SIEM 2007: Sebuah Catatan (Amat) Pendek
>> Thursday, September 6, 2007
Perempuan itu tampak kuyu, dengan balutan pakaian yang didominasi warna putih. Ia duduk di atas ranjang, di sampingnya ada sebuah tiang penyangga infus. Di dekatnya ada meja tempat menaruh obat, makanan, dan oleh-oleh. Ia mencoba tersenyum, tapi senyumnya tentu tak bisa seperti biasanya.
Perempuan itu adalah Iga Mawarni. Nama ini tak asing bagi sebagian kita. Iga seorang seniman dan penyanyi asal Solo. Hari itu, ketika saya melihatnya, ia sedang sakit. Saya melihatnya dari sebuah tempat duduk di sebuah lapangan besar di Benteng Vastenburg, Solo. Tentu, Iga tak di sana. Ia saya lihat dari sebuah layar besar yang terbentang lebar di dekat panggung, lewat teknologi video.
Malam itu, ketika saya melihatnya dalam balutan pakaian “seragam” pasien sebuah rumah sakit, saya sebenarnya sedang menyaksikan pertunjukan yang jadi bagian dari Solo International Etnic Music (SIEM) 2007. Malam itu, seharusnya Iga tampil di panggung berduet bersama Waljinah—ia penyanyi keroncong paling terkenal dari Solo—membawakan lagu kebanggan wong Solo: “Bengawan Solo”. Tapi Iga sakit, dan ia urung berduet bersama Waljinah.
Konon, Iga kecapekan mempersiapkan keberlangsungan SIEM 2007 karena ia adalah Sekretaris Jenderal acara itu. Maka, jadwal menyanyinya yang sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya terpaksa dibatalkan. Dan rekaman video yang berisi gambar Iga sedang duduk di atas ranjang rumah sakit tadi barangkali dimaksudkan sebagai “obat kekecewaan” penonton. Dalam rekaman itu, Iga tampak mencoba bahagia, dengan sering-sering tersenyum. Ia bahkan mencoba menyanyikan “Bengawan Solo” dalam beberapa bait. Selain itu, ia minta maaf dan berucap terima kasih.
Tak ada sesuatu yang benar-benar dramatis dalam rekaman itu. Tapi ekspresi Iga yang kuyu namun mencoba bahagia, suaranya yang kadang tak sampai membawakan “Bengawan Solo”, dan semangatnya berdialog dengan para penonton SIEM, memberikan nuansa tersendiri dalam acara malam itu. Hari itu, para penonton mungkin saja melihat “pengorbanan” seorang Iga Mawarni, atau solidaritas sesama warga Solo, atau justru hanya sekedar “drama”.
Tapi mungkin itu tak penting. Sisi personal yang menonjol lewat acara itu tentu patut diapresiasi. Dan acara malam itu tambah semarak ketika Waljinah “melanjutkan” nyanyian “Bengawan Solo” yang telah dimulai oleh Iga. Dengan aransemen campuran keroncong dan tetabuhan dari Cina, Waljinah memang tampak prima di usianya yang sudah berkepala enam. Suaranya masih jernih, teriakannya bahkan—dalam arti tertentu—bisa jadi masih menggoda, khas seorang penyanyi keroncong yang lembut tapi juga kemayu.
Malam pembukaan SIEM memang milik Waljinah dan Iga Mawarni. Keduanya, karena faktor kedekatan pula, mendapat sambutan yang meriah dari penonton. Ajakan Waljinah mengajak penonton bernyanyi saat ia melantunkan lagu “Jangkrik Genggong” dan “Walang Kekek” mendapat sambutan, terutama tentu dari penonton yang sudah cukup usia untuk mengenal lagu-lagu itu. Sebab keduanya memang jarang kini terdengar. Maka, barangkali hanya penonton yang punya tradisi mendengarkan keroncong saja—termasuk saya—yang familiar dengan lagu itu. Tapi toh itu tak mengurangi antusiasme. Waljinah tetap saja menjadi bintang di rumah sendiri.
SIEM 2007 sendiri merupakan sebuah acara yang mempertemukan berbagai kelompok musik yang berbasis etnik dari berbagai negara di seluruh dunia. Beberapa negara yang mengirimkan delegasinya antara lain India, Korea, Irak, Yunani, dan Belanda. Indonesia mengirim banyak delegasi. Dan Solo tentu merupakan daerah yang juga banyak menampilkan kelompok musik.
Selain pentas musik yang digelar di sebuah panggung dengan latar belakang menara pengintai Benteng Vastenburg, acara itu juga diisi dengan konferensi musik dan workshop. Dalam acara penutupan pada Rabu (5/9) kemarin, panitia mencanangkan target bahwa SIEM akan jadi agenda rutin tahunan. Barangkali ini dilakukan mengingat acara ini mendapat antusiasme yang berlimpah. Lapangan besar di Benteng Vastenburg hampir-hampir dijejali penonton tiap malam. Kursi yang jumlahnya ratusan selalu habis dipakai dan sebagian penonton harus rela berdiri.
Penutupan SIEM juga berlangsung meriah. Terutama dengan tampilnya kelompok musik pimpinan I Wayan Sadra dan “Qua Etnika” yang dipimpin Djaduk Ferianto. I Wayan Sadra memadukan berbagai alat musik modern seperti saxophone dengan bunyi-bunyian yang dihasilkan dari gesekan gergaji. Sedang Djaduk, seperti biasa, menggebrak dengan musik campur aduknya. Penampilan Trie Utami sebagai penyanyi dalam pentas “Qua Etnika” menambah semarak acara. Agaknya, pentas “Qua Etnika” adalah pentas yang paling bagus dan membuat saya yang sebenarnya sudah amat mengantuk bisa “bangkit” kembali.
Agaknya, yang mesti dievaluasi adalah apakah acara besar macam begitu banyak pengaruhnya bagi kehidupan kesenian—khususnya di Solo—atau tidak. Mungkin saja acara macam itu tak perlu dibungkusi dengan slogan-slogan filosofis yang malah kelihatan aneh dan terlalu memaksa, seperti “menciptakan persahabatan antar bangsa” atau “Dari Solo untuk Dunia”.
Kalau jargon-jargon macam begini yang dikedepankan, tanpa kemudian berpikir apakah jargon itu benar-benar merupakan sesuatu yang realitis, maka wajar saja kalau pada malam pembukaan SIEM kemarin ada kalimat yang “janggal” terdengar: “Malam ini Solo benar-benar berbudaya.” Duh, parahnya, kalimat macam begini dikutip oleh sebuah surat kabar nasional beroplah terbesar di Indonesia dan dijadikan judul lagi!
Bukankah kata “benar-benar berbudaya” sebenarnya bertendensi melakukan penyempitan yang luar biasa terhadap kata “berbudaya” dan “budaya” itu sendiri? Apakah dalam pikiran para penyelenggara SIEM “budaya” hanya berarti kesenian, dan—lebih sempit lagi—(pertunjukan) musik etnik? Ah, betapa rancunya “kebudayaan”!
Sukoharjo, 6 September 2007
Haris Firdaus
2 comments:
kalapun SIEM dianggap sebagai (ber) budaya, sungguh sangat dangkal selai "budaya" itu. Penipuan yang luar biasa dilakukan para pengusung "budaya".
iya, betpa dangkalnya kebudayaan yang kita agungkan itu. ha2.
Post a Comment