Membangun Jaringan Sastra "Tidak Elit"

>> Wednesday, June 13, 2007




Ketika mendapat undangan via sms untuk hadir dalam diskusi Launching Buletin Pawon edisi 5, saya sempat bingung dengan tema yang diajukan, yaitu “Sastra Tidak Elit”. Saya sempat berpikir beberapa saat tentang tema yang diajukan dan sempat mengambil kesimpulan bahwa diskusi ini akan membahas “elitisme” dalam sastra. Tapi, setelah tiba di tempat diskusi dan mulai berdiskusi, ternyata gambaran saya tentang tema yang diajukan meleset jauh.

Ternyata tema “Sastra Tidak Elit” lebih banyak mengacu pada pada karya sastra hasil ciptaan para pengarang yang “tidak elit”, alias berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Konon, pembahasan ini muncul karena adanya fenomena “Sastra Elit”, yaitu hadirnya sastra di dalam ruang yang glamour, mewah, dan bahkan sastra kini juga disetubuhi oleh para artis. Ramainya artis yang menulis karya sastra lalu diluncurkan dengan acara yang mewah di kafe, sambil mengundang para begawan sastra dari Jakarta, tampaknya mengundang kekhawatiran beberapa kawan. Fenomena itu dikhawatirkan akan berakibat pada terpinggirkannya karya sastra dari para penulis lain terutama para penulis yang “tidak elit”.

Para penulis yang “tidak elit” ini, karena tidak ada biaya yang memadai untuk membuat acara promosi yang wah, juga tidak adanya jaringan yang kuat untuk bisa menjangkau para begawan sastra dari Jakarta, ditambah lagi tidak punya nama besar, diasumsikan karyanya akan tenggelam sebelum sempat berkibar. Maka, pertanyaannya kemudian: adilkah fenomena ini?

Barangkali ada yang berpendapat bahwa pembahasan tentang “sastra elit” dan “sastra tidak elit” ini tidak relevan. Sebab, pada akhirnya, berkibar atau tenggelamnya karya sastra ditentukan oleh mutu karya sastra itu sendiri, bukan oleh siapa pengarangnya. Sepintas, pendapat ini benar. Tapi, bagi saya, ada yang kurang tepat dalam pendapat itu.

Saya sepakat bahwa secara ideal, karya sastra memang harus (hanya) dinilai berdasar kualitas literernya, bukan oleh tetek bengek lain di luar karya itu sendiri. Tapi, pada praktek kesusastraan sehari-hari, kita harus menerima kenyataan bahwa karya sastra tidak hanya dinilai dari kualitasnya saja. Barangkali faktor kualitas tetap menjadi yang utama, tapi faktor “siapa yang menulis” juga ikut berpengaruh.

Seorang pengarang yang telah terkenal tentu akan lebih mudah menembus penerbit dan masuk ke dalam dunia industri buku. Faktor jaringan dari si pengarang dan duit yang ia miliki bisa jadi akan sangat memengaruhi promosi sebuah karya sastra. Apalagi mengingat sosialisasi karya sastra di Indonesia saat ini yang sepenuhnya ditopang oleh media massa. Bukankah prominance atau keterkenalan merupakan salah satu hal yang membuat sebuah berita bernilai? Dan bukankah media massa di Indonesia kebanyakan masih mementingkan dan menonjolkan nilai keterkenalan ketimbang nilai yang lain dalam mengangkat sebuah peristiwa menjadi berita?

Maka, dari sisi promosi oleh media massa saja, akan sangat terlihat bahwa para penulis yang “elit”—baik itu para selebritis yang ikut-ikutan jadi penulis, atau para penulis yang berusaha keras jadi selebritis—akan lebih banyak mendapat perhatian. Sorot kamera akan lebih banyak terarah ke arena peluncuran buku karya Happy Salma ketimbang peluncuran Niharay karya Joko Sumantri, misalnya. Alasannya jelas: bukan karena Niharay dianggap lebih rendah kualitasnya, tapi karena Happy Salma lebih “bernilai berita” ketimbang Joko Sumantri. Bukankah contoh ini menampik bahwa dikenal atau tidaknya sebuah karya sastra “hanya” ditentukan oleh kualitas karya itu sendiri?

Dari pembahasan ini, saya ingin membawa kita pembicaraan soal nasib karya sastra dari para penulis “tidak elit”. Bagaimana caranya agar karya para penulis “tidak elit” (dan belum terkenal) ini bisa dikenal secara lebih luas? Cukupkah hanya menyodorkan sebuah saran agar terus belajar dan meningkatkan kualitas karyanya? Saya kira tidak.

Belajar dan meningkatkan kualitas karya adalah sebuah hal yang mesti dilakukan oleh orang yang berhasrat jadi penulis. Tidak peduli dari latar apa ia berasal, seorang penulis memang harus terus belajar. Tapi, seperti saya tulis di atas, promosi sebuah karya memang tidak hanya ditentukan oleh faktor kualitas karya itu sendiri. Berbagai faktor lain semisal nama penulis, jaringan yang dimiliki penulis, atau bahkan uang yang ada di kantong penulis, juga ikut memengaruhi.

Lalu, bagaimana caranya agar karya sastra milik para penulis “tidak elit” bisa dikenal? Selain terus belajar dan meningkatkan kualitas karyanya, para penulis “tidak elit” juga bisa membangun komunitas atau jaringan untuk menyebarluaskan karya mereka. Peran komunitas sastra dan jaringan bisa sangat membantu dan itu sudah coba dilakukan oleh para penulis di beberapa tempat.

Saya ingat para pembantu rumah tangga asal Indonesia yang bekerja di Hongkong yang berhasil menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpen. Saya pernah membaca ada di antara mereka yang mesti berjuang keras dalam menulis karya mereka, seperti harus menulis di kamar mandi karena bila ketahuan menulis oleh majikannya, ia akan dimarahi. Karya-karya mereka kemudian dikumpulkan dan diterbitkan atas prakarsa Forum Lingkar Pena (FLP) dan kemudian disebarluaskan. Karya mereka cukup mendapat publikasi yang luas di media massa dan mendapat perhatian berbagai pihak.

Contoh kecil macam ini membuktikan kuatnya peranan komunitas dan jaringan dalam mensosialisasikan karya sastra. Kalaupun tidak mendapat perhatian dari media massa berskala nasional, jaringan sastra di daerah minimal bisa menarik perhatian media massa lokal dan juga orang-orang awam di daerah itu. Selain untuk memublikasikan karya, komunitas sastra juga merupakan tempat belajar yang membantu perkembangan seorang penulis dalam meningkatkan kualitasnya.

Dibangun dan dikuatkannya jaringan-jaringan dan komunitas sastra ini penting agar dunia sastra Indonesia tidak hanya menjadi milik para “para penulis yang selebritis” dan “para selebritis yang penulis”. .
Haris Firdaus

Tulisan ini pernah dimuat dalam Buletin Pawon Sastra Edisi Juni 2007

2 comments:

Anonymous June 14, 2007 at 3:40:00 PM GMT+8  

mas haris,

menurut saya sudah tidak perlu lagi memaklumi diri dengan cara merendah-rendah menyebut diri tak elit atau apalah.

baca saja yang lebih suntuk, tulis saja yang lebih dalam, pasti yang namanya happy salma (kalau memang tidak bagus) pasti akan terkubur sendiri. ya kalau dia memang bagus, pastilah akan tetap bertahan.

toh, tanya siapa saja, bagus mana cerpen happy salma dengan novel sumantri, tanpa kenal sumantri pun orang akan bilang kelihatannya lebih bagus punya sumantri deh!

Haris Firdaus June 18, 2007 at 11:27:00 PM GMT+8  

yah, memang secara sederhana apa yang mas wawan bilang benar. cuma, realitas kadang begitu rumit...

btw, slam kenal, mas!

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP