Setengah Tahun Pawon

>> Monday, June 18, 2007




Waktu enam bulan mungkin memang bukan jangka yang lama. Untuk sebuah terbitan yang ”mapan”, jangka enam bulan mungkin ”bukan apa-apa”. Tapi bagi sebuah media yang diterbitkan dengan keringat, perjuangan, dan tanpa modal yang ”pasti”, maka bertahan dalam waktu enam bulan adalah sesuatu yang mesti disyukuri!

Begitu mungkin logika kawan-kawan penulis Solo yang menggagas Buletin Sastra Pawon, sebuah buletin yang menghadirkan karya sastra yang bermaksud sebagai sebuah alternatif dari banyak terbitan sastra yang ada. Pawon yang berdiri pada Januari tahun ini, ternyata mampu bertahan di tengah modal yang minim. Bulan Juni ini, Pawon genap setengah tahun dan genap menerbitkan enam edisi.

Setengah tahun eksistensi Pawon ”dirayakan” oleh para pengelola dan ”simpatisan” buletin itu dengan menggelar acara yang bertajuk ”(Setengah) Syukuran (Setengah) Tahun Buletin Sastra Pawon!”. Acara itu sendiri diisi dengan pembacaan puisi dan rerasan tentang eksistensi Pawon. Seperti yang sudah-sudah, acara garapan Pawon memang tak punya ”susunan” yang resmi. Menjelang acara mulai, saya masih melihat Joko Sumantri (Koordinator Redaksi Pawon Sastra) bertanya pada anggota redaksi yang lain: ”Siapa yang mau jadi pembaca acara, nih?” Akhirnya, karena tak ada orang lain, Joko Sumantri sendiri yang naik penggung dan jadi MC.

Dan keberlanjutan acara yang digelar pada Jumat (15/6) kemarin memang sangat bergantung pada para peserta acara yang hadir. Sebab, acara memang sebagian besar diisi oleh reaksi spontan para penonton, baik berupa pembacaan puisi, obrolan ngalor-ngidul tentang sastra, atau kesan dan pesan tentang Pawon. Beberapa orang yang hadir dengan suka rela maju dan mulai cuap-cuap dengan pede-nya. Tapi, beberapa yang lain sampai harus dipaksa dan diberi tepuk tangan dulu baru benar-benar beranjak dari tempak duduknya.
***

Bagi saya sendiri, ada beberapa bagian acara itu yang menarik. Pertama, hadirnya sebuah kelompok musik dangdut yang menjadi penghibur pada malam itu. Menariknya lagi, seorang personel kelompok itu bilang begini: “Malam ini kami akan membawakan lagu ciptaan kami sendiri. Bagi kami, menciptakan lagu itu sama dengan menulis puisi, cerpen, atau novel.”

Meski diucapkan sepintas lalu, perkataan ini menarik karena lagu (dangdut) disejajarkan dengan puisi, cerpen, atau novel. Bukankah secara tak sadar, dalam masyarakat kita (mungkin juga di benak para sastrawan sendiri), ada pembedaan begini: karya sastra (puisi, cerpen, dan novel) adalah karya seni “tinggi” dan lagu (apalagi yang dangdut) adalah karya seni “rendah”?

Mungkin saja, polarisasi ini hanya khayalan rendahan saya. Tapi saya pernah dengar seorang ”penyair” yang bilang bahwa lagu hanya memberikan kesenangan dan bukan pencerahan, sedang puisi memberi pencerahan. Pendeknya, ia ingin bilang: lagu lebih ”rendah” dari puisi. Bahkan ia masih menambahi kata-katanya: ”Sejak saya mengenal puisi, saya tak lagi suka nonton konser musik.”

Alah, sudahlah. Polemik tentang hirarki ”tinggi-rendah” dalam seni lebih baik tak dibicarakan di sini. Intinya, saya mau bilang: di malam acara syukuran setengah tahun Pawon, sastra malah dipertemukan dengan dangdut. Beberapa penulis yang hadir terlihat begitu menikmati lagu-lagu dangdut yang tentu saja belum terkenal itu. Seorang kawan penulis bahkan terlihat sangat antusias mendengarkan sajian musik dangdut dalam acara itu. Saking antusiasnya, ia ambil buku yang berisi lirik lagu yang sedang dinyanyikan dan ikut bernyanyi.

Bagian kedua yang menarik adalah obrolan yang dimulai oleh Han Gagas, Sekretaris Redaksi Pawon Sastra. Han yang malam itu sebenarnya agak tidak enak badan, akhirnya dipaksa juga naik panggung dan mulailah ia mengoceh. Ocehan Han ternyata menarik disimak dalam beberapa point. Salah satunya adalah opininya tentang mutu cerpen yang dimuat di Pawon yang ia bandingkan dengan mutu cerpen di Solo Pos (sebuah koran lokal di Solo). Katanya, ”Cerpen-cerpen di Pawon itu mutunya lebih baik daripada cerpen Solo Pos, terutama beberapa bulan terakhir.”

Saya tak tahu bagaimana jawaban Redaktur Sastra Solo Pos atas klaim Han. Mungkin marah, mungkin mencibir. Tapi kawan-kawan yang hadir dalam syukuran itu tertawa lebar-lebar. Ada yang mengangguk mengiyakan, tapi ada pula yang menganggap Han sedang meracau karena masuk angin. Saya sendiri termasuk ke dalam orang yang menganggap perkataan Han serius. Sebab perkataan itu diucapkan di depan publik yang semuanya hampir melek sastra.

Mungkin kalau ditelisik lebih jauh, perkataan itu menyiratkan bahwa perkembangan sastra di Solo selama ini kurang begitu tergantung pada media massa lokal seperti Solo Pos. Perkembangan sastra di Solo utamanya memang lebih dipengaruhi oleh komunitas-komunitas sastra yang ada. Dan kini, tentu saja, hadirnya Pawon akan sangat berpengaruh pada kondisi sastra Solo sendiri, sebab hampir semua komunitas sastra di Solo menyokong buletin ini.

Selanjutnya, yang menarik bagi saya, adalah anggapan bahwa isi Pawon cenderung menampilkan sesuatu yang sedikit ”berbeda” dalam sastra. Misalnya, dalam edisi bulan ini, Pawon menampilkan tema ”Sastra Tidak Elit”. Tema ini mengacu pada fenomena beberapa anggota masyarakat kelas bawah (yang tentu saja tidak elit) yang ternyata serius menekuni sastra. Di Solo, ada Yudi Teha: tukang cukur yang sudah jadi penulis dan berhasil mendirikan sebuah komunitas sastra dan mampu menerbitkan antologi cerpen yang berisi karyanya sendiri dan juga karya kawan-kawannya se-komunitas. Juga, ada pengamen yang menyukai sastra dan kini sedang membangun tekad menjadi penulis.

Diangkatnya tema ini oleh Pawon, bisa jadi membuka peluang bagi berkembangnya para penulis yang profesi sehari-harinya jauh dari mewah dan juga tak berhubungan dengan sastra. Kerja sama dengan para penulis ”tidak elit” ini juga berbuah manis bagi Pawon. Buah itu antara lain, tiap orang yang tulisannya masuk Pawon bisa mendapat ”voucher” potong rambut gratis di tempat Yudi Teha. Meski agak aneh sebagai imbalan, karena Pawon sama sekali tak menjanjikan honor, maka potong rambur gratis mungkin bisa menjadi pelengkap motivasi bagi para penulis yang ingin mengirimkan tulisannya ke Pawon.
***

Sebagai penutup, saya ingin mengucap sesuatu yang agak klise: ”Selamat atas setengah tahun Pawon yang melelahkan. Semoga harapan bahwa buletin ini bisa jadi majalah akan terkabul suatu saat kelak!”

Sukoharjo, 16 Juni 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP