Sastra yang Beribadah

>> Monday, May 28, 2007


Sabtu, (26/5) kemarin, saya mengikuti sebuah diskusi sastra yang sedikit berbeda dengan biasanya. Ada tiga perbedaan utamanya. Pertama, dari segi penyelenggaranya. Pada diskusi kemarin, pihak penyelenggara adalah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), sebuah organisasi pergerakan mahasiswa. Ini tentu menarik, karena IMM atau organisasi sejenis jarang mengadakan acara yang bersentuhan dengan sastra. Konon, IMM ingin lebih banyak bersosialisasi dengan kalangan sastra(wan).

Diselenggarakannya diskusi sastra oleh IMM otomatis membuat adanya perbedaan yang kedua: perbedaan publik peserta diskusi. Kalau dalam diskusi yang biasa diadakan oleh beberapa komunitas sastra di Solo, yang hadir hanya “itu-itu saja”, maka diskusi kemarin juga menghadirkan beberapa kawan pergerakan, kawan pers mahasiswa, dan mungkin mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah.

Perbedaan ketiga, ada pada persoalan tempat. Tempat diskusi kemarin adalah sebuah kafe yang merangkap toko buku atau toko buku yang merangkap kafe. Nama tempat itu Green House, sebuah tempat yang baru beberapa bulan hadir di Solo. Suasana Green House santai, sedikit mewah, dan cukup menghadirkan suasana berbeda dalam diskusi. Suasana diskusi menjadi informal, ringan, penuh canda pula.

Sekarang soal tema. Kawan-kawan IMM mengangkat tema “Menelusuri Jejak Profetisme dalam Sastra”. Pembicaranya ada dua: Raudal Tanjung Banua dan Nasirun Purwokatun. Yang pertama, seorang sastrawan asal Yogya yang telah menghadirkan beberapa buku kumpulan cerpen dan kumpulan puisi. Yang kedua, seorang penulis asal Solo yang tergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Solo. Tentu maksud dari pemilihan pembicara ini adalah agar terjadi keseimbangan antara sastrawan yang berorientasi pada “sastra ibadah” seperti FLP, dan sastrawan yang “umum”.

Pembicaraan dimulai oleh Raudal (seorang pria yang ternyata cukup pendiam). Ia memulai dengan menghubungkan profetisme dalam sastra dengan beberapa nama: Kuntowijoyo, Abdul Hadi, Danarto, serta nama-nama lain yang saya tak ingat. Raudal menjelaskan bahwa Kuntowijoyo berusaha mengenalkan sebuah konsep baru dalam ber-sastra dengan memasukkan unsur profetik. Profetik sendiri terdiri dari tiga unsur: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Melalui konsep itu, Kuntowijoyo ingin membuat sastra menyentuh tiga wilayah pokok dalam kehidupan manusia: memanusiakan manusia, pembebasan, dan hubungan transeden. Contoh konkret dari konsep seperti ini mungkin Khotbah Di Atas Bukit, sebuah novel religius (yang membingungkan) karya Kuntowijoyo.

Sedangkan Abdul Hadi mendirikan Majalah Berita Buana pada tahun 1980-an dan mengusung genre “sastra sufistik”. Raudal mengatakan Abdul Hadi bisa dikatakan “berjasa” dalam memerkaya khazanah sastra kontemporer dengan majalahnya yang hanya khusus memuat “karya sastra sufistik”. Cuma, kata Raudal, pengkhususan ini juga disayangkan karena berarti pembatasan terhadap genre karya yang bisa dimuat dalam majalah itu.

Bagi saya, sulit membedakan secara jelas istilah-istilah “sastra profetik”, “sastra religius”, atau “sastra sufistik”, apalagi kalau kita berusaha memilah-milah karya satra yang masuk dalam tiga genre itu. Namun, kalau saya tak salah ingat, istilah “sastra sufistik” menjadi kurang jelas ketika ia dihadirkan dalam sastra kontemporer Indonesia. “Sastra sufistik” memang pernah hadir di nusasntara pada jaman Hamzah Fansuri. Tapi, meski Abdul hadi berusaha menggunakan istilah itu kembali, genre yang diusung sebenarnya jauh berbeda.

Hamzah Fansuri, konon, memang seorang sufi. Ia menggunakan karya sastranya sebagai perwujudan pujian pada Tuhan dan bukti cintanya. Ia tak sedang “ber-sastra” saat menulis puisi. Ia cuma sedang memuji dan beribadah, mungkin. Tapi kalangan sastra kontemporer yang mengaku bergenre “sufistik”, tentu saja bukan seorang sufi. Mereka, saya kira, juga lebih banyak “bertujuan sastra” saat berkarya. Jadi, ada orang yang berpendapat, “sastra sufistik” ala Hamzah Fansuri tak pernah ada dalam sejarah kontemporer sastra di Indonesia.

Perdebatan dalam diskusi menjadi menarik tatkala Nasirun berbicara. Ia memang mewakili FLP yang memiliki genre “sastra ibadah”: menulis karya sastra dalam rangka beribadah pada Tuhan dan dalam rangka dakwah. Yang cukup unik, Nasirun berusaha memersamakan “sastra ibadah”-nya FLP dengan sastra profetiknya Kuntowijoyo. Bagi Nasirun, “sastra Islam”, “sastra ibadah”, atau “sastra profetik” memiliki esensi yang sama: berusaha memberikan “guna” pada sastra. Mungkin FLP dan Kuntowijoyo menolak “seni untuk seni”.

Nasirun melanjutkan pembicaraan terhadap tuduhan yang dialamatkan pada FLP: tuduhan bahwa FLP “mengorbankan” sastra demi “dakwah”. FLP dituduh berusaha menghadirkan “khotbah Jumat” dalam sastra. Bahkan, menurut Nasirun, karya FLP seringkali dianggap sebagai “mualaf” dalam sastra Indonesia. Nasirun kemudian menjawab tuduhan itu: FLP bukan seperti itu. FLP, kata Nasirun, berusaha mencapai keseimbangan antara estetika sastra dengan misi dakwahnya. Bahkan, secara berani Nasirun menyebut kalau ada karya FLP yang menghadirkan “dakwah” secara terang-terangan dalam karya sastra seperti dengan hadirnya ayat Al-Qur’an atau simbol Islam yang kentara, maka itu adalah “kegagalan dakwah”.

Pada akhirnya, diskusi memang menjadi lebih fokus pada “sastra ibadah” ala FLP. Zaenal Mutaqin, seorang aktivis pergerakan kiri, menuduh karya FLP cuma beda tipis dengan Khotbah Jumat. Tuduhan ini dijawab Furqon Muhammad, Ketua FLP Solo. Furqon menjelaskan bahwa ciri FLP yang diungkapkan oleh Zaenal adalah ciri FLP yang “lama”. FLP bagi Furqon, sudah mulai berubah dengan konsep karya sastra yang menghadirkan dakwah secara lebih universal.

Diskusi terus berlanjut dengan lalu-lalang pendapat yang kadang makin membuat arah pembicaraan jauh dari tema. Tapi, di akhir diskusi, Ridho Al-Qodri, seorang penulis muda di Solo, memberi pendapat yang mungkin bisa menengahi perdebatan tentang nilai dan simbolisme agama dalam sastra. Bagi Ridho, nilai-nilai agama atau simbol agama tak masalah hadir dalam karya sastra. Persoalannya, apakah nilai-nilai atau simbol-simbol itu bisa hadir secara “tepat”. Artinya, hadir atau tidaknya nilai-nilai agama dalam karya sastra bisa diterima apabila menemukan konteksnya dalam karya sastra itu.

Jadi, lanjut Ridho, kalau dalam sebuah cerpen dikisahkan tentang seorang pencuri yang hendak mencuri tapi kemudian membatalkan niatannya karena mendengar adzan, lalu ia bertobat, maka nilai-nilai agama dalam cerpen itu sama sekali tidak menemukan konteksnya. Nilai-nilai itu menjadi aneh dan tak “manusiawi”.

Tapi, sebenarnya, ada hal lebih menarik yang terjadi dalam diskusi kemarin dari pada pendapatnya Ridho. Apa itu? Hal menariknya adalah: saya bisa mendapatkan tanda tangan Raudal yang ditorehkan dalam buku karangannya milik saya: Pulau Cinta di Peta Buta. Ha...ha...ha....

Sukoharjo, 28 Mei 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP