Sedikit Tentang Pacaran

>> Tuesday, May 22, 2007


Saya baru saja mengikuti sebuah diskusi tentang perbedaan pola komunikasi antara pria dan wanita. Pesertanya adalah kawan-kawan saya se-organisasi di lembaga pers mahasiswa tingkat fakultas di kampus saya. Yang menarik dan membedakan diskusi kali ini dengan diskusi yang sebelumnya adalah “perubahan” dalam diskusi ini menjadi semacam ajang “curhat dalam pacaran”.

Saya tanggapi perubahan itu sebagai sebuah hal positif. Dalam diskusi tentang kajian yang berbau psikologi, realitas konkret amat penting. Betapa membosankan kalau diskusi hanya diisi kajian wacana saja, sedang kita tahu, wacana psikologi kadang wacana yang “sulit dipercaya”.

Saya bahkan menganggap psikologi itu banyak mengobral mitos. Yang saya maksud sebagai mitos adalah premis-premis umum tentang manusia yang dalam sebuah ilmu macam psikologi diandaikan bersifat universal. Contohnya gampang: “hukum” yang menyatakan laki-laki terlalu mengutamakan kelogisan berpikir, dan wanita yang mengutamakan perasaannya. Pertanyaannya: benarkah tiap laki-laki selalu mengutamakan daya pikirnya ketimbang perasaannya? Lalu, perempuan, benarkah klaim tentang perasaan yang mendominasi tiap tindakan mereka? Apakah “hukum” ini berlaku universal?

Pertanyaan macam begitu muncul karena saya selalu menganggap manusia adalah makhluk yang terlalu kompleks. Maka, premis umum tentang sifat manusia pada dasarnya tak mampu menyentuh ke sebuah dasar yang hakiki. Tapi, kini, setelah bersentuhan dengan psikologi, saya tahu: barangkali ilmu memang tak hendak sampai dasar yang hakiki. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran pragmatis atau fungsional. Kebenaran yang terjadi dan dilekatkan pada satu hal bila satu hal itu berguna bagi kehidupan manusia. Ketika ada hal baru yang lebih berguna, hal yang lama itu akan gugur status kebenarannya.

Maka, akhirnya saya menyimak diskusi itu dengan khidmat dan mulai menaruh “kepercayaan” pada psikologi, tentu saja sambil terus sadar bahwa ada kasus-kasus tertentu yang “menyimpang”. Saya akhirnya memang hanya jadi penyimak. Sekitar dua jam diskusi, saya tak bertanya atau komentar sama sekali. Mungkin karena tak banyak hal tentang hubungan pria dan wanita yang bisa saya ungkap. Sebab lainnya: saya ingin tahu lebih banyak tentang hubungan pria dan wanita dari perspektif kawan-kawan saya.

Mayoritas kawan saya adalah perempuan. Dan mayoritas dari mereka sudah berpacaran dengan kondisi yang beragam. Beragamnya kasus yang terjadi dalam hubungan pacaran kawan-kawan saya, mengingatkan betapa kompleksnya psikologi bila ia mencoba menjangkau hal itu. Seorang kawan, sebut saja F, misalnya, berpendapat dalam sebuah hubungan, perempuan lah yang akan meminta banyak perhatian. Bil;a terjadi sebuah percekcokan, maka si perempuan (meski ia yang salah) akan lebih dulu meminta supaya pacarnya memohon maaf. Lalu biasanya perempuan akan minta dimanja atau diberi perhatian yang lebih.

Tapi pernyataan F dibantah oleh kawan saya lainnya, H. Bagi H, pernyataan F tak bisa digeneralisasi. Jadi, sifatnya sangat kasuistik. Tak semua perempuan selalu minta dimengerti lebih banyak. H mencontohkan dirinya. Selama pacaran, ia yang lebih banyak mengerti pacarnya ketimbang pacarnya yang mengerti ia, padahal H ini seorang perempuan. Tapi, ternyata ada faktor yang memengaruhi: umur. Pacar H ternyata berumur lebih muda darinya sehingga mungkin tingkat kedewasaannya berbeda. H menyatakan kontras yang sangat berbeda antara kondisi pacarnya sekarang dengan pacarnya yang lama. Pacarnya yang lama, karena lebih tua, lebih banyak memberi perhatian dan H yang akhirnya jadi “manja”.

Tapi kata H, “Saya justru belajar banyak tentang kedewasaan saat berpacaran dengan pacar saya yang sekarang.” Soalnya, H selalu dituntut bertindak lebih dewasa ketika menghadapi masalah dalam hubungannya, sehingga ia akhirnya terbiasa dan benar-benar menjadi dewasa. Selain itu, H bercerita tentang pacarnya yang posesif. Pacarnya sering tidak terima kalau ia terlalu sibuk berorganisasi. Hal ini, konon karena satu-satunya orang yang dekat dengan pacar H adalah H sendiri. Sehingga, ketika H sibuk sendiri, pacarnya mungkin akan merasa kesepian.

Hal lain yang juga jadi perhatian saya adalah tentang pria yang akan merasa minder bila pasangannya lebih pintar atau lebih berhasil dari pada dirinya. Lagi-lagi hal ini terjadi pada kasus H. Pacarnya sering mengeluh bahwa ia merasa H lebih pintar dari dia. Dan hal itu, membuat pacar H menjadi tidak pede bila berpacaran dengan H. Saya tidak tahu apakah ini fenomena yang universal. Kalau iya, tentu parah. Sebab semua perempuan harus berusaha agar tidak menjadi lebih pintar dari pasangannya. Bukankah ini merepotkan?

Persoalan kebosanan dalam hubungan, juga terungkap dalam diskusi ini (nah benar-benar seperti konsultasi pacaran kan?). Seorang yang mencetuskannya bernama D. Ia bertanya pada pembicara dalam diskusi itu, apa yang menyebabkan sebuah kebosanan dalam hubungan? Si pembicara balik bertanya: kebosanan terhadap apa? Kebosanan terhadap hubungannya, atau kebosanan terhadap si pacar?

Kalau kebosanan terhadap hubungan, biasanya terjadi karena jenuh saja. Solusinya mudah, kata pembicara: rehat dulu. Saat rehat itulah, kita bisa merasakan apakah kita masih merindukan hubungan itu atau tidak. Kalau iya, berarti kebosanan yang terjadi memang hanya jenuh pada monotonnya hubungan. tapi kalau tidak ada kerinduan, kata pembicara lagi: tanyakan pada dirimu apakah kau masih menginnginkan hubungan itu dilanjutkan!

Tapi, kalau kebosanan terhadap pasangan, itu lebih gawat. Biasanya itu terjadi karena karakter pasangan yang tak kita suka, atau karena ada orang ketiga. Kalau itu terjadi, maka saatnya berefleksi tentang masa depan hubungan. Nah....

Sukoharjo, 15 Mei 2007
Haris Firdaus

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP