Sudah Cukup Bukti
>> Monday, September 3, 2007
pada: nhw
Pagi itu, saya bayangkan kau mengutip puisi “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono. Dengan mulut yang sedikit bergetar karena menahan tangis, saya bayangkan kau mengucap puisi itu dengan lirih, hampir tanpa ekspresi, tapi menghujam kedalaman perasaan:
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Saya bayangkan pula: hampir tiap orang yang mendengarmu membaca puisi itu akan menangis. Sama seperti kau yang sejak baris pertama tak kuasa lagi menahan tangis. Lalu, setelah selesai mengucap bait pertama, saya bayangkan kau berhenti sejenak, mengambil napas, berusaha membersihkan air mata yang berlepotan di pipi, lalu berusaha sedikit tegar. Tapi usahamu sia-sia.
Kau tetap saja menangis, tetap saja tak mampu menghentikan keharuan yang begitu dalam. Air mata di pipimu memang hilang oleh usapan tangan atau tisu, tapi air mata dari matamu yang bening tetap saja mengalir, susul-menyusul. Dan kami yang ada di depanmu, serta menyimak tiap apa yang kau ucapkan, juga berusaha tegar dengan sedikit mendongakkan kepala agar air mata tak tumpah terlampau banyak. Tapi semua juga sia-sia. Kami tetap menangis, sama dengan kau yang menangis.
Untuk berapa lama, kita berdiam. Berusaha menenangkan perasaan masing-masing. Berusaha tidak terlampau oleng oleh banyak hal yang tiba-tiba jadi mengejutkan. Waktu itu, kita mungkin merasakan udara yang dingin, mendengar isak kawan-kawan kita, atau mencium aroma keresahan yang sama dari dengus napas yang keluar dengan tersengal. Lalu kita berucap pelan, lebih pada diri masing-masing: “Alangkah sulitnya menjadi tegar.”
Tapi, betapapun sulitnya, ketegaran yang sementara pun tetap kita dapat. Untuk sejenak, kita bisa menenangkan diri masing-masing. Napas tak lagi terlalu tersengal, dan air mata juga tak terlampau banyak. Lalu, kau kembali bicara. Masih dengan narasi yang rendah tentang cinta, pengorbanan, dan sebagainya. Kau tetap saja sama seperti semula, dengan wajah sendu dan roman muka yang sebenarnya tak yakin.
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Saya selalu tergetar membaca puisi “Aku Ingin”, tapi ketika kau yang membacanya, saya bayangkan bahwa saya tidak hanya akan tergetar tapi juga menangis. Kita mungkin tahu, apa yang disampaikan Sapardi barangkali bisa dimaknai dengan berbeda oleh masing-masing. Tapi, hari itu, ketika kau membacakan puisi itu di depan kami, kami seolah tertampar oleh banyak hal. Sebelumnya, kami tak menyangka bahwa cinta bisa hadir dalam kondisi demikian. Sebelumnya, kami bicara tentang diri kami sendiri, tentang kepentingan sendiri, tentang kebahagiaan sendiri. Pendeknya, kami bicara tentang egoisme dengan begitu egois.
Tapi, begitu kau bicara, kami tahu, sebuah cinta ternyata masih ada. Dan egoisme ternyata bukan satu-satunya pilihan. Meski, kemudian kita tahu, tak banyak yang memilih cinta dan kita paham bahwa akan lebih banyak orang yang memilih jadi egois. Tapi saya bayangkan, mereka yang memilih egois itu seharusnya malu dengan pilihan besar yang kau ambil. Apalagi, cintamu adalah cinta yang begitu “sederhana”.
Duh, apa makna “sederhana” itu? Barangkali, semacam cinta yang begitu tulus sehingga tak perlu imbalan, bahkan tak perlu publikasi yang macam-macam. Ya, cinta yang seperti itu adalah seperti “kata yang tak sempat diucapkan”, atau “isyarat yang tak sempat disampaikan”. Tapi, hari itu, kami memang tak membutuhkan banyak kata darimu. Kami tak perlu tahu apa “visi misimu ke depan” untuk menaruh kepercayaan padamu. Kami juga tak perlu tahu adakah esok hari kau sudah punya rencana untuk memimpin kami. Tidak, kami tak ingin kau berjanji apa-apa. Kami tak ingin kau berbicara apa-apa.
Kami cukup percaya dengan wajah sendumu, senyummu yang berat, dan air matamu yang begitu mengharukan. Ketika kau kemudian bicara terlampau banyak, mungkin kami akan memberimu isyarat berhenti atau berkata: “Sudahlah, kami tak perlu apa-apa lagi. Sudah cukup bukti.”
Sudah cukup bukti bahwa kau mencintai kami dengan cara yang mirip dengan yang dilukiskan Sapardi: “dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu”. Sudah cukup bukti bahwa kau akan memimpin kami dengan niatan yang tulus, pengorbanan yang tak sedikit, dan semangat yang berkobar. Sudah cukup bukti.
Sukoharjo, 2 September 2007
Haris Firdaus
1 comments:
tentu semua tau siapa yang kau maksud itu? jangan ia dan mereka yang ada disana. akupun merasa sama, persis.fans berat mu dari yogya
Post a Comment