Jokpin melakukan pencucian celana dalam dan kata-kata dengan air mata dan darahnya”. Kamar mandi—yang memang dalam arti harfiahnya sering digunakan sebagai tempat mencuci—bagi Jokpin barangkali semacam ruang sunyi di mana ia melakukan kerja kreatifnya. Dari ruang kerja kreatifnya itulah kemudian Jokpin mengucap “selamat menunaikan ibadah puisi”. Tentu ini plesetan dari “selamat menunaikan ibadah puasa” (ingat judul sajak ini adalah “Puasa”!).

Bagaimana kita bisa memaknai “ibadah puisi” dan mengkaitkannya dengan “ibadah puasa” yang memang sedang dijalani umat Islam saat ini? Ah, barangkali Jokpin sedang bermain “plesetan kata”. Tapi barangkali pula “plesetan kata” yang ia mainkan punya maksud tertentu. Mungkin Jokpin ingin memberi kaitan antara “puasa” dengan “puisi”. Barangkali, bagi Jokpin, puasa punya kaitan dengan puisi. Bagi saya kaitan itu terletak pada kesungguhan dalam menjalankan keduanya. Artinya, kalau sebagai umat Islam kita mesti bersungguh-sungguh menjalani puasa Ramadhan, sebagai penyair atau orang yang ingin membuat puisi, kita mesti sungguh-sungguh pula dalam membuat puisi!

Ah, saya jadi ingat kata-kata Sutardji Colzoum Bachri: "Menyair adalah suatu pekerjaan yang serius. Namun penyair tidak harus menyair sampai mati. Dia boleh meninggalkan kepenyairannya kapan saja. Tapi bila kau sedang menulis sajak, kau harus melakukan secara sungguh-sungguh. Seintens mungkin, semaksimal mungkin."

Sukoharjo, 15 September 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP