"Menyerah"

>> Wednesday, June 13, 2007




Saya percaya, pada kondisi tertentu, manusia akhirnya harus “menyerah” pada kondisi. Sekuat apapun dia, seoptimis apapun dia, atau sebanyak apapun semangat dan optimisme yang ia miliki. Pada situasi tertentu, waktu akan mengalahkan ia. Seperti seorang petarung berbadan kekar yang dirobohkan ke pojok ring oleh seseorang yang bahkan tak memiliki bentuk.

Waktu, kondisi, memang sebuah “abstrak”. Ia tak mewujud dalam tata fisik yang baku. Ia cuma hadir dengan perantaan benda-benda tertentu: jam, deretan peristiwa, ungkapan kesedihan atau kegembiraan. Maka, sekalipun kita seorang petarung yang “kekar”, yang memiliki stok kebijaksanaan yang tak habis untuk tujuh turunan, pada akhirnya kita sampai pada kesadaran bahwa “yang abstrak” itu ternyata menakutkan.

Sebab ia bertarung dan memerdaya kita, tanpa kita lihat. Dan kita kemudian seperti bertarung dengan “perwakilan” saja. Sebab yang menemui dan kemudian menjadi “lawan” kita hanyalah deretan masalah, himpitan jarum jam yang terus saja berlalu, atau deadline, batas, yang kemudian mendatangi kita. Kita tak pernah tahu bagaimana sebenarnya waktu bekerja. Kita tak punya pengetahuan yang cukup, tentang “sistem” apa yang membentuknya. Pada akhirnya, waktu adalah sebuah misteri, yang tanpa kita ungkap rahasianya, kita akan tetap “kalah”.

Begitupula, kondisi. Alangkah abstraknya kata-kata itu. Ia mewujud dalam banyak hal, ia hadir dalam rupa yang entah berapa banyaknya. Tapi, sebuah “sistem” baku yang membentuknya, mungkin tetap saja gelap bagi pengetahuan kita. Maka, terkadang kita memilahnya menjadi “baik”, “buruk”, “mendesak”, atau “tidak mendesak”. Pembagian macam itu, pada hakekatnya, adalah sebuah ikhtiar membuat ia menjadi lebih sistematis. Tapi, tetap saja, kita seringkali terlena. Dan akhirnya, kita harus terima.

Saya lalu ingat potongan sajak Chairil Anwar: “hidup hanya menunda kekalahan”. Ah, betapa dalam sajak “Derai-Derai Cemara” itu, Chairil tampil sebagai orang yang “pesimis” dalam hidup. Seseorang pernah menulis bahwa sajak itu adalah “penyerahan Chairil terhadap Tuhan”. Saya tak begitu yakin dengan klaim macam itu. Bagi saya, “Derai-Derai Cemara” adalah sebuah pengakuan tentang kedewasaan, dan tentang kelemahan.

Kedewasaan dan kelemahan, dua kata itu mungkin tak terlalu dikenal pada Chairil. Sebab penyair itu lekat pada mitos tentang “binatang jalang”. Dan adakah “binatang jalang” punya “kedewasaan”? Cerita hidup Chairil adalah cerita tentang “kanak-kanak”. Ia menyukai keluyuran, ia beberapa kali mencuri, atau berhutang tanpa membayar.

Soal semangat, maka kita bisa melihat “Aku”, sebuah sajak yang jadi sinonim bagi penyair ini. Juga, “Kepada Kawan”, “Diponegoro”, atau beberapa sajak lainnya. Di sana, Chairil adalah orang yang optimis, seorang yang hendak mengalahkan waktu dengan “hidup seribu tahun lagi”. Dan “tidak peduli”, begitulah ia menghadapi kondisi. Seolah dengan begitu, ia bisa mengalahkannya dengan telak.

Tapi toh akhirnya, Chairil “menyerah”. Sebab cerita tentang hidup, bagi dia—dalam “Derai-Derai Cemara”—adalah cerita tentang sekedar “penundaan terhadap kekalahan”. Pada akhirnya, mungkin, manusia sedang berderet menuju sebuah “kekalahan”. Agak aneh memang, kita melihat kata-kata ini hadir dalam sajak seorang yang dulu bertekad sebagai “binatang”.

Tapi, sebenarnya, Chairil toh manusia. Ia sebenarnya, juga telah lama menyadari “keterbatasan” dia di hadapan waktu. Terutama, dalam beberapa sajak cintanya, ia terlihat sebagai orang yang pesimis. Dalam “Pemberian Tahu”, misalnya. Setelah di awal sajak ia terlihat sangat optimis dengan cinta dan kekasihnya, “tiba-tiba” ia menulis: jangan satukan hidupmu dengan hidupku/aku memang tidak pernah bisa lama bersama/ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama.

Dalam sajak itu, optimisme yang telah terbangun seakan hilang karena pada akhirnya Chairil tahu bahwa ia “memang tidak pernah bisa lama bersama”. Ia tahu, waktu begitu kuat dan begitu banyak mengintervensi manusia. Seakan sebelum “intervensi” itu benar-benar terjadi, Chairil ingin mengakhiri hubungan itu.

Saya menyukai “Pemberian Tahu”, mungkin karena kata-kata Chairil tak ruwet di sana, begitu lugas. Tapi juga karena “kelugasan” itu ternyata menghadirkan sebuah suasana pesismis yang juga saya rasakan saat membaca “Derai-Derai Cemara”. Cuma, dalam sajak yang terakhir, pesimisme itu muncul karena pengetahuan yang telah “sampai”. Ia muncul hanya sebagai “akibat”, bukan pendirian yang tanpa alasan.

Maka, “pesimisme” itu hendaknya tak dibawa dengan beban yang berat. Ia cukup ditanggung dengan senyum yang riang, gerak yang lepas, atau tawa yang tanpa beban malah. Paradoks? Mungkin saja. Tapi, sebuah semangat hendaknya tak dibunuh terlalu awal, meski pada akhirnya ia toh padam juga.

Sukoharjo, 6 Juni 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP