Gus tf, Pencarian yang Tak Sampai, dan Hasrat yang Fiksi
>> Sunday, August 26, 2007
Membaca puisi-puisi karya Gus tf dalam Kumpulan Puisi Daging Akar, kita seperti diajak melakukan sebuah pencarian yang panjang. Dalam buku yang berisi 38 sajak dan dibuat dalam rentang waktu 1996-2000 ini, tema dominan yang menyeruak dari bait-bait puisi yang ada adalah sebuah pertanyaan yang mencari. Sebagian besar puisi Gus tf tak mengajak kita “berkhayal” tapi mengusik kita dengan pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi manusia dan makna kehidupan.
Eksistensi manusia dan makna hidup. Ya, dua hal besar itulah yang agaknya dicari Gus tf melalui Daging Akar. Dua tema yang selalu saja menjadi kegelisahan para filsuf, penyair, dan pemikir itu seakan hendak diulangi lagi oleh Gus tf melalui puisi-puisinya. Akibat keinginan ini, barangkali, kebanyakan puisinya dalam kumpulan ini adalah puisi yang mengajak “berpikir” bukan “membayangkan”. Tentu saja, ini hanya tafsir pribadi saya ketika melakukan sebuah interaksi dengan Daging Akar.
Salah satu puisi yang berusaha merengkuh makna hidup dan eksistensi manusia adalah puisi pertama dalam kumpulan ini, Daging. Simak bait ini:
Angkasa inilah yang menggelembungkan balon
di kepalaku. Bongkahan planet melayang, seperti gumpalan
dada yang mengerang. “Siapa Anda? Punyakah Anda secebis
kisah tentang dunia? Tolong.”
Bait pertama Daging adalah sebuah refleksi tentang angkasa dan planet, sebuah metafora tentang alam: tempat manusia hidup. Tempat itu begitu luas, sehingga manusia menjadi gelisah dan “gumpalan planet” menjadi “seperti gumpalan dada yang mengerang”. Sebuah kegelisahan akan tempat, latar, dan ruang di mana si aku lirik hidup tercermin dalam bait pertama Daging. Lalu, setelah kegelisahan itu, akhirnya ia bertanya: “Punyakah Anda secebis kisah tentang dunia?” Sebuah pertanyaan yang—tentu saja—berusaha menjawab kegelisahan-kegelisahan itu.
Keinginan untuk melakukan pencarian dan pencerapan makna juga terlihat dalam puisi berjudul Si Gila. Puisi itu bercerita tentang sebuah keluarga yang “pragmatis” menjalani hidup: tidur, bangun, makan, nonton televisi, dan cari keuntungan. Sebuah hidup yang begitu dingin, begitu biasa, dan sama sekali tak berurusan dengan soal eksistensi dan makna hidup. Tapi, tiap senja keluarga itu selalu melihat seseorang yang turun dari taman kota dan dari pintu pagar ia berteriak: “Tidakkah mengherankan bahwa kita hidup?” Keluarga itu cuma melihat, dan tak ambil peduli. Mereka anggap orang itu sebagai orang gila.
Pencarian makna dan eksistensi dalam puisi ini hanya terwakili oleh kalimat tanya si gila: “Tidakkah mengherankan bahwa kita hidup?”. Bait-bait lain dalam puisi ini justru diisi dengan sikap ketakpedulian terhadap pencarian makna. Agaknya, Gus tf ingin memberi sebuah kontras, sebuah beda antara hidup yang haus makna dengan sebuah hidup yang rutin dan tanpa gairah pencarian.
Pencarian itu juga terlihat dari bait puisi berjudul Darwinis berikut:
Lupakan Adam dan Hawa. DNA pertama butuh
entah berapa mutan jadi entah apa menjelma kera jadi
manusia. Milyaran tahun, Saudara. Pernahkah kau
berpikir tentang sebuah fosil sebelum cecak
sebelum buaya? Kautahu: ia luput ia tak ada.
Pada puisi ini, pencarian yang dilakukan lebih beraroma sains ketimbang filsafat. Gus tf dengan jeli memanfaatkan kontroversi soal Teori Evolusi Darwin untuk digubah menjadi sajak yang lagi-lagi mengajak kita “berpikir”. Aroma pencarian segera terasa meski dalam sajak ini bukan makna hidup yang utuh yang ingin dicari.
Jalan Menuju Pencarian
Dalam sebuah pencarian, tentu ada dua hal mendasar: pertama, kenapa pencarian harus dilakukan. Kedua, bagaimana pencarian itu dilakukan. Dua hal mendasar inilah yang juga akan saya cari jawabannya dari sajak-sajak yang terdapat pada Daging Akar.
Dalam beberapa sajak Gus tf, saya temukan nada asing sebagai manusia. Manusia, dalam sajak penyair kelahiran Payakumbuh ini, adalah semacam sosok yang asing dari sekelilingnya. Ia tak mengenal, ia tak akrab, dan ia tak paham akan kondisi lingkungannya. Dalam puisi berjudul Bukan Bagian, Gus tf menulis:
Suatu ketika — entah bila —
aku bukan bagian dari alam raya. Tentang apakah manusia,
tentang apakah dunia, bagiku semua kosong saja. Tak ada pikiran
tentang hidup karena aku tak bakal berurusan dengan mati. Tak ada
apa pun kata dalam bunyi karena aku bukan bagian dari ensiklopedi.
Keasingan itulah yang menurut saya menjadikan sebuah pencarian harus dilakukan. Pencarian ke luar dan pencarian ke dalam. Manusia harus mengenal lingkungannya sekaligus mengenal dirinya sendiri. Barangkali sudah jadi kodrat bahwa manusia adalah makhluk yang tak bisa bertahan dari keasingan. Maka, pencarian dilakukan. Tapi, dengan apa? Gus tf menjawab dalam puisi berjudul Jalan Akal, 1:
Aku jatuh dari angkasa. Bumi bagiku asing. Selamat datang
jiwa. Inilah ia, jalan akal yang terbentang. Panjang. Adakah
kautemukan pola — yang bernama raga? Entah. Tapi lihat,
Aku dihadang oleh yang hancur, oleh yang kekal,
oleh sesuatu yang terus mengalir....
“Jalan akal” yang terbentang panjang itulah yang agaknya ingin disarankan oleh Gus tf untuk melakukan pencarian, mencoba menemukan makna, dan melawan keasingan yang menghinggapi dirinya. Di sini terlihat bahwa Gus tf tak menyerah begitu saja pada keasingan, pada rimba raya pertanyaan yang mengerumuninya. Ia ingin melawan, ia ingin mencari dan memberi makna pada hampara kekosongan yang ia hadapi. Tapi, hadangan-hadangan dalam melakukan pencarian itu sudah pasti membentang.
Pencarian yang Tak Sampai
Pertanyaan selanjutnya: berhasilkah pencarian lewat “jalan akal” itu? Agaknya, keberhasilan yang penuh tak dapat dicapai. Dalam bait kedua Daging, aroma ketidakberhasilan pencarian itu sebenarnya sudah terasa:
Tidak. Tak ada kisah
tentang dunia. Kecuali dongeng, semacam konon,
yang diterbangkan oleh sepotong daging di jagat raya. “Ini
bulan, kuserpih dari seratku yang malam. Ini matahari, kubeset
dari kulitku yang siang. Pada keduanya ada gerhana, tempat
kau berpikir tentang tiada.”
Membaca bait itu, kita diberi tahu bahwa kisah tentang dunia yang diharapkan oleh si aku lirik ternyata hanya “dongeng” atau “semacam konon yang diterbangkan oleh sepotong daging”. Apa makna “daging” di sini? Gus tf, dalam pengantarnya, mencoba memberi penafsiran bahwa “daging” yang hadir dalam puisinya adalah semacam materi. Saya ikuti penafsiran itu: daging barangkali semacam materi, sebuah benda nyata yang bisa diraba, atau kebalikan dari “dongeng” dan “konon”. Tapi si daging yang nyata itu ternyata hanya membawa “konon”. Ia tak membawa sesuatu yang pasti. Manusia adalah “daging”: sebuah materi yang nyata. Tapi, ia tetap tak memiliki pengetahuan tentang dunia secara pasti.
Begitulah, pencarian akan makna dunia tempat manusia hidup dan tinggal ini ternyata hanya semacam “dongeng” atau “konon”: sebuah metafora tentang cerita yang tak pasti, antah-berantah, atau tak jelas. Agaknya, Gus tf ingin berkata: hasrat pengetahuan yang ingin menggengam dunia secara penuh adalah sebuah hasrat yang fiksi. Sebuah hasrat yang akan mirip seperti “dongeng” dan “konon”.
Pembacaan saya atas beberapa sajak lain di Daging Akar juga berbuah kesimpulan bahwa pencarian yang dilakukan penyair akhirnya merupakan pencarian yang tak sampai. Hasrat menggenggam makna dunia dan mencerap seluruh makna yang ada, pada akhirnya tetap sebuah hasrat yang fiksi. Barangkali Gus tf belajar dari pengalaman sains. Ilmu yang digelari “pasti” itu ternyata tak habis-habisnya hanya berkutat pada sebuah usaha yang bisa diberi nama sebagai “penafsiran atas dunia”. Ya, sebuah penafsiran, sebuah usaha yang mengandung probabilitas untuk gagal atau benar.
Dalam Jalan Akal, 2 Gus tf menulis:
Mereka temukan engkau sebagai jalan. Jalan tak
putus ke ketiadaan. Seperti aku, seperti mereka, tidur
dan bangun di dua kerajaan. Satu berebut dunia, satu
berebut Tuhan. Engkau dengar? “Dapat! Dapat!”
Entah kapan.
Puisi itu adalah sebuah sinisme Gus tf terhadap mereka yang yakin mampu menemukan “dunia” dan “Tuhan” dengan jalan akal. Teriakan “Dapat! Dapat!” yang diperdengarkan oleh orang-orang yang melakukan pencarian itu, dicemooh Gus tf dengan ucapan “Entah kapan.” Artinya, Gus tf meragukan bahwa orang-orang yang menggunakan “jalan akal” untuk “berebut dunia dan berebut Tuhan” itu akan berhasil. Teriakan “Dapat! Dapat!” barangkali hanya semacam fiksi yang hadir di tengah pencarian itu.
Tapi, bisa jadi saya salah. Mengikuti Gus tf, pembacaan yang coba saya lakukan ini barangkali juga merupakan “pencarian yang tak sampai”. Hasrat saya menafsir bulat-bulat sajak-sajak dalam Daging Akar, barangkali, juga merupakan “hasrat yang fiksi”.
Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Kalpadruma No XXIV/Agustus 2007
0 comments:
Post a Comment